Selasa, 09 Juli 2013

[Media_Nusantara] Muhammadiyah asal beda?

 

Muhammadiyah asal beda?
by @Imamdaratan

Apa yg terjadi pada Muhammadiyah? Murnikah "ijtihad" mereka, atau hanya sekedar ingin tampil beda? Bukankah Persatuan Islam seharusnya diutamakan di atas segalanya..?

Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu berkawan. Pernah satu guru, sama2 ahli fikih dan ahli hadist. Sepulang dari menuntut ilmu di Makkah beliau berdua berdakwah sesuai keahlian dan masyarakat yg dihadapi. Kiai Ahmad Dahlan bergerak di tengah Masyarakat perkotaan dlm hal ini Jogja. Sementara Kiai Hasyim Asy'ari di masyarakat pedesaan dgn mendirikan pesantren di Jombang. Keduanya adalah Allamah, orang hebat, mukhlis dan mulia. Rohimahumallah. Keduanya jg punya andil besar memperjuangkan kemerdekaan dgn upayanya mencerdaskan bgsa lewat pendidikan dan agama. Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Organisasi Muhammadiyah, Kiai Hasyim Asy'ari dirikan Nahdlatul Ulama.

Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yg diamalkan masyarakat umumnya sama. Kalaupun ada beda itu sama sekali tak mengganggu. Contoh, sholat tarawih sama2 20 rokaat. Bhkan Kiai Ahmad Dahlan adalah imam Tarawih 20 rokaat di Masjid Syuhada Jogjakarta. Yg jg sama talqin mayit di kuburan, bhkn ziarah kubur dan kirim do'a dalam yasinan dan tahlilan. Sama-sama baca do'a Qunut sholat shubuh dan sama2 gemar baca sholawat dgn dziba'an. Dua kali khutbah dalam shalat Ied dan tiga kali takbir "Allahu Akbar" dalam takbiran jg sama. Dan yg paling monumental, dulu NU dan Muhammadiyah sama2 menggunakan metode ru'yat hilal dlm menetapkan 1 Ramadhan dan 1 Syawal.

Semua amaliah di atas berjalan puluhan tahun dgn damai dan nikmat. Semuanya tertulis dlm kitab "Fikih Muhammadiyah". Kitab tsb terdiri dari 3 jilid yg ditrbitkan oleh Muhammadiyah bagian Taman Pustaka Jogjakarta tahun 1943-an kira2. Namun ktk dibentuknya Majelis Tarjih disinilah mulai ada penataan praktik ibadah yg rupanya "hrs beda" dgn apa yg digariskan pendahulunya. Hal ini secara otomatis membuat Muhammadiyah dan NU yg tadinya sama jadi berbeda dlm bnyk hal.

Duh, untuk menghemat karakter yg disediakan untuk slanjutnya Muhammadiyah disingkat MU. Bkn Manchester United lho.

Disinyalir "tampil beda" ini lebih bernuansa politis daripada kesahihan hujjah yg dijadikan dasar. Ada sebuah tesis yg meneliti hadist2 yg dijadikan rujukan Majelis Tarjih MU dlm menetapkan hukum atau pola ibadah yg dipilih. Kesimpulannya setelah uji takhrij yg hanya berstandar mutawasith (sedang) hadist2 yg dijadikan hujjah adalah dho'if. Padahal Mayoritas ahli hadist mengatakan, hadist dho'if tak boleh dijadikan dasar hukum. Kecuali soal fadha'ilul a'mal (nilai keutamaan), . Contoh (lagi), btp MU tdk benar2 memperhatikan derajat hadist yg dijadikan landasan adalah soal Tarawih yg 4-4-3. Majelis Tarjih memutuskan jumlah rokaat Tarawih adalah delapan plus 3 rokaat witir. Awal2 instruksi, pakai komposisi 4-4-3. 4 rokaat satu salam, 4 rokaat satu salam plus 3 rokaat satu salam. Model Witir 3 rokaat sekaligus ini model Madzhab Hanafi. Smentara NU pakai dua dua semua trmasuk witir 2 plus satu. Ini Syafiie.

Tapi pd thn 1987 komposisi yg 4-4-3 td diubah menjadi dua dua atas saran KH Shiddiq Abbas pd halaqah di Sby. Beliau berdasar pd Hadist Muslim yg lebih shahih. Maka melihat kenyataan dmikian semuanya tunduk/taslim. Akibatnya pd thn itu jg diedarkan keputusan Majelis Tarjih ke semua wilayah tentang perubahan komposisi Tarawih tsb. Dan itu berlaku sampai sekarang. Meski masih ada anggota MU yg masih bertahan dgn 4-4-3.

Sekarang mari kita beralih ke soal itsbat hilal pakai ru'yat. Yg lagi hangat2nya :

Semua ahli Falak, apalagi dari MU pasti tdk pernah lupa bhw dulu MU pakai metode ru'yat bukan hisab spt saat ini. Bahkan patokan ru'yat hilal mrk cukup tinggi yakni 3 derajat. Ini berlangsung selama era orde baru. Departemen agama era orba didominasi oleh orang2 MU, mrk menolak ru'yat Hilal di bawah 3 derajat. Dan selama era orba, ru'yat hilal 3 derajat atau lebih inilah yg selalu dipakai patokan oleh pemerintah dalam itsbatnya. Sementara ahli falak NU yg jg menggunakan Ru'yat memandang posisi hilal 2 drajat sdh bisa untuk diru'yat. Padahal dalam hal ini MU dan NU berdalil pada hadist yg sama yaitu hadist ru'yat dan ikmal. Krn itulah di thn 90an tiga kali berturut2 NU lebaran lebih dulu, krn hilal 2 drajat nyata2 sdh bisa diru'yat. Smentara pemerintah yg didominasi org2 MU hanya gunakan standar hilal tinggi sehingga hrs istikmal. MU + Pemerintah dan NU, masing2 bertahan pada pendiriannya.

Setelah orba lengser dan Gus Dur jd presiden, MU dgn radikal meninggalkan cara ru'yat hilal berderajat tinggi. Lalu dimunculkan metode wujudul hilal, pokoknya jk hilal sdh muncul di atas ufuk brapapun drajatnya, nol koma sekalipun itu sdh tgl 1. Hadist yg dulu jd hujjah dan ayat seruan untuk "taat kpd Allah, Rasul dan Ulil Amri" menjadi ditafsir ulang. Bahkan dgn lantang Bpk Din Samsudin mengatakan, Menteri agama bukanlah Ulil Amri yg wajib ditaati. Bhkn yg info mutakhir MU lapor ke Komnas HAM lantaran Menag mengatakan MU tdk taat kpd pemerintah.

Di sini MU membuat beda lagi dgn NU. Dulu hilal harus derajat tinggi, skrg kriterianya diubah lagi yg pnting muncul brpapun drajatnya. Sementara NU tetap konsisten dari dulu sampai skrg, dgn standar minimum 2 drajat. Tentu beda lagi dgn NU.

Dilihat dari fakta2 tsb di atas tentu twips bisa menyimpulkan siapa yg sengaja beda dan siapa yg enggan dipersatukan. Sekaligus fakta2 tsb diatas seakan membenarkan sinyalemen bhw perbedaan sengaja dibuat krn alasan2 politis. Wallahu A'lam bi showabih.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar