Rabu, 21 November 2012

[Media_Nusantara] SBY MENGINGKARI PUTUSAN MK

 

SBY MENGINGKARI PUTUSAN MK    

by AHMAD SURYONO

Langkah Pemerintah untuk membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (UPKUH Migas) dapat dikategorikan sebagai pengingkaran terhadap Putusan MK tentang UU Migas. Pemerintah memilih menafsirkan amar putusan tersebut sesuai dengan selera dan kepentingan asing yang selama ini terjadi.  Pemerintah SBY sama sekali tidak mau melihat  ruh konstitusi, kepentingan nasional dan keselamatan rakyat.

Putusan MK yang secara garis besar menyatakan seluruh hal yang terkait dengan Badan Pelaksana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat merupakan genus, sedangkan pembubaran BP Migas adalah species. Artinya MK tidak bermaksud mengamanahkan pengelolaan migas kepada entitas lain yang fungsi dan tugasnya sama dengan BP Migas.

Hal tersebut dapat kita baca pada pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan "... fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah." (Poin 3.22 Halaman 114).

Dengan kata lain, pembentukan UPKUH Migas yang fungsi dan tugasnya menyerupai BP Migas merupakan pelecehan terhadap konstitusi, dimana pertimbangan MK pada poin sebelumnya menyatakan bahwa kriteria konstitusional dari "penguasaan negara" terdapat pada frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". (Poin 3.11 Halaman 100).

Definisi "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" kemudian dijelaskan oleh MK dengan lebih spesifik sebagaimana dijelaskan, "Dalam menjalankan penguasaan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu."  (Poin 3.13.3 Halaman 106).

Bahkan MK lebih tegas menjelaskan hubungan hukum antara negara dengan operator pengelola migas, "... hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di bawah kontrol dan kekuasaan negara." (Poin 3.14 Halaman 108)

Pertimbangan tersebut dengan jelas telah meruntuhkan BP Migas beserta rezim hubungan hukumnya yang didasarkan pada konsepsi KKS. MK dengan terang telah memerintahkan penghentian hubungan keperdataan dalam pengelolaan migas untuk menggantinya dengan hubungan yang bersifat publik,  namun Pemerintah masih bersikukuh melanjutkan konsepsi tersebut dengan membentuk UPKUH Migas sebagai pengganti baju BP Migas. Oleh karena itu langkah Pemerintah membetuk UPKUH Migas dapat dikategorikan sebagai langkah memindahkan bencana, dari mulut harimau ke mulut buaya.

Keengganan Pemerintah untuk mendorong Pertamina menjadi Pengatur dan Pengawas usaha migas, sesungguhnya refleksi dari ketakutan Pemerintah terhadap intervensi asing dalam pengelolaan sumber daya alam (migas). Padahal MK dengan terang memberikan petunjuk pada Pemerintah agar memilih entitas yang dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran rakyat, melalui Pemerintah atau BUMN.

Namun Pemerintah kemudian mendefiniskan entitas tersebut dgn membentuk UPKUH Migas, meskipun Pemerintah dapat menafsirkannya dgn merujuk kpd Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bid. migas melalui Kementerian BUMN, dimana Pertamina tlh berpengalaman melakukan pengaturan dan pengawasan usaha migas, sebelum dipreteli dan diserahkan pada BP Migas. Inilah sesungguhnya kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional yang dimaksud oleh MK.

Bahwa ada tudingan Pertamina tidak kredibel dan korup dalam melakukan pengelolaan usaha migas dapat kita lihat dari dua hal. Pertama, bedakan Pertamina sebagai sebuah sistem, dengan kejahatan yang dilakukan oleh individu. Bahwa benar Pertamina di masa lalu merupakan lahan subur terjadinya korupsi, namun tidak dapat dipungkiri Pertamina adalah representasi dari kedaulatan atas pengelolaan sumber daya alam (migas).  Hal tersebut relatif gampang dibenahi, asalkan sistem pengawasan diperketat, sistem audit berjalan baik dan toh kita memiliki KPK. Kedua, keterlibatan asing dalam pengelolaan migas dahulu berada dalam "keranjang" BKKA (Badan Koordinasi Kontraktor Asing) yang berada di dalam mekanisme organisasi Pertamina, sehingga intervensi kepentingan asing tidak akan terlalu mendominasi. Berbeda dengan konsep KKS-BP Migas, dimana kepentingan asing dapat dengan mudah mendikte negara c.q. BP Migas.

Terakhir, mengenai kekhawatiran investor asing akan membawa kasus ini (jika 353 KKS dibatalkan) ke Arbitrase Internasional, seharusnya pemerintah dapat meniru langkah Venzuela, dimana mereka sukses "mengusir" ExxonMobil. Venezuela memang kalah di Arbitrase Internasional dan diwajibkan membayar ganti rugi 255 juta Dollar, namun mereka "menang" karena berhasil melakukan nasionalisasi aset dan dapat menyelamatkan potensial profit atas sumber migas mereka serta dapat mengolah dan memenui kebutuhan energi mereka sendiri. Inilah momentum kita menginisiasi gerakan untuk melakukan nasionalisasi aset asing di Indonesia

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar