Selasa, 27 November 2012

[Simpati_Indonesia] PKS: Boleh Korupsi Asal Santun.

 

Mengenaskan, jika hal seperti ini terjadi, berarti telah terjadi penghalusan kata2 untuk membenarkan tindakan yang korup agar tampak tidak bertentangan dengan kaidah agama

Bukan sogok, suap, gratifikasi untuk meng-goal-kan kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu.. Tapi yang ada hanya pemberian uang titipan
bukan uang komisi, fee, atau pemerasan.. Tapi yang ada hanyalah meminta dan menerima hak, karena telah bekerja dengan membuat kebijakan, keputusan dll
Apakah dengan demikian Tuhan bisa ditipu?

Akibatnya banyak peraturan, kebijakan dll dari lembaga negara yang saling tumpang tindih dan tidak membawa maslahat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Malah program atau kegiatan yang membawa kebaikan bagi masyarakat, karena mungkin tidak memberi keuntungan atau tidak menghasilkan uang komisi, uang fee, uang suap, uang titipan dll, kemungkinan besar akan sulit menjadi kebijakan publik.

Apakah negara kita sedang dijajah oleh para koruptor?
Salam - Simpati
Sarasehan Mandiri Pemberantas Korupsi

__________________________________________
"Kawan Sjam" <kawansjam@gmail.com> send:
http://teknologi.kompasiana.com/internet/2012/04/06/pks-boleh-korupsi-asal-santun-452330.html
PKS: Boleh Korupsi Asal Santun

Ini mungkin sekedar "penglihatan" saya sebagai orang awam saja. Soal kesia-siaan anggaran di salah-satu Kementerian. Bagi saya, program Kementerian seperti yang nanti akan saya sampaikan, mungkin terkesan tendensius, diskriminatif dan provokatif. Akan tetapi, saya berusaha "melihat" situasi yang di depan mata yang kasat-mata dan jelas-jelas (sebagai rakyat awam) tidak jua dapat merasionalkan; apakah ini terbilang prioritas program Kementerian untuk masyarakat yang mendesak, efektif atau malah memang sengaja hendak "mengalihkan" alokasi anggaran pemerintah untuk memenuhi kebutuhan yang lain, bukan untuk masyarakat terkait kebutuhan.


Di Kementerian ini, barangkali masyarakat tidak terlalu memperhatikan; entah lantaran banyak program pemerintah yang tidak disosialisasikan ke publik secara intens-khusus atau entah lantaran masyarakat menganggap; di Kementerian ini terjamin bersih dari laten korupsi. Masyarakat terlalu khusyuk memperhatikan program-program Kementerian yang sering diblow-up media elektronik maupun cetak. Lantaran di beberapa Kementerian lain, secara kebetulan pula ditemukan penyelewengan anggaran negara oleh oknum pejabat yang "bermain mata" mengambil keuntungan materi (terlibat kasus korupsi) untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.


Seandainya kita mau jujur, hampir semua Kementerian di Indonesia itu rentan laten korupsi; suap untuk pemenangan tender, manipulasi data sebagai kamuflase antisipasi endusan Auditor BPK serta Investigator KPK, Mark Up anggaran dan lain sebagainya. Dan itu tidak menutup kemungkinan sudah menjadi semacam "Ghost Culture". Artinya, kebiasaan yang tidak kasat-mata menjadi bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat secara umum.


Dikatakan bukan sebuah kebudayaan, nyatanya korupsi berjalan seperti biasa bahkan terus menerus mengalami akulturasi. Banyak kasus yang terungkap dan ditindak namun tak kunjung membuat jera pelakunya (sudah pasti, ini lantaran penegakkan hukum di Indonesia masih tebang-pilih serta masih diskriminasi pada wilayah eksekusi). Terbukti, hukum berulang kali menyambangi oknum-oknum pejabat atau politisi yang terbukti melakukan praktek korupsi. Lagi-lagi, kebiasaan buruk itu tidak pernah punah bahkan kian menggurita; lebih sistematis, lebih dinamis, lebih elegan, lebih sopan, lebih unik dari tradisi Tasyakuran, Sekatenan atau Nujuh-Bulanan dan lain sebagainya.

Nah, di Kementerian ini, saya ingin menggambarkan sesederhana mungkin dengan takaran bahasa awam saya; bagaimana cikal-bakal lahirnya species predator yang kita kenal jalur nasabnya akan sampai ke koruptor. Bermula dari pembiaran dan atau kesengajaannya lembaga Auditor, lembaga KPK serta instansi terkait Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan beberapa Kementerian dalam hal pemantauan embrio koruptor.


Di Kementerian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo), di antaranya terdapat anggaran program nasional untuk pengadaan unit Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (M-PLIK). Sebagai realisasinya, sudah pasti program ini digulirkan dengan menggunakan uang negara, jumlah nominalnya mungkin lebih dari ratusan Miliar bahkan bisa sampai Triliunan rupiah. Bayangkan saja, satu unit mobil jenis Elf (Mobil yang digunakan pada program M-PLIK) itu harganya berapa, belum perangkat pendukung lainnya?


Saya sendiri masih belum begitu mengerti, bagaimana program M-PLIK di Kemenkominfo ini diorientasikan sebagai program yang bersifat urgent untuk memenuhi sisi kebutuhan masyarakat. Okelah, bila kebutuhan masyarakat akan teknologi dan informasi (internet), sampai hari ini memang tak terbendung, sudah merambah –bukan hanya menyentuh teritorial Kecamatan—sampai ke pelosok-pelosok Desa. Penggunanya pun tidak saja usia dewasa, namun sudah menyentuh anak-anak seusia Sekolah Dasar (konsumsi anak-anak biasanya lebih sering seputar Game Online).


Akan tetapi perlu diingat, tidak semua pengguna internet menggunakan PC Komputer (tidak bergerak). Laptop, netbook, Hp berfasilitas yang memudahkan akses Browsing dengan jenis dan merk tertentu, begitu familiar dan bukan barang mewah lagi di Indonesia. Sejalan dengan itu, untuk mengakses internet, tidak perlu lagi repot-repot harus pulang ke rumah terlebih dahulu hanya untuk aktivasi, misal; facebookan, twitteran, searching web, baca berita Online atau lain sebagainya. Atau, lebih-lebih –bila di perjalanan kita mendadak membutuhkan penggunakan teknologi itu—warung internet sebagai penyedia jasa tersedia di mana-mana, untuk menarik konsumen dengan ragam promosi pula; Browsing tercepat, Harga termurah, Tempat ternyaman dan banyak lagi rayuan maut lainnya.


Asumsi saya, program M-PLIK ini merupakan program unggulan Kemenkominfo. Saya pribadi apresiatif dengan program Kemenkominfo ini, meskipun, entah seberapa dahsyat yang sudah dirasakan manis-buahnya. Dengan begitu, masyarakat diharapkan melek informasi dan teknologi. Konsekuensinya, Output dan Input dari program tersebut harus bisa diimbangi dan diantisipasi oleh Kemenkominfo.


Kebetulan, saya pernah memergoki sekitar 5 unit Mobil Layanan Internet Kecamatan di kawasan daerah Tegal, Jalur Pantura Jawa Tengah. Sedang nongkrong nganggur malam hari (semua unit mobil waktu itu terlihat dalam keadaan tidak beraktivitas) di pinggir jalan nasional (mungkin usai tugas keliling Desa atau Kecamatan sekitarnya). Pertanyaan awam saya langsung merangsek menuju efesiensi perangkat M-PLIK di Desa atau Kecamatan tersebut untuk masyarakat di sana. Apakah kendaraan unit M-PLIK itu saban hari berada di sana? Sampai kapan masyarakat dapat menikmati fasilitas internet gratis dengan M-PLIK? Kriteria lokasi maupun targetnya apa saja sehingga M-PLIK memang dibutuhkan oleh masyarakat dan bagaimana prosedur menghadirkan mobil-mobil itu?


Semua pertanyaan itu, saya simpan, berharap suatu saat terjawab Dinas kominfo Kabupaten atau pihak-pihak yang bersangkutan. Dan semula, tidak begitu tertarik lantaran di Desa tepat tempat tinggal saya tidak pernah menemui sekalipun kehadiran mobil-mobil itu (sangkaan awal, di Desa saya sudah ada beberapa Warnet hak milik usaha personal sehingga tidak perlu lagi ada M-PLIK).


Nah, apakah program M-PLIK ini efektif dan tepat sasaran? Melihat kenyataan di lapangan, M-PLIK tidak diapresiasi oleh hampir mayoritas masyarakat desa (atau lantaran M-PLIK ini bukan kebutuhan masyarakat desa?). Bukan berarti pula, kebutuhan masyarakat akan teknologi dan informasi apatis. Lagi-lagi, saya melihat dengan mata kepala sendiri, sekitar pukul 22.00an WIB, satu mobil unit M-PLIK nongkrong di sekitar desa Dukupuntang Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon. Waktu itu saya hanya melihat 2 orang anak muda yang sedang asyik beraktivitas ngenet, dengan 2 buah laptop (perangkat yang disediakan M-PLIK). Hampir tidak terlihat animo warga terhadap internet gratisan tersebut (mungkin yang lain sudah tertidur pulas, lelah setelah beraktivitas kerja dan istirahat di rumah dari rutinitas mencari nafkah). Saya semakin merasa, program M-PLIK ini sia-sia, mubadzir dan hanya menghabiskan anggaran negara serta menguntungkan segelintir orang saja.


Rasionalitas yang paling mudah ditangkap dari kesia-siaan program M-PLIK adalah; mobil unit internet gratisan ini tidak stand by saban hari di satu tempat, tidak tuntas "mendampingi" masyarakat untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi, lantaran; segelintir orang desa saja yang kebetulan memiliki laptop (salah-satu perangkat penunjang untuk bisa menikmati akses internet gratis). Bila sekedar ingin tahu soal dunia maya dan kegunaannya yang bisa dimanfaatkan, mayoritas orang desa lebih familiar mendatangi jasa internet komersial (Warnet) yang ada di dekat sekitar tempat tinggal, meskipun mereka harus rela membayar (lihat; berapa banyak orang yang rela mengantri di warnet ketimbang berkerumun di mobil internet gratisan ini? Kalaupun berkerumun, itu barangkali lantaran kekaguman modifikasi otomotifnya).


Unit mobil internet gratisan itu keliling Kecamatan dan Desa, yang pasti dalam seminggu ke lokasi yang berbeda-beda. Menghabiskan solar (BBM) tanpa target yang jelas (padahal, saat ini pemerintah sedang mencanangkan penghematan anggaran serta energi nasional), mayoritas masyarakat pun kurang memperhatikan fungsi nongkrongnya mobil jenis van (Elf) itu dan sedang apa mobil itu berada di desa mereka. Masyarakat desa lebih memilih konsentrasi mencari nafkah untuk menjaga agar dapur mereka tetep ngebul di tengah jurang kesenjangan ekonomi.


Atau, pemuda-pemudi, Ibu-ibu yang di desa-desa sebagian lebih memilih pergi ke luar negeri menjadi TKI atau TKW serta merantau ke kota besar, desa terlihat "hidup" hanya waktu-waktu tertentu, ini soal survive kelangsungan hidup. Para petani desa lebih memikirkan "kesejahteraan" sawah mereka agar terus menyambungi nyawa keluarga. Apalagi yang di daerah terpencil dan terisolir, apa yang ada di benak mereka; nasi atau layanan internet?


Silahkan cek TKP, berapa banyak warga desa yang mengetahui fungsi dan manfaat keberadaan program M-PLIK tersebut. Bukannya egois, mereka lebih memperjuangkan urusan perut ketimbang nongkrong di depan mobil layanan internet itu meskipun gratis. Bukan berarti mereka tidak menyukai gratisan; bukankah orang-orang Desa lebih semangat ngantri pembagian raskin atau Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah?


Sebaliknya, berapa uang negara yang keluar untuk menghonor sopir berikut operator Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan itu? Berapa liter solar yang dihabiskan untuk keliling dari kecamatan ke kecamatan dari desa ke desa? Berapa anggaran yang dikeluarkan negara untuk biaya perawatan kendaraan M-PLIK? Bila unit-unit kendaraan M-PLIK itu sudah dianggap tidak layak beroperasi, kemana unit-unit mobil itu menuju? Berapa biaya yang dikeluarkan negara untuk membeli mobil-mobil itu sebagai penunjang sarana pemberdayaan teknologi dan informasi kepada masyarakat kalangan ekonomi desa (Konon, satu Unit kendaraan ini berisi; VSAT [Very Small Aperture Terminal], Notebook, 1 server, Switch, UPS, DVD Player, Tivi LCD, Kursi dan Meja serta "Genset" untuk menyediakan listrik)? ____VSAT merupakan teknologi komunikasi satelit yang memungkinkan seluruh tempat untuk mendapatkan akses internet tanpa kecuali. VSAT ini adalah menyediakan bit rate 256 Kbps. Itu akan dibagi oleh server menjadi  CPU. Sekitar CPU masing-masing mendapatkan 51 Kbps. Hal ini mungkin tampak kecepatan lambat bagi penduduk kota, tapi ini sudah lumayan untuk pedesaan. Harapannya; M-PLIK dapat melayani seluruh kabupaten dengan mobilitas terbatas. Memungkinkan layanan ini dapat digunakan oleh sekolah atau instansi pemerintah di kabupaten (?).


Apalagi, program ini ditargetkan rampung tahun 2012 dengan jumlah 5.748 unit. Sementara pembagian sarana tersebut (menurut pengakuan pihak Staf Ahli Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henry Subiakto) baru mencapai 70 persen.


Nah, tidak menutup kemungkinan, pada program M-PLIK ini terdapat penyelewengan bahkan Mark Up anggaran, ada "keuntungan" yang hanya dinikmati kalangan tertentu (tidak merata). Modus serta praktek korupsi sudah pasti terjadi. Hanya saja, bersediakah pejabat-pejabat dan orang-orang Kemenkominfo ini mengakui; program M-PLIK tidak tepat sasaran dan mubadzir alias sia-sia sebagai kebutuhan dasar masyarakat desa akan informasi dan teknologi?


Karena penasaran, saya iseng bertanya ke Menkominfo, Tifatul Sembiring, melalui akun di jejaring sosial; twitter. Mungkin, waktu itu bahasa saya terlalu dini mendobrak kemungkinan terjadinya praktek korupsi di kementerian yang dipimpinnya, yang juga (tidak menutup kemungkinan) melibatkan oknum-oknum partai. Jawaban Tifatul Sembiring sebagai seorang pejabat negara (Menteri) sungguh tidak terduga oleh saya. Bayangan saya, sebagai seorang Menteri; bahasanya apresiatif, akomodatif dan –biasanya—normatif. Akan tetapi ini tidak, langsung sewot dan seperti merasa (heuheuheu).


Jawaban Tifatul begini; Ada bukti, laporkan ke KPK mas. Kalau Anda dari partai lain, tdk usah menjelek2an PKS! Menurut saya, ini jawaban yang pantas dilontarkan oleh tukang becak yang seharian belum dapat penumpang. Apakah kita tak kunjung paham; membongkar kasus korupi pejabat itu tidak semudah seperti membongkar jaringan maling ayam? Saya pun melanjutkan obrolan dengan Tifatul. Bahwa saya bukan dari unsur partai tertentu (saya ini Golput), sebagai warga negara Indonesia yang mendukung pemberantasan korupsi, wajar dong bertanya soal dugaan telah terjadi praktek korupsi di Kemenkominfo program M-PLIK.


Responsibiltas Tifatul di twitter, seringnya bila ada klarifikasi yang memojokkan, melulu dilempar ke publik. Harapannya, konstituen atau kader-kader PKS lain mendukung apologi dan argumentasinya. Dan itu menjadi ciri khas watak elit-elit PKS (sepengetahuan saya). Beberapa bantahan argumentatif dari praktisi IT sering mendera Tifatul atas pernyataannya yang lebih sering tidak nyambung (bahkan tidak paham masalah IT), justru ditanggapi sebaliknya. Saya sering mendapati, Tifatul tidak pernah berani share atau –paling tidak—mengakui bahwa dirinya tidak memahami IT, yang sebetulnya bantahan itu bisa menjadi bahan evaluasi kerjanya. Sama halnya, orang bodoh yang bangga atas kebodohannya.


Atas jawaban Tifatul tersebut, saya banyak mendapatkan mention dari konstituen PKS. Mereka semua mengeroyok saya dan mencak-mencak, apologinya hampir rata-rata standar; meyakini bahwa apa yang dilakukan Menkominfo pasti amanah, tidak mungkin terjadi praktek korupsi dan lain sebagainya. Saya cuma mesem; nanya sama Menteri, yg marah-marah kok konstituen partai? Memangnya, Kementerian di Indonesia itu sudah menjadi hak milik partai ya?


Saya sengaja menunggu jawaban lanjutan dari Tifatul atas pertanyaan saya, soal program M-PLIK dan saya sekaligus memberi masukan (atas nama rakyat hehe) kepada Tifatul; mohon dievaluasi efesiensi program M-PLIK, bila dirasa tidak efektif dan kemanfaatannya sedikit, hapus programnya. Cari solusi program alternatif yang lebih efektif tanpa menghilangkan substansi; pemberdayaan masyarakat melek akan teknologi dan informasi. Sebab Tifatul berjanji akan menjelaskan kaitannya dengan pertanyaan saya; soal internet, Desa dan M-PLIK.


Sampai saya menulis catatan ini, Tifatul belum memberikan penjelasan apalagi memahamkan kepada masyarakat awam soal manfaat Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan. Mungkin, su'udzon saya, Tifatul berharap; saya lupa soal ini dan tidak melanjutkan obrolan (biar publik tidak begitu memperhatikan. Dan nyatanya memang benar, segelintir masyarakat tertentu saja yang mengetahui adanya program M-PLIK dan mayoritas tidak begitu antusias mengapresiasinya. Salah siapa?).


Itu tadi ocehan saya sebagai orang awam soal efesiensi penggunaan anggaran negara, terkait pengadaan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan di Kemenkominfo. Intinya, program Kementerian yang boros dan tidak tepat sasaran untuk masyarakat; HAPUS atau GANTI SOLUSI! Bila dibiarkan terus, praktek korupsi akan tetap tumbuh bahkan menjadi gunung es. Sekian dan selamat menikmati layanan internet gratis.



http://www.inilah.com/read/detail/1929706/lira-temukan-masalah-di-proyek-plik

LIRA Temukan Masalah di Proyek PLIK
Headline
Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Jusuf Rizal - ist
Oleh:
web - Jumat, 23 November 2012 | 03:15 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Proyek Penyedia Layanan Internet Kecamatan (PLIK) yang dikelola Kemenkominfo ditemui banyak yang bermasalah. Perusahaan pelaksana proyek diduga juga kongkalikong dengan PT. Surveyor Indonesia.

"Di daerah Pulau Jawa PLIK diperkirakan 50 persen belum selesai dan di daerah Sumatera 70 persen belum tercapai, padahal pembayaran sudah selesai. Dari hasil investigasi kami mendunga adanya permainan antara oknum Menko Info dengan rekanan yang diduga berpotensi menimbulkan kerugian negara ratusan milyar," ujar Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA), Jusuf Rizal di Jakarta, Rabu (21/11/2012).

Menurut Jusuf Rizal pengelolaan dana USO (Universal Service Obligation) yang jumlahnya mencapai Rp 1,4 Triliun per tahun di Kemenkominfo dinilai kurang transparan dan diduga dikuasai mafia proyek telekomunikasi.

PLIK dan MPLIK sendiri dikelola oleh Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.

Masalah penyediaan PLIK ini lanjut Jusuf Rizal sudah pernah ditanyakan ke beberapa Kepala Daerah, seperti Bupati Pamekasan, H. Kholilurrahman yang tak tahu keberadaan PLIK itu.

Bupati tersebut mengaku belum pernah dan tidak tahu keberadaan PLIK, jika memang itu diperuntukkan kepada masyarakat guna pelayanan internet di setiap kecamatan. Begitu juga Kabupaten lain.

PLIK yang pernah diresmikan dan dihadiri oleh Anggota Komisi I DPR RI, Roy Suryo di daerah Prambanan, Yogyakarta, menurut informasi yang disampaikan masyarakat ke LIRA, seusai peresmian seremonial juga tidak berjalan alias itu tipu-tipu untuk mengelabui pejabat yang meresmikan.

"Ini tentu saja memprihatinkan. Karena itu diduga adanya mafia proyek," ujarnya.

Ketika ditanya kemungkinan diduga keterlibatan Menkominfo Tifatul Sembiring, menurut Jusuf Rizal pihaknya akan menelusuri, sebab ini menyangkut dana lebih besar dari kasus Hambalang, Kemenpora. "Jadi tim IT LIRA akan menelusuri proses tender hingga implementasi di lapangan. Jika Tifatul diduga terlibat, kami akan laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan bukti-bukti awal termasuk perusahaan rekanan,"tegasnya.

Guna menelusuri dugaan adanya penyalahgunaan wewenang, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), LIRA bersama Federasi LSM Indonesia (FELSMI) akan membentuk tim investigasi. LIRA juga telah mengantongi nama staff khusus Tifatul yang diduga memainkan proyek USO trilliunan rupiah itu.

"Kami juga menengarai PT Surveyor ikut terlibat dalam praktek KKN PLIK tersebut karena survey yang mereka lakukan diduga dimanipulasi. LIRA akan pertanyakan secara resmi kepada Direksi PT. Surveyor nanti," katanya.[dit]

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar