Tidak Lolosnya Khofifah, Karena PDIP & GP Ansor Terlalu Ambisius

Seharusnya Khofifah bisa lolos jadi calon gubernur Jatim (Jawa Timur) , akan tetapi niat baik untuk membangun Jatim ini kandas karena PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) & GP Ansor (Gerakan Pemuda Ansor - Organ otonom dibawah NU) terlalu ambisius. Sehingga Khofifah tidak dapat memenuhi persyaratan jumlah prosentase dukungan dari partai politik yang mempunyai kursi maupun yang tidak mempunyai kursi di DPRD Jatim, sebagaimana ketentuan yang berlaku.

PDIP bisa dikatakan ambisius karena PDIP harusnya sadar diri bahwa mereka tidak mungkin bisa menang dalam pemilihan gubernur Jatim, jika PDIP mengusung calonnya sendiri sebagai calon gubernur. Karena warga Jatim mayoritas adalah warga NU (Nahdlatul Ulama). Apalagi yang dicalonkan adalah Bambang DH, bekas walikota Surabaya yang merupakan figur tidak populer.

Apalagi Bambang DH sebenarnya terbelit banyak masalah hukum & korupsi. Diantaranya sebagaimana berita LensaIndonesia.com http://www.lensaindonesia.com/2013/04/18/duet-bambang-dh-dan-saleh-mukadar-terganjal-korupsi-dana-hibah-2007.html
dimana diduga Bambang DH terbelit masalah korupsi dana hibah untuk persebaya senilai Rp. 17,6 milyar.

Bambang DH diperiksa terkait dugaan gratifikasi Rp. 500 juta semasa menjabat walkota Surabaya.

dimana para terdakwa lain yakni para pejabat pemkot Surabaya yang melaksanakan perintah Bambang DH yang saat itu menjabat walikota Surabaya, sudah mendapat vonis yang tetap dari MA (Mahkamah Agung) dan sudah mendekam dalam penjara, dalam kasus Japung (Jasa Pungut). Tetapi Bambang DH masih bebas.

Mungkin sebenarnya Bambang DH berharap, setelah menjadi walikota Surabaya, lalu menjabat wakil walikota Surabaya dan kemudian jika bisa menang dalam pemilihan gubernur Jatim, maka kasus korupsi yang melilitnya akan berhenti dan akan menjadi kedaluwarsa, sehingga hukum tidak dapat menjamahnya lagi. Karena selama masih menduduki jabatan publik, aparat hukum akan kesulitan karena prosedur untuk memeriksa pejabat tidaklah mudah.

Akan tetapi mungkin karena terlalu ambisius, maka Bambang DH tidak mengukur kekuatannya sendiri dan PDIP tidak sadar diri, bahwa di Jawa Timur suara pemilih PDIP tidaklah cukup besar. Apalagi jika calon gubernur yang diusungnya adalah  Bambang DH yang jelas banyak terlibat dalam dugaan korupsi. 

Sebenarnya Khofifah & PKB (Partai kebangkitan Bangsa) sudah pernah melakukan komunikasi dengan PDIP, akan tetapi hasilnya mengecewakan, karena PDIP meminta calon gubernur dari PDIP, sedangkan Khofifah akan dijadikan sebagai wakil gubernur. Tentu saja ini menunjukkan bahwa PDIP dan Bambang DH tidak tahu diri. Karena sebenarnya tanpa bantuan siapapun, Khofifah dipastikan akan bisa menang dalam pemilihan gubernur Jatim. Seharusnya PDIP & Bambang DH menerima uluran tangan dari Khofifah dan bersedia menjadi calon wakil gubernur. Karena siapapun wakil gubernur yang digandeng Khofifah, dipastikan bisa unggul dalam pemilihan gubernur Jatim, karena pemilih di Jatim mayoritas adalah pemilih Khofifah.

Sedangkan GP Ansor disebut terlalu ambisius, karena Syaifullah Yusuf yang merupakan tokoh GP Ansor itu tidak mau bekerjasama dengan PKB dan Khofifah. Sehingga Syaifullah Yusuf lupa diri bahwa GP Ansor sebagai organisasi otonom dalam keluarga besar NU itu  harusnya lebih taat pada ulama.

Memang sebenarnya Syaifullah Yusuf pernah mencoba mendekati PKB, dan dengan membawa dukungan seluruh partai non parlemen (partai peserta pemilu yang tidak memperoleh kursi) di Jatim. Dengan dukungan dari partai non parlemen itu Syaifullah meminta dukungan PKB agar diusung sebagai calon gubernur Jatim dan Khofifah sebagai wakil gubernurnya. Sebab dengan dukungan dari seluruh partai non parlemen & PKB jika digabung akan memenuhi syarat jumlah prosentase 15% bahkan bisa lebih, sesuai dengan ketentuan yang ada.

Tentu saja hal ini ditolak oleh Khofifah & PKB. Sebenarnya pada Syaifullah sudah ditawarkan sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Khofifah yang akan diusung sebagai calon gubernur oleh PKB. Dan diminta agar dukungan dari partai non parlemen diserahkan semua pada Khofifah & PKB. Tetapi dalam perundingan itu ada beberapa tokoh yang berpendapat bahwa sebaiknya calon gubernur dan wakil gubernur jangan dari NU semua. Jika Syaifullah ingin maju sebagai calon wakil gubernur, dia harus membuktikan bahwa dirinya bisa merangkul suara diluar suara warga NU. Jika ada calon wakil gubernur lain, yang lebih berpotensi untuk mendulang suara diluar suara warga NU, beberapa ulama sudah menyarankan agar Syaifullah mengalah dan memberikan dukungan seluruh partai non parlemen pada Khofifah & PKB.

Beberapa tokoh menyarankan demikian karena potensi suara GP Ansor & Syaifullah jika dibanding potensi suara Khofifah sangatlah jauh, karena GP Ansor aktifitasnya sering kali hanya insidental atau tidak rutin, sehingga tidak populer dan jarang dirasakan manfaatnya untuk masyarakat. Sehingga jika Syaifullah yang maju sebagai calon gubernur belum tentu bisa menang. tapi jika Khofifah yang dijadikan calon gubernur, bisa dipastikan akan menang.

Akan tetapi Syaifullah & GP Ansor tidak taat pada ulama, sehingga Syaifullah akhirnya membawa kembali semua dukungan dari partai non parlemen itu dan berpasangan kembali dengan Soekarwo. Dimana calon gubernur adalah Soekarwo & Syaifullah Yusuf sebagai calon wakil gubernur.

Harusnya Syaifullah tidak serakah, karena sebenarnya tanpa dukungan partai non-parlemen, dukungan untuk pasangan Soekarwo-Syaifullah jumlahnya sudah cukup memenuhi ketentuan. harusnya Syaifullah menuruti saran dari para ulama, dimana dukungan dari seluruh partai non parlemen itu diserahkan pada PKB & calon pasangan Khofifah-Herman.

Keserakahan dari Syaifullah inilah yang disebut sebagai banyak pihak sebagai sikap yang dholim pada pasangan Khofifah-Herman. Padahal sebenarnya Andry Dewanto, ketua KPU Jatim bersama Khofifah & PKB sudah berusaha mendekati beberapa partai non-parlemen agar membatalkan dukungan pada Soekarwo-Syaifullah, dengan penjelasan bahwa tanpa dukungan partai non parlemen, pasangan Soekarwo-Syaifullah sudah cukup memenuhi syarat, maka sebaiknya dukungan dialihkan pada pasangan Khofifah-Herman. Tapi rupanya Syaifullah tidak mau kehilangan suara pendukung, sehingga mempertahankan suara dukungan partai non parlemen itu, dan tidak mau memberikannya pada pasangan Khofifah-Herman. Hal ini pernah dilaporkan oleh Khofifah pada Jimly Asshiddiqie, ketua DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sebagaimana berita dari RadjaWarta.Com https://www.radjawarta.com/merasa-didzolimi-khofifah-lapor-ke-dkpp-dan-mk  dimana ketua DKPP menyebut perbuatan Syaifullah itu sebagai tindakan yang tak bermoral.

Dengan fakta ini, DKPP & PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) diharapkan membuat keputusan untuk meloloskan pasangan Khofifah-Herman sebagai calon gubernur & calon wakil gubernur Jatim pada pemilihan Gubernur Jatim yang akan dilaksanakan pada Agustus 2013.

RATU ADIL
Rakyat Bersatu Anti Orang Dholim

Sumber:
Tabloid Kali Mas
http://tabloidkalimas.blogspot.com/2013/07/tidak-lolosnya-khofifah-karena-pdip-gp.html