BERSIHKAN BIROKRASI DARI KEPENTINGAN SINDIKAT NARKOBA
http://www.kabarsenayan.com/bersihkan-birokrasi-dari-sindikat-narkoba/
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
PENYUSUPAN mafia narkoba ke dalam tubuh birokrasi negara sudah menjadi fakta tak terbantah. Maka, kontroversi grasi bagi terpidana mati kasus narkotika Meirika Franola atau Ola harus menjadi faktor pendorong bagi pemerintah melakukan aksi pembersihan di tubuh birokrasi negara.
Benar bahwa grasi untuk Ola otomatis menjadi tanggung jawab presiden, karena presiden-lah yang menandatangani dokumen grasi Ola . Tetapi, Pernyataan sikap Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti itu tidak menghapus kontroversi proses pemberian grasi itu. Bahkan, penjelasan SBY itu justru lebih menguak ketidakwajaran proses terbitnya grasi Ola. Dalam jumpa pers di Bali pekan lalu, presiden mengaku diberi masukan bahwa terpidana mati Ola sesungguhnya hanya seorang kurir, bukan bandar atau pengedar. Informasi inilah yang menjadi dasar keputusan presiden memberikan grasi. Jadi, alasannya sangat berbeda dengan yang dikemukakan seorang pembantu presiden yang menjelaskan bahwa grasi diberikan kepada Ola karena pertimbangan kemanusiaan.
Kalau benar Ola hanya kurir, berarti terjadi kesalahan dakwaan yang menyebabkan dia divonis hukuman mati. Kalau kuasa hukum Ola yakin terjadi kesalahan dakwaan, mekanisme yang layaknya ditempuh adalah Peninjauan Kembali (PK) perkaranya di Mahkamah Agung (MA). Maka, logikanya, para penasihat hukum presiden pun mestinya menyarankan pihak Ola luntuk mengajukan PK. Sebab, mengajukan permohonan grasi menjadi tidak relevan dengan alasan atau pertimbangan yang diberikan kepada presiden mengenai peran Ola sebagai kurir.
Di situlah kontroversinya. Apalagi, MA dalam rekomendasinya kepada Presiden sudah menyatakan pendiriannya bahwa permohonan grasi Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan. Pertanyaannya, darimana atau dari siapa para pembantu presiden menerima informasi bahwa Ola itu sekadar kurir? Siapa juga yang membisik ke presiden bahwa Ola itu bukan pengedar atau bandar, melainkan hanya kurir, sehingga terpidana mati itu layak mendapatkan grasi? Dalam merumuskan rekomendasinya kepada SBY, mengapa para pembantu presiden tidak mengacu pada vonis pengadilan negeri Tangerang, yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bandung dan putusan Kasasi MA atas vonis mati Ola?
Seperti diketahui, Ola divonis mati setelah dinyatakan bersalah karena berencana menyelundupkan 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain. Vonis mati bagi Ola sudah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA. Dengan demikian, ketika harus menanggapi permohonan grasi Ola, rekomendasi para pembantu presiden kepada SBY mestinya mengacu pada fakta-fakta hukum yang menjadi landasan vonis Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA plus rekomendasi MA atas permohonan grasi Ola itu sendiri. Tentu saja akan menjadi kontroversi jika rekomendasi para pembentu presiden lebih mengacu pada bisikan informasi yang entah dari siapa datangnya dan sudah pasti tidak memiliki kekuatan hukum untuk dipertimbangkan.
Wajar jika muncul kecurigaan bahwa Kantor Presiden tidak bersih. Dalam kasus pemberian grasi untuk Ola, publik yang awam akan menilai bahwa Presiden kecolongan. Dengan demikian, terbitnya grasi Ola mengindikasikan kantor presiden telah disusupi sindikat kejahatan narkoba, yang berupaya memperjuangkan keringanan hukuman anggota sindikat. Apalagi, kasus pengampunan atau pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba bukan hanya untuk Ola. Masih segar dalam ingatan publik perihal grasi untuk Schapelle Leigh Corby, terpidana narkoba asal Australia.
Karena itu, tidak juga berlebihan jika kepada presiden disarankan untuk memerintahkan sebuah penyelidikan internal di kalangan para pembantu terdekatnya. Presiden, sebagaimana pernyataannya di Bali, memang sudah mengambilalih tanggungjawab di seputar persoalan grasi Ola. Namun, jika presiden menyatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, sikap demikian pun tidak bijaksana, dan juga belum menyelesaikan masalah. Publik akan beranggapan presiden menutup-nutupi perilaku menyimpang yang dilakukan para pembantu terdekatnya.
Masyarakat berhak untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Siapa saja yang terlibat dalam merekomendasikan grasi untuk Ola? Siapa yang membisik ke telinga Presiden bahwa Ola itu sekedar Kurir? Dari mana informasi itu diperoleh? Lantas, bagaimana para pembantu presiden memperlakukan dokumen vonis mati Ola oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, yang kemudian diperkuat kasasi MA?
Jika semua pertanyaan ini terjawab, publik dengan mudah akan menyimpulkan bahwa kantor presiden tidak bersih. Lebih ekstrim lagi, muncul anggapan kalau kantor presiden sudah disusupi sindikat narkoba. Kalau anggapan-anggapan ini tidak dibantah dengan fakta-fakta yang berasal dari sebuah penyelidikan internal di kantor presiden, taruhannya adalah reputasi dan kredibilitas presiden. Publik akan menilai bahwa presiden tidak cukup cakap karena kantornya bisa disusupi sindikat narkoba yang berusaha memperoleh keringanan hukuman bagi anggota sindikat yang sudah divonis oleh pengadilan.
Terus Merangsek
Kemampuan sindikat kejahatan narkoba menyusup ke tubuh birokrasi negara sudah menjadi fakta terbantah. Sejumlah penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) di tanah air sudah dijadikan basis pengendalian bisnis narkoba oleh para bandar besar. Bahkan fakta tentang hal ini didapatkan sendiri oleh Wamenkum-Ham Denny Idrayana dari serangkaian inspeksi mendadak (Sidak) yang dilakukan ke beberaa LP. Kalapas Nusakambangan sudah dijerat pihak berwajib karena terlibat bisnis narkoba. Sejumlah sipir penjara pun dijerat polisi karena melakukan hal yang sama. Ada oknum jaksa yang ditangkap karena dugaan terlibat jual beli narkoba hasil sitaan. Belum lagi ratusan oknum polisi yang terlibat kasus narkoba. Bahkan oknum hakim pun kedapatan mengonsumsi narkoba.
Bagaimana seharusnya memaknai fakta-fakta seperti ini? Kalau sekadar dimaknai sebagai penyimpangan perilaku oknum birokrat, sama artinya dengan menyederhanakan persoalan. Pemaknaan terhadap fakta-fakta itu harus berdasarkan kalkulasi yang strategis dan antisipatif, bertolak dari apa saja yang menjadi kepentingan sindikat narkoba untuk memuluskan bisnis mereka di Indonesia. Operasi penyusupan mereka ke tubuh birokrasi negara dimulai dengan menggarap oknum sipir penjara. Begitu merasakan nikmatnya uang suap dari terpidana narkoba, si oknum sipir akan menggoda atasannya. Maka, Kalapas Nusakambangan pun tak mampu mengelak. Bukankah bisnis narkoba mengelola uang yang sangat besar?
Dengan demikian, tidak berlebihan jika muncul anggapan bahwa orang-orang kepercayaan SBY yang merekomendasikan pengampunan hukuman bagi Ola pun memiliki motif atau kepentingan. Sebelum dokumen yang memuat rekomendasi pengampunan itu sampai ke meja kerja presiden untuk ditandatangani SBY, sudah pasti terjadi serangkaian kegiatan dan pertemuan yang melibatkan orang-orang kepercayaan SBY dengan kuasa hukum dan kawan-kawan Ola. Ada lobi-lobi dan saling memberi komitmen. Kalau targetnya adalah pengampunan hukuman atau grasi bagi seorang terpidana narkoba, kemungkinan motifnya adalah imbalan uang dalam jumlah sangat besar.
Bagaimana pun, harus diakui bahwa kekuatan jaringan Ola luar biasa, karena bisa menembus kantor presiden. Seorang terpidana narkoba yang ingin mendapatkan akses ke kantor presiden tentunya harus mengeluarkan dana tidak sedikit. Kemungkinan ini sangat berbahaya. Kalau para pembantu presiden sudah berani berkompromi atau bernegosiasi dengan anggota sindikat kejahatan narkoba, SBY harus lebih waspada.
Sebelum sindikat narkoba mencengkram birokrasi negara, harus segera diambil inisiatif untuk melakukan pembersihan. Pemerintah tidak bisa lagi pasif, karena sindikat kejahatan narkoba terus merangsek, tidak hanya memperluas pasarnya di Indonesia, tetapi juga terus berupaya memperlemah kekuatan negara dalam pemberantasan narkoba.
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar