Tiga Tugas yang Menggentarkan Hati
SESUNGGUHNYA manusia Indonesia itu lebih gagah berani daripada para jin. Ikuti cerita adaptasi berikut ini.
SEORANG pengusaha industri yang sedang pusing karena produksi pabriknya tersendat-sendat oleh demonstrasi kaum buruh yang tak kunjung henti, mengisi akhir pekan untuk mencari ketenangan dengan berperahu sambil memancing di laut. Sebuah botol hijau yang antik terbawa ombak ke sisi perahunya. Tertarik bentuknya, ia memungut botol itu. Penasaran ia mencabut sumbat botol untuk mencari tahu apa isinya. Persis halnya dengan kisah dalam dongeng, asap putih keluar menyembur dan berubah wujud menjadi seorang jin. Dengan takzim sang jin menyembah lalu duduk dengan khidmat di depannya.
[JIN DARI BOTOL. "Kisah-kisah keberanian manusia Indonesia saat ini, yang melebihi keberanian para jin, dan memiliki kenekadan untuk menggungguli iblis dalam berperilaku, memang tergolong menakjubkan"]
Seperti kisah-kisah jin lainnya yang dibebaskan dari sekapan di botol, mahluk dari zaman dan dimensi lain itu menyampaikan terima kasih. "Tuanku, sampaikan tiga permintaan, akan hamba laksanakan".
Lepas dari rasa kagetnya sang pengusaha lalu menjawab dan dengan tangkas menyampaikan permintaan. "Baiklah jin….. Saya ingin dalam beberapa bulan ke depan ini, engkau menjalankan tiga tugas. Pertama, saya ingin agar pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, di atas sembilan persen. Kedua, seluruh uang hasil korupsi dikembalikan ke rakyat dan para pelakunya dipenjarakan semua. Ketiga, hendaknya hukum dan keadilan betul-betul ditegakkan tanpa pandang bulu".
Sang jin, terpekur seraya menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak. Lalu berkata dengan lesu, "Ampuni hamba, tuan…. Hamba tak punya ilmunya…". Bersamaan dengan itu, wujudnya berangsur-angsur menjadi asap lagi dan meluncur masuk ke botol. Dari dalam botol kemudian terdengar teriakan sayup-sayup, "Tolong tutup kembali botolnya, tuan".
TIGA tugas itu, lazimnya dibebankan kepada Presiden dan para menteri serta para pembantunya yang lain. Di situlah terbukti keberanian manusia, khususnya manusia Indonesia, dalam keadaan serba meleset seperti sekarang ini, selalu banyak yang berani mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden dan memunculkan nama agar diangkat sebagai menteri. Di saat korupsi dilakukan lebih menggelora daripada 'candu asmara', tetap saja ada yang ingin menjadi Ketua dan Wakil Ketua KPK. Dan di kala kepolisian dan kejaksaan serta dunia penegakan hukum pada umumnya dilanda dan dililit isu mafia hukum dan peradilan, tak ada yang menolak untuk menjadi Kapolri, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Jabatan Menteri atau Wakil Menteri Hukum dan HAM pun diterima dengan senang hati, meski ada risiko ditonjok atau menonjok kala sidak.
Jenis keberanian lainnya, meskipun tahu bahwa untuk menjadi gubernur, bupati/walikota maupun anggota DPR dan DPRD di masa ini sangat mahal ongkosnya, tetap saja orang berduyun-duyun mendaftar sebagai kandidat. Begitu pula untuk posisi-posisi di kepengurusan partai atau induk-induk organisasi olahraga. Rupanya, kuat keyakinan –yang kadangkala lebih kuat dari keyakinan agama– bahwa bila posisi itu diraih, berlaku garansi uang (pasti) kembali. Bila nantinya dalam posisi-posisi itu mereka mendapat sorotan dalam kaitan korupsi, dengan berani mereka bersumpah melakukan kencan paling berbahaya: kencantol di Monas. Paling kurang, menawarkan sumpah pocong.
Kisah-kisah keberanian manusia Indonesia saat ini, yang melebihi keberanian para jin, dan memiliki kenekadan untuk menggungguli iblis dalam berperilaku, memang tergolong menakjubkan.
TAPI apapun memang bisa terjadi dalam situasi kehidupan politik dan kekuasaan serba kacau dan tanpa kepastian seperti yang kita alami beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Segala gerak langkah politik dan tindakan kekuasaan, berada dalam satu bungkusan dengan berbagai perilaku korupsi dan aneka tingkah laku menyimpang lainnya. Meminjam beberapa frase dalam Murphys Law, dalam situasi saat ini, apapun yang bisa menjadi salah, akan menjadi salah –anything that can go wrong will go wrong. Dan proses menuju keadaan serba salah itu terjadi sekaligus dalam seketika –everything goes wrong all at once. Tapi herannya tak pernah ada yang merasa bersalah karena perannya dalam menciptakan keadaan serba salah ini.
Dalam menyambut Hari Anti Korupsi 10 Desember 2012, dengan gagah berani, tanpa gentar, sejumlah institusi memasang poster dan spanduk anti korupsi yang galak. Padahal, sebagian dari institusi-institusi itu justru sedang dalam sorotan karena berbagai skandal korupsi yang terjadi di tubuhnya…..
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
SESUNGGUHNYA manusia Indonesia itu lebih gagah berani daripada para jin. Ikuti cerita adaptasi berikut ini.
SEORANG pengusaha industri yang sedang pusing karena produksi pabriknya tersendat-sendat oleh demonstrasi kaum buruh yang tak kunjung henti, mengisi akhir pekan untuk mencari ketenangan dengan berperahu sambil memancing di laut. Sebuah botol hijau yang antik terbawa ombak ke sisi perahunya. Tertarik bentuknya, ia memungut botol itu. Penasaran ia mencabut sumbat botol untuk mencari tahu apa isinya. Persis halnya dengan kisah dalam dongeng, asap putih keluar menyembur dan berubah wujud menjadi seorang jin. Dengan takzim sang jin menyembah lalu duduk dengan khidmat di depannya.
[JIN DARI BOTOL. "Kisah-kisah keberanian manusia Indonesia saat ini, yang melebihi keberanian para jin, dan memiliki kenekadan untuk menggungguli iblis dalam berperilaku, memang tergolong menakjubkan"]
Seperti kisah-kisah jin lainnya yang dibebaskan dari sekapan di botol, mahluk dari zaman dan dimensi lain itu menyampaikan terima kasih. "Tuanku, sampaikan tiga permintaan, akan hamba laksanakan".
Lepas dari rasa kagetnya sang pengusaha lalu menjawab dan dengan tangkas menyampaikan permintaan. "Baiklah jin….. Saya ingin dalam beberapa bulan ke depan ini, engkau menjalankan tiga tugas. Pertama, saya ingin agar pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, di atas sembilan persen. Kedua, seluruh uang hasil korupsi dikembalikan ke rakyat dan para pelakunya dipenjarakan semua. Ketiga, hendaknya hukum dan keadilan betul-betul ditegakkan tanpa pandang bulu".
Sang jin, terpekur seraya menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak. Lalu berkata dengan lesu, "Ampuni hamba, tuan…. Hamba tak punya ilmunya…". Bersamaan dengan itu, wujudnya berangsur-angsur menjadi asap lagi dan meluncur masuk ke botol. Dari dalam botol kemudian terdengar teriakan sayup-sayup, "Tolong tutup kembali botolnya, tuan".
TIGA tugas itu, lazimnya dibebankan kepada Presiden dan para menteri serta para pembantunya yang lain. Di situlah terbukti keberanian manusia, khususnya manusia Indonesia, dalam keadaan serba meleset seperti sekarang ini, selalu banyak yang berani mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden dan memunculkan nama agar diangkat sebagai menteri. Di saat korupsi dilakukan lebih menggelora daripada 'candu asmara', tetap saja ada yang ingin menjadi Ketua dan Wakil Ketua KPK. Dan di kala kepolisian dan kejaksaan serta dunia penegakan hukum pada umumnya dilanda dan dililit isu mafia hukum dan peradilan, tak ada yang menolak untuk menjadi Kapolri, Jaksa Agung atau Ketua Mahkamah Agung. Jabatan Menteri atau Wakil Menteri Hukum dan HAM pun diterima dengan senang hati, meski ada risiko ditonjok atau menonjok kala sidak.
Jenis keberanian lainnya, meskipun tahu bahwa untuk menjadi gubernur, bupati/walikota maupun anggota DPR dan DPRD di masa ini sangat mahal ongkosnya, tetap saja orang berduyun-duyun mendaftar sebagai kandidat. Begitu pula untuk posisi-posisi di kepengurusan partai atau induk-induk organisasi olahraga. Rupanya, kuat keyakinan –yang kadangkala lebih kuat dari keyakinan agama– bahwa bila posisi itu diraih, berlaku garansi uang (pasti) kembali. Bila nantinya dalam posisi-posisi itu mereka mendapat sorotan dalam kaitan korupsi, dengan berani mereka bersumpah melakukan kencan paling berbahaya: kencantol di Monas. Paling kurang, menawarkan sumpah pocong.
Kisah-kisah keberanian manusia Indonesia saat ini, yang melebihi keberanian para jin, dan memiliki kenekadan untuk menggungguli iblis dalam berperilaku, memang tergolong menakjubkan.
TAPI apapun memang bisa terjadi dalam situasi kehidupan politik dan kekuasaan serba kacau dan tanpa kepastian seperti yang kita alami beberapa tahun terakhir ini di Indonesia. Segala gerak langkah politik dan tindakan kekuasaan, berada dalam satu bungkusan dengan berbagai perilaku korupsi dan aneka tingkah laku menyimpang lainnya. Meminjam beberapa frase dalam Murphys Law, dalam situasi saat ini, apapun yang bisa menjadi salah, akan menjadi salah –anything that can go wrong will go wrong. Dan proses menuju keadaan serba salah itu terjadi sekaligus dalam seketika –everything goes wrong all at once. Tapi herannya tak pernah ada yang merasa bersalah karena perannya dalam menciptakan keadaan serba salah ini.
Dalam menyambut Hari Anti Korupsi 10 Desember 2012, dengan gagah berani, tanpa gentar, sejumlah institusi memasang poster dan spanduk anti korupsi yang galak. Padahal, sebagian dari institusi-institusi itu justru sedang dalam sorotan karena berbagai skandal korupsi yang terjadi di tubuhnya…..
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar