Episode Kesekian dari Sinetron Hambalang
Gonjang ganjing audit BPK atas Hambalang menurut saya mengulangi gonjang ganjing audit BPK atas Rekening 502 delapan tahun yang lalu. Ketika dipaksa untuk menyebutkan ada sangkaan tindak pidana, BPK selalu berkelit dengan kalimat "Diperlukan audit yang lebih teliti lagi". Di kasus rekening 502 pun BPK selalu berkilah dengan alasan seperti dalam kalimat "Jadi bukan kejahatan, cuma pencatatannya amburadul".
Sebenarnya kasus-kasus besar di KPK sudah memasuki babak akhir, sudah sampai ke siapa-siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Saya yakin bukti-bukti awal yang dimiliki KPK sudah sangat kuat. Apalagi Deddy Kusnidar demikian kencang nyanyiannya dan didukung Wafid M.
Agar lebih kuat lagi seharusnya KPK menetapkan semua panitia lelang dan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai tersangka dulu. Apabila tidak demikian akan sulit dan terlalu terjal untuk menjerat Kuasa Anggaran.
Yang sedang seru malah senggol-senggolan di internal Demokrat sendiri. Bahkan sudah ada beberapa gerbong yang siap memajukan jagoannya. Untuk sementara memang gerbong sang pangeran adalah yang paling kuat dan solid. Terutama beberapa tokoh sudah ada dibelakangnya. Denger-denger bahkan sang Big Boss sudah mempersiapkan calon pengganti AU dan AM. Namanya pun sudah ada di atas meja sang Big Boss. Nama yang telah disebut-sebut sejak kasus Wisma Atlet itulah yang saya duga pasti akan dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan dalam keterangannya, Dedy K, mengatakan pihaknya bekerja sesuai dengan perintah 'atasan', siapa atasannya?.
Melihatnya gampang seandainya terkait AU, jika gerbong AU masih sesolid waktu pertama kali AU diperiksa KPK, AU tidak akan jadi tersangka. Yang jelas kisruh di BPK kemarin itu memperjelas kira-kira siapa yang akan dijerat oleh KPK.
Kenapa KPK meminta BPK mengaudit karena memang BPK yang bertugas menghitung kerugian negara dalam suatu proyek yg dibiayai APBN. Menjadi menarik ketika Audit BPK itu menyentuh nama-nama yang diduga terlihat... padahal yang diminta KPK hanya hitungan kerugian negara. Atau jangan-jangan ada dua Audit yang dipersiapkan BPK? tapi untuk apa dan untuk siapa?
Audit BPK mengenai kerugian negara apabila akurat dan kredibilitasnya diakui tentu menjadi pembenaran dijerat atau tidaknya sebuah nama. Inilah yang dimaui oleh 'seseorang' yang mengintervensi Auditor BPK, dengan harapan nama yang hilang akan dianggap benar bila tak terjerat. Tujuannya adalah bila hasil audit BPK diakui kredibilitasnya, maka hilangya nama-nama dari audit adalah sesuatu yang dianggap benar. Dan tujuan akhirnya adalah: tidak dijeratnya nama-nama yang semula dicurigai terlibat adalah sesuatu yang dianggap benar juga oleh khalayak.
Patgulipat BPK di Audit Hambalang
Beberapa hal yang ditemukan auditor hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntunan penegak hukum.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nampaknya terlupa untuk memberikan penilaian atas kesalahan apa yang terjadi dalam proses perencanaan anggaran dan proses pemilihan lahan untuk proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor.
Berdasarkan hasil telaah terhadap audit BPK, para auditor di lembaga itu sebenarnya sudah secara rinci menemukan fakta dan menggambarkannya di dalam penjelasan audit. Namun kemudian fakta-fakta itu hilang dari kesimpulan audit, yang hanya mempermasalahkan proses pemberian izin tanah, proses sertifikasi, proses pengajuan anggaran multiyears, proses pemilihan rekanan, proses pencairan uang muka, dan proses pembangunan.
Berikut kami sajikan beberapa hal yang ditemukan auditor namun hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntunan para penegak hukum untuk menindaklanjutinya dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana.
Proses Perencanaan Anggaran
Hingga 2009, dalam penetapan pagu definitif tahun anggaran (TA) APBN 2010, Kemenpora masih mengalokasikan anggaran sekitar Rp 125 miliar untuk kegiatan pembangunan P3SON Hambalang. Hal itu berarti rencana pembangunan yang masih diacu adalah rencana lama di bawah manajemen Menpora lama Adhyaksa Dault yang nilainya total sekitar Rp 300-an miliar .
Namun entah mengapa, sekitar dua bulan sebelum Andi Alfian Malarangeng dilantik sebagai Menpora menggantikan Adhayaksa, atau tepatnya sekitar Agustus 2009, Wafid Muharram (WM) sebagai Sesmenpora telah memulai rencana perhitungan terhadap perkiraan biaya pembangunan P3SON Hambalang secara keseluruhan. Hal itu meliputi pekerjaan konstruksi maupun kebutuhan peralatan/perlengkapan olahraga dan kesehatan.
Dalam menyusun anggaran itu, WM mengajak Lisa Lukitawati (LLI) Direktur CV Rifa Medika sebagai Tim Asistensi Kemenpora. Saat itu alasan yang disampaikan adalah Lisa diminta WM untuk membantu merencanakan kembali proyek Sentul tahun 2006, antara lain menyiapkan draft TOR dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk pekerjaan fisik bangunan dan peralatan sebesar Rp 1,7 Triliun.
Dalam proses yang seharusnya hanya dilakukan oleh organ Pemerintahan itu, Wafid merekomendasikan masuknya pihak pengusaha swasta. Yakni IN dan SA untuk menghitung RAB pekerjaan fisik bangunan, serta Deddy Kusdinar dan WS yang akan membantu menghitung RAB peralatan.
IN adalah Direktur Utama PT BIE, sementara SA adalah stafnya. WS adalah Sekretaris Program Program Atlet Andalan (PAL) Kemenpora, dan Deddy saat itu adalah Kepala Biro Perencanaan Kemenpora. Khusus Deddy, dirinya kini ditetapkan sebagai tersangka kasus itu.
Hasil perhitungan RAB meliputi pekerjaan fisik bangunan sekitar Rp800 Miliar dan peralatan sekitar Rp 900 Miliar yang diserahkan kepada WM. Selanjutnya WM meminta Lisa agar mengubah perhitungan RAB yang sudah dilakukan agar menjadi sebesar Rp2,5 Triliun dengan pertimbangan untuk fisik bangunan sebesar Rp 1,2 Triliun dan untuk peralatan sebesar Rp 1,3 Triliun.
Perintah itu benar-benar dikerjakan dengan bukti temuan surat-menyurat via email diantara SA di sonny.anjanxxxxx@gmail.com, dengan Kabid Sarana dan Prasarana Olahraga Kemenpora berinisial AH di almanhxxxx@yahoo.com, dan Lisa di lisa_ixxx@rifamed.com.
Misalnya, pada 20 Oktober 2009, AH meminta SA untuk menghitung kembali perkiraan biaya pembangunan yang sudah ada agar total menjadi sebesar Rp2.538.515.883.038 untuk tahun 2010 sampai dengan 2014.
Pada 26 Oktober 2009, SA menyatakan kepada AH bahwa dari perhitungan dan hasil analisis menggunakan masterplan, maka SA hanya mampu mengembangkan biaya menjadi Rp 2.171.534.721.838 untuk 5 tahun anggaran. SA mengaku kesulitan menambah anggaran menjadi Rp 2.538.515.883.038 sebab akan tidak wajar bila melihat dari luasan area dan fasilitas yang tersebut di dalam masterplan. Pasalnya ada Permen PU Nomor 45 tahun 2007 yang membatasi terhadap desain bangunan pemerintah. Sejak Januari 2010, SA diketahui sudah tidak mengikuti kegiatan perencanaan proyek Hambalang.
Dari AH didapat keterangan setelah hasil perhitungan SA sebesar Rp 2.171.534.721.838, lalu diserahkan kepada WM, yang kembali mendorong agar direvisi lagi sehingga anggarannya sekitar Rp2,5 Triliun. Kesalahan SA adalah dia mengurangi biaya peralatan yang dihitung terpisah oleh Lisa dan seseorang berinisial dan Tom.
BPK menemukan WM menyatakan bahwa hasil hitung-hitungan Tim Asistensi itu tak dilaporkan ke Menpora saat itu Adhyaksa Dault dengan alasan hal itu bukanlah pembahasan formal. Namun belakangan dari rancangan anggaran itulah yang menjadi dasar bagi Kemenpora di bawah Andi Alfian Malarangeng untuk lanjut ke proses revisi proyek termasuk revisi anggaran, hingga ke proposal multi years ke Kementerian Keuangan.
Namun, BPK sama sekali tak memberikan opini terhadap proses itu di bagian kesimpulan. Perlakuan berbeda dilaksanakan BPK ketika mengaudit proyek vaksin flu burung yang hasilnya diberikan ke DPR beberapa bulan lalu. Dalam audit pabrik vaksin flu burung, BPK menunjukkan bahwa proyek pabrik flu burung bermasalah sejak perencanaan karena diatur oleh rekanan swasta dari PT.Anugerah Nusantara, yang belakangan turut menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Koordinator Riset dan pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana, mengatakan hal itu bisa menimbulkan lagi kecurigaan bahwa memang ada intervensi penyusunan hasil audit BPK dalam kasus Hambalang.
"Karena konten hasil audit dan kesimpulan itu tidak saling mendukung satu sama lain. Itu tercermin pada proses perencanaan penganggaran proyek hambalang ini," kata Maulana di Jakarta, Jumat (2/11).
Dia melanjutkan masyarakat sudah terlajur percaya bahwa ada kongkalikong kuat antara Kemenpora dengan BPK. Oleh kerena itu, BPK seharusnya menjadi aktor kunci yang menunjukkan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu.
"Itu bisa dilakukan dengan menunjukkan hasil audit sebenarnya ke publik yang tidak ada unsur intervensinya," tegas Maulana
Fakta yang Hilang di Hambalang
Pada akhir 2009, Andi meminta Tim untuk memperbesar proyek Hambalang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlupa memberikan penilaian atas kesalahan apa yang terjadi dalam proses perencanaan anggaran dan proses pemilihan lahan untuk proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor.
Berdasarkan hasil telaah terhadap audit BPK, para auditor di lembaga itu secara rinci menemukan fakta dan menggambarkannya di dalam penjelasan audit. Namun kemudian fakta-fakta itu hilang dari kesimpulan audit, yang hanya mempermasalahkan proses pemberian ijin tanah, proses sertifikasi, proses pengajuan anggaran multiyears, proses pemilihan rekanan, proses pencairan uang muka, dan proses pembangunan.
Berikut kami sajikan beberapa hal yang ditemukan auditor namun hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntutan para penegak hukum untuk menindaklanjutinya dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana.
Lisa Lukitawati, Tim Asistensi Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Cara Kerjanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan peran Tim Asistensi Kemenpora ini di dalam penjelasan hasil auditnya, namun tak mencantumkannya di dalam kesimpulannya.
Padahal, Tim inilah yang menjadi awal dari penyusunan anggaran proyek itu sebesar Rp 2,5 triliun lebih, yang belakangan dianggap kemahalan. Bukti kemahalan itu adalah, dalam salah satu temuannya, BPK menemukan KSO PT Adhi Karya-Wijaya Karya (KSO AW), pemenang tender proyek itu, mengerjakan pekerjaan beton, baja, pondasi, cut & fill, dan plafond. Nilai pekerjaan-pekerjaan tersebut yang dibayar oleh Kemenpora kepada KSO AW adalah sebesar Rp129.379.207.431. Untuk pekerjaan-pekerjaan itu, KSO AW membayar sebesar Rp78.369.241.173 kepada sub-kontraktor, atau mendapat selisih Rp 51 miliar alias 50 persen di atas harga pasar.
Atau pelaksanaan pekerjaan pengadaan 13 item barang oleh KSO AW yang diserahkan kepada salah satu sub kontraktor PT.DC, yang sebagian pekerjaannya disubkontrakkan lagi ke 14 perusahaan. Untuk pekerjaan itu, PT DC mengeluarkan uang Rp27.878.238.973 (termasuk pajak) kepada 14 perusahaan itu, sementara mereka mendapat pembayaran dari KSO AW sebesar Rp113.824.122.280 (termasuk pajak).
Dengan demikian, peran Tim Asistensi Kemenpora tersebut sebenarnya sangat vital sejak awal untuk mengarahkan adanya kerugian keuangan negara.
Pada Agustus 2009, Sesmenpora Wafid Muharram (WM) mengontak Lisa Lukitawati (LLI), Direktur CV Rifa Medika, sebagai Tim Asistensi Kemenpora. Bersama Lisa, dimasukkan pengusaha swasta berinisial IN (Direktur Utama PT BIE) dan stafnya berinisial SA untuk menghitung RAB pekerjaan fisik bangunan.
Lalu Deddy Kusdinar yang kini menjadi tersangka kasus Hambalang di KPK, WS sebagai Sekretaris Program Program Atlet Andalan (PAL) Kemenpora. Lisa dibantu lagi oleh seseorang berinisial dan Tom.
Mereka inilah tim yang pertama mengerjakan RAB dan TOR untuk proyek Hambalang Rp 2,5 triliun itu.
Pada Januari 2010, WM menandatangani Surat Tugas untuk Tim Asistensi baru yang meliputi PNS di Kemenpora maupun pihak luar Kemenpora. Yaitu Deddy Kusdinar, Kepala Biro Umum Kemenpora PM, Asdep Prasarana dan Sarana Olahraga Kemenpora Mu, Praktisi olahraga dan Sekretaris Program PAL Kemenpora WS, dan Lisa Lukitawati sebagai Direktur CV Rifa Medika. Pada April 2010, Deddy Kusdinar juga menandatangani Surat Tugas untuk Komisaris PT T Metaphora Solusi Global Muhammad Arifin.
Untuk melancarkan pekerjaan, dan mungkin menghindarkan diri dari penyadapan KPK, semua pihak itu berkomunikasi melalui sebuah mailing list (milis) di sentul-highlander-digest@yahoogroups.com yang belakangan sudah mereka hapus. Di grup yang dibuat pada Januari 2010 itulah mereka saling berkomunikasi mematangkan konsep dan desain perencanaan pembangunan P3SON Hambalang.
Di milis itu, selain nama-nama disebut di atas, ada pihak lain yang ikut berkomunikasi yakni Sya dari OD, Pte, Ltd, ADK dari PT Duta Graha Indah, seorang kontraktor berinisial AR, seorang swasta berinisial ARD, dan seorang ahli olahraga dari ITB berinisial Tom.
Pada awal kepemimpinananya di akhir 2009, Andi Alfian Malarangeng, meminta Tim tersebut untuk datang ke kedimannya di Cilangkap, Jakarta Timur untuk mempresentasikan rencana pembangunan proyek Hambalang. Di situ, Malarangeng mempresentasikan juga keinginannya untuk memperbesar proyek Hambalang dari yang sebelumnya direncanakan Menpora lama, Adhyaksa Dault.
Dari situ mereka mulai bekerja membangun usulan gambar desain serta desain anggaran setelah mempertimbangkan masukan dan arahan dari Malarangeng dan WM. Penyusunan gambar desain perspektif dilakukan oleh timnya ADK dari PT GI dan timnya AW dari PT MSG. AW adalah perwakilan yang ditinjuk Muhammad Arifin, Komisaris MSG.
Sementara ADK, walau tak ada surat tugas sebagai tim asistensi, diikutkan dalam perencanaan itu karena diminta bantuan oleh Sya dari OD, Pte, Ltd untuk mengurus proyek Hambalang dengan menemuicDeddy Kusdinar pada awal Januari 2010. Dia sempat tercatat mempresentasikan hasil kerja di hadapan Tim Asistensi, WM, dan Alfian Malarangeng. Per 28April 2010, ADK diminta mundur dengan kompensasi dalam sebuah pertemuan di kantor Lisa Lukitawati.
Selain gambar, Tim itu juga menghasilkan perhitungan perkiraan anggaran. AW dari PT MSG yang mengerjakan hitungan pekerjaan konstruksi sebesar Rp 1.175.320.006.000 termasuk biaya konsultan perencana, manajemen konstruksi dan pengelola teknis. Sementara perhitungan biaya peralatan sebesar Rp1,4 Triliun disusun oleh tim yang dipimpin Lisa Lukitawati. Resmilah angka Rp 2,5 triliun itu.
Uniknya, semua proses ini dianggap tak bermasalah oleh BPK sehingga tak dimasukkan ke dalam kesimpulan hasil audit.
Padahal menurut Koordinator Riset dan pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana, tim asistensi itu biasa dibentuk di dalam sebuah kementerian.
Biasanya, kata dia, setiap implementasi program di lapangan memiliki tim asistensi yang mengarahkan agar perencanan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Tim itu juga bekerja sampai memantau pelaksanaan pekerjaan.
"Tapi mereka ini biasanya orang-orang internal kementerian. Sejauh ini kita belum tahu kalau ada mekanisme asistensi yang melibatkan pihak luar," kata Maulana di Jakarta, Jumat (2/11).
DPR Juga Lakukan Pembiaran Kasus Hambalang
Tidak mungkin tidak ada rapat-rapat DPR dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga membahas soal Hambalang.
Hasil audit investigasi BPK soal proyek Hambalang dinilai tidak komprehensif karena tidak menyebutkan peran DPR.
Anggota legislatif diduga terlibat dalam pembahasan anggaran.
Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada banyak kepentingan dalam kasus Hambalang.
"Tidak mungkin tidak ada rapat-rapat DPR dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga membahas soal Hambalang," ujarnya dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (3/11).
Burhanuddin mengatakan, saat pembahasan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, seharusnya DPR mengetahui apakah ada tanda tangani Andi Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga.
Seperti diketahui, tanda tangan yang tertera dalam pengajuan anggaran adalah milik Sekretaris Menpora Wafid Muharam. "Apakah Andi Malarangeng (Menpora) tidak pernah ikut rapat dengan DPR memutuskan soal Hambalang?" tanyanya.
Pada kesempatan yang sama, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto mengatakan, hasil audit BPK belum optimal. "Audit BPK tidak pernah menyelusuri kenaikan drastis dari Rp125 miliar menjadi Rp1.2 triliun. Hal ini tidak pernah ditanyakan kepada DPR," ujarnya.
Dia khawatir, hasil audit ini hanya akan menjadi alat 'testing the water'. Jika tidak ada reaksi keras publik, maka investigasi tahap kedua tidak akan ada hasil signifikan yang bisa mengupas proyek Hambalang ini.
Emerson mengatakan, seharusnya DPR juga proaktif melakukan penyelidikan. "Tidak sekedar menunggu hasil audit BPK," kata dia.
baca juga :
KEBIASAAN ANDI MALARANGENG SELAMA MENJABAT MENPORA ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2012/11/medianusantara-kebiasaan-andi.html
REKAYASA DRAFT FINAL LHP BPK RI TERKAIT KASUS KORUPSI HAMBALANG ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2012/10/medianusantara-rekayasa-draft-final-lhp.html
Gonjang ganjing audit BPK atas Hambalang menurut saya mengulangi gonjang ganjing audit BPK atas Rekening 502 delapan tahun yang lalu. Ketika dipaksa untuk menyebutkan ada sangkaan tindak pidana, BPK selalu berkelit dengan kalimat "Diperlukan audit yang lebih teliti lagi". Di kasus rekening 502 pun BPK selalu berkilah dengan alasan seperti dalam kalimat "Jadi bukan kejahatan, cuma pencatatannya amburadul".
Sebenarnya kasus-kasus besar di KPK sudah memasuki babak akhir, sudah sampai ke siapa-siapa yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Saya yakin bukti-bukti awal yang dimiliki KPK sudah sangat kuat. Apalagi Deddy Kusnidar demikian kencang nyanyiannya dan didukung Wafid M.
Agar lebih kuat lagi seharusnya KPK menetapkan semua panitia lelang dan Kuasa Pengguna Anggaran sebagai tersangka dulu. Apabila tidak demikian akan sulit dan terlalu terjal untuk menjerat Kuasa Anggaran.
Yang sedang seru malah senggol-senggolan di internal Demokrat sendiri. Bahkan sudah ada beberapa gerbong yang siap memajukan jagoannya. Untuk sementara memang gerbong sang pangeran adalah yang paling kuat dan solid. Terutama beberapa tokoh sudah ada dibelakangnya. Denger-denger bahkan sang Big Boss sudah mempersiapkan calon pengganti AU dan AM. Namanya pun sudah ada di atas meja sang Big Boss. Nama yang telah disebut-sebut sejak kasus Wisma Atlet itulah yang saya duga pasti akan dijerat sebagai tersangka oleh KPK. Bahkan dalam keterangannya, Dedy K, mengatakan pihaknya bekerja sesuai dengan perintah 'atasan', siapa atasannya?.
Melihatnya gampang seandainya terkait AU, jika gerbong AU masih sesolid waktu pertama kali AU diperiksa KPK, AU tidak akan jadi tersangka. Yang jelas kisruh di BPK kemarin itu memperjelas kira-kira siapa yang akan dijerat oleh KPK.
Kenapa KPK meminta BPK mengaudit karena memang BPK yang bertugas menghitung kerugian negara dalam suatu proyek yg dibiayai APBN. Menjadi menarik ketika Audit BPK itu menyentuh nama-nama yang diduga terlihat... padahal yang diminta KPK hanya hitungan kerugian negara. Atau jangan-jangan ada dua Audit yang dipersiapkan BPK? tapi untuk apa dan untuk siapa?
Audit BPK mengenai kerugian negara apabila akurat dan kredibilitasnya diakui tentu menjadi pembenaran dijerat atau tidaknya sebuah nama. Inilah yang dimaui oleh 'seseorang' yang mengintervensi Auditor BPK, dengan harapan nama yang hilang akan dianggap benar bila tak terjerat. Tujuannya adalah bila hasil audit BPK diakui kredibilitasnya, maka hilangya nama-nama dari audit adalah sesuatu yang dianggap benar. Dan tujuan akhirnya adalah: tidak dijeratnya nama-nama yang semula dicurigai terlibat adalah sesuatu yang dianggap benar juga oleh khalayak.
Patgulipat BPK di Audit Hambalang
Beberapa hal yang ditemukan auditor hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntunan penegak hukum.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) nampaknya terlupa untuk memberikan penilaian atas kesalahan apa yang terjadi dalam proses perencanaan anggaran dan proses pemilihan lahan untuk proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor.
Berdasarkan hasil telaah terhadap audit BPK, para auditor di lembaga itu sebenarnya sudah secara rinci menemukan fakta dan menggambarkannya di dalam penjelasan audit. Namun kemudian fakta-fakta itu hilang dari kesimpulan audit, yang hanya mempermasalahkan proses pemberian izin tanah, proses sertifikasi, proses pengajuan anggaran multiyears, proses pemilihan rekanan, proses pencairan uang muka, dan proses pembangunan.
Berikut kami sajikan beberapa hal yang ditemukan auditor namun hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntunan para penegak hukum untuk menindaklanjutinya dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana.
Proses Perencanaan Anggaran
Hingga 2009, dalam penetapan pagu definitif tahun anggaran (TA) APBN 2010, Kemenpora masih mengalokasikan anggaran sekitar Rp 125 miliar untuk kegiatan pembangunan P3SON Hambalang. Hal itu berarti rencana pembangunan yang masih diacu adalah rencana lama di bawah manajemen Menpora lama Adhyaksa Dault yang nilainya total sekitar Rp 300-an miliar .
Namun entah mengapa, sekitar dua bulan sebelum Andi Alfian Malarangeng dilantik sebagai Menpora menggantikan Adhayaksa, atau tepatnya sekitar Agustus 2009, Wafid Muharram (WM) sebagai Sesmenpora telah memulai rencana perhitungan terhadap perkiraan biaya pembangunan P3SON Hambalang secara keseluruhan. Hal itu meliputi pekerjaan konstruksi maupun kebutuhan peralatan/perlengkapan olahraga dan kesehatan.
Dalam menyusun anggaran itu, WM mengajak Lisa Lukitawati (LLI) Direktur CV Rifa Medika sebagai Tim Asistensi Kemenpora. Saat itu alasan yang disampaikan adalah Lisa diminta WM untuk membantu merencanakan kembali proyek Sentul tahun 2006, antara lain menyiapkan draft TOR dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk pekerjaan fisik bangunan dan peralatan sebesar Rp 1,7 Triliun.
Dalam proses yang seharusnya hanya dilakukan oleh organ Pemerintahan itu, Wafid merekomendasikan masuknya pihak pengusaha swasta. Yakni IN dan SA untuk menghitung RAB pekerjaan fisik bangunan, serta Deddy Kusdinar dan WS yang akan membantu menghitung RAB peralatan.
IN adalah Direktur Utama PT BIE, sementara SA adalah stafnya. WS adalah Sekretaris Program Program Atlet Andalan (PAL) Kemenpora, dan Deddy saat itu adalah Kepala Biro Perencanaan Kemenpora. Khusus Deddy, dirinya kini ditetapkan sebagai tersangka kasus itu.
Hasil perhitungan RAB meliputi pekerjaan fisik bangunan sekitar Rp800 Miliar dan peralatan sekitar Rp 900 Miliar yang diserahkan kepada WM. Selanjutnya WM meminta Lisa agar mengubah perhitungan RAB yang sudah dilakukan agar menjadi sebesar Rp2,5 Triliun dengan pertimbangan untuk fisik bangunan sebesar Rp 1,2 Triliun dan untuk peralatan sebesar Rp 1,3 Triliun.
Perintah itu benar-benar dikerjakan dengan bukti temuan surat-menyurat via email diantara SA di sonny.anjanxxxxx@gmail.com, dengan Kabid Sarana dan Prasarana Olahraga Kemenpora berinisial AH di almanhxxxx@yahoo.com, dan Lisa di lisa_ixxx@rifamed.com.
Misalnya, pada 20 Oktober 2009, AH meminta SA untuk menghitung kembali perkiraan biaya pembangunan yang sudah ada agar total menjadi sebesar Rp2.538.515.883.038 untuk tahun 2010 sampai dengan 2014.
Pada 26 Oktober 2009, SA menyatakan kepada AH bahwa dari perhitungan dan hasil analisis menggunakan masterplan, maka SA hanya mampu mengembangkan biaya menjadi Rp 2.171.534.721.838 untuk 5 tahun anggaran. SA mengaku kesulitan menambah anggaran menjadi Rp 2.538.515.883.038 sebab akan tidak wajar bila melihat dari luasan area dan fasilitas yang tersebut di dalam masterplan. Pasalnya ada Permen PU Nomor 45 tahun 2007 yang membatasi terhadap desain bangunan pemerintah. Sejak Januari 2010, SA diketahui sudah tidak mengikuti kegiatan perencanaan proyek Hambalang.
Dari AH didapat keterangan setelah hasil perhitungan SA sebesar Rp 2.171.534.721.838, lalu diserahkan kepada WM, yang kembali mendorong agar direvisi lagi sehingga anggarannya sekitar Rp2,5 Triliun. Kesalahan SA adalah dia mengurangi biaya peralatan yang dihitung terpisah oleh Lisa dan seseorang berinisial dan Tom.
BPK menemukan WM menyatakan bahwa hasil hitung-hitungan Tim Asistensi itu tak dilaporkan ke Menpora saat itu Adhyaksa Dault dengan alasan hal itu bukanlah pembahasan formal. Namun belakangan dari rancangan anggaran itulah yang menjadi dasar bagi Kemenpora di bawah Andi Alfian Malarangeng untuk lanjut ke proses revisi proyek termasuk revisi anggaran, hingga ke proposal multi years ke Kementerian Keuangan.
Namun, BPK sama sekali tak memberikan opini terhadap proses itu di bagian kesimpulan. Perlakuan berbeda dilaksanakan BPK ketika mengaudit proyek vaksin flu burung yang hasilnya diberikan ke DPR beberapa bulan lalu. Dalam audit pabrik vaksin flu burung, BPK menunjukkan bahwa proyek pabrik flu burung bermasalah sejak perencanaan karena diatur oleh rekanan swasta dari PT.Anugerah Nusantara, yang belakangan turut menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Koordinator Riset dan pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana, mengatakan hal itu bisa menimbulkan lagi kecurigaan bahwa memang ada intervensi penyusunan hasil audit BPK dalam kasus Hambalang.
"Karena konten hasil audit dan kesimpulan itu tidak saling mendukung satu sama lain. Itu tercermin pada proses perencanaan penganggaran proyek hambalang ini," kata Maulana di Jakarta, Jumat (2/11).
Dia melanjutkan masyarakat sudah terlajur percaya bahwa ada kongkalikong kuat antara Kemenpora dengan BPK. Oleh kerena itu, BPK seharusnya menjadi aktor kunci yang menunjukkan siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu.
"Itu bisa dilakukan dengan menunjukkan hasil audit sebenarnya ke publik yang tidak ada unsur intervensinya," tegas Maulana
Fakta yang Hilang di Hambalang
Pada akhir 2009, Andi meminta Tim untuk memperbesar proyek Hambalang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlupa memberikan penilaian atas kesalahan apa yang terjadi dalam proses perencanaan anggaran dan proses pemilihan lahan untuk proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor.
Berdasarkan hasil telaah terhadap audit BPK, para auditor di lembaga itu secara rinci menemukan fakta dan menggambarkannya di dalam penjelasan audit. Namun kemudian fakta-fakta itu hilang dari kesimpulan audit, yang hanya mempermasalahkan proses pemberian ijin tanah, proses sertifikasi, proses pengajuan anggaran multiyears, proses pemilihan rekanan, proses pencairan uang muka, dan proses pembangunan.
Berikut kami sajikan beberapa hal yang ditemukan auditor namun hilang dari kesimpulan audit yang biasanya menjadi tuntutan para penegak hukum untuk menindaklanjutinya dalam proses penyelidikan dugaan tindak pidana.
Lisa Lukitawati, Tim Asistensi Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Cara Kerjanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan peran Tim Asistensi Kemenpora ini di dalam penjelasan hasil auditnya, namun tak mencantumkannya di dalam kesimpulannya.
Padahal, Tim inilah yang menjadi awal dari penyusunan anggaran proyek itu sebesar Rp 2,5 triliun lebih, yang belakangan dianggap kemahalan. Bukti kemahalan itu adalah, dalam salah satu temuannya, BPK menemukan KSO PT Adhi Karya-Wijaya Karya (KSO AW), pemenang tender proyek itu, mengerjakan pekerjaan beton, baja, pondasi, cut & fill, dan plafond. Nilai pekerjaan-pekerjaan tersebut yang dibayar oleh Kemenpora kepada KSO AW adalah sebesar Rp129.379.207.431. Untuk pekerjaan-pekerjaan itu, KSO AW membayar sebesar Rp78.369.241.173 kepada sub-kontraktor, atau mendapat selisih Rp 51 miliar alias 50 persen di atas harga pasar.
Atau pelaksanaan pekerjaan pengadaan 13 item barang oleh KSO AW yang diserahkan kepada salah satu sub kontraktor PT.DC, yang sebagian pekerjaannya disubkontrakkan lagi ke 14 perusahaan. Untuk pekerjaan itu, PT DC mengeluarkan uang Rp27.878.238.973 (termasuk pajak) kepada 14 perusahaan itu, sementara mereka mendapat pembayaran dari KSO AW sebesar Rp113.824.122.280 (termasuk pajak).
Dengan demikian, peran Tim Asistensi Kemenpora tersebut sebenarnya sangat vital sejak awal untuk mengarahkan adanya kerugian keuangan negara.
Pada Agustus 2009, Sesmenpora Wafid Muharram (WM) mengontak Lisa Lukitawati (LLI), Direktur CV Rifa Medika, sebagai Tim Asistensi Kemenpora. Bersama Lisa, dimasukkan pengusaha swasta berinisial IN (Direktur Utama PT BIE) dan stafnya berinisial SA untuk menghitung RAB pekerjaan fisik bangunan.
Lalu Deddy Kusdinar yang kini menjadi tersangka kasus Hambalang di KPK, WS sebagai Sekretaris Program Program Atlet Andalan (PAL) Kemenpora. Lisa dibantu lagi oleh seseorang berinisial dan Tom.
Mereka inilah tim yang pertama mengerjakan RAB dan TOR untuk proyek Hambalang Rp 2,5 triliun itu.
Pada Januari 2010, WM menandatangani Surat Tugas untuk Tim Asistensi baru yang meliputi PNS di Kemenpora maupun pihak luar Kemenpora. Yaitu Deddy Kusdinar, Kepala Biro Umum Kemenpora PM, Asdep Prasarana dan Sarana Olahraga Kemenpora Mu, Praktisi olahraga dan Sekretaris Program PAL Kemenpora WS, dan Lisa Lukitawati sebagai Direktur CV Rifa Medika. Pada April 2010, Deddy Kusdinar juga menandatangani Surat Tugas untuk Komisaris PT T Metaphora Solusi Global Muhammad Arifin.
Untuk melancarkan pekerjaan, dan mungkin menghindarkan diri dari penyadapan KPK, semua pihak itu berkomunikasi melalui sebuah mailing list (milis) di sentul-highlander-digest@yahoogroups.com yang belakangan sudah mereka hapus. Di grup yang dibuat pada Januari 2010 itulah mereka saling berkomunikasi mematangkan konsep dan desain perencanaan pembangunan P3SON Hambalang.
Di milis itu, selain nama-nama disebut di atas, ada pihak lain yang ikut berkomunikasi yakni Sya dari OD, Pte, Ltd, ADK dari PT Duta Graha Indah, seorang kontraktor berinisial AR, seorang swasta berinisial ARD, dan seorang ahli olahraga dari ITB berinisial Tom.
Pada awal kepemimpinananya di akhir 2009, Andi Alfian Malarangeng, meminta Tim tersebut untuk datang ke kedimannya di Cilangkap, Jakarta Timur untuk mempresentasikan rencana pembangunan proyek Hambalang. Di situ, Malarangeng mempresentasikan juga keinginannya untuk memperbesar proyek Hambalang dari yang sebelumnya direncanakan Menpora lama, Adhyaksa Dault.
Dari situ mereka mulai bekerja membangun usulan gambar desain serta desain anggaran setelah mempertimbangkan masukan dan arahan dari Malarangeng dan WM. Penyusunan gambar desain perspektif dilakukan oleh timnya ADK dari PT GI dan timnya AW dari PT MSG. AW adalah perwakilan yang ditinjuk Muhammad Arifin, Komisaris MSG.
Sementara ADK, walau tak ada surat tugas sebagai tim asistensi, diikutkan dalam perencanaan itu karena diminta bantuan oleh Sya dari OD, Pte, Ltd untuk mengurus proyek Hambalang dengan menemuicDeddy Kusdinar pada awal Januari 2010. Dia sempat tercatat mempresentasikan hasil kerja di hadapan Tim Asistensi, WM, dan Alfian Malarangeng. Per 28April 2010, ADK diminta mundur dengan kompensasi dalam sebuah pertemuan di kantor Lisa Lukitawati.
Selain gambar, Tim itu juga menghasilkan perhitungan perkiraan anggaran. AW dari PT MSG yang mengerjakan hitungan pekerjaan konstruksi sebesar Rp 1.175.320.006.000 termasuk biaya konsultan perencana, manajemen konstruksi dan pengelola teknis. Sementara perhitungan biaya peralatan sebesar Rp1,4 Triliun disusun oleh tim yang dipimpin Lisa Lukitawati. Resmilah angka Rp 2,5 triliun itu.
Uniknya, semua proses ini dianggap tak bermasalah oleh BPK sehingga tak dimasukkan ke dalam kesimpulan hasil audit.
Padahal menurut Koordinator Riset dan pengembangan Seknas Fitra, Muhammad Maulana, tim asistensi itu biasa dibentuk di dalam sebuah kementerian.
Biasanya, kata dia, setiap implementasi program di lapangan memiliki tim asistensi yang mengarahkan agar perencanan sesuai dengan target yang ingin dicapai. Tim itu juga bekerja sampai memantau pelaksanaan pekerjaan.
"Tapi mereka ini biasanya orang-orang internal kementerian. Sejauh ini kita belum tahu kalau ada mekanisme asistensi yang melibatkan pihak luar," kata Maulana di Jakarta, Jumat (2/11).
DPR Juga Lakukan Pembiaran Kasus Hambalang
Tidak mungkin tidak ada rapat-rapat DPR dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga membahas soal Hambalang.
Hasil audit investigasi BPK soal proyek Hambalang dinilai tidak komprehensif karena tidak menyebutkan peran DPR.
Anggota legislatif diduga terlibat dalam pembahasan anggaran.
Pengamat Politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada banyak kepentingan dalam kasus Hambalang.
"Tidak mungkin tidak ada rapat-rapat DPR dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga membahas soal Hambalang," ujarnya dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (3/11).
Burhanuddin mengatakan, saat pembahasan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, seharusnya DPR mengetahui apakah ada tanda tangani Andi Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga.
Seperti diketahui, tanda tangan yang tertera dalam pengajuan anggaran adalah milik Sekretaris Menpora Wafid Muharam. "Apakah Andi Malarangeng (Menpora) tidak pernah ikut rapat dengan DPR memutuskan soal Hambalang?" tanyanya.
Pada kesempatan yang sama, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yunto mengatakan, hasil audit BPK belum optimal. "Audit BPK tidak pernah menyelusuri kenaikan drastis dari Rp125 miliar menjadi Rp1.2 triliun. Hal ini tidak pernah ditanyakan kepada DPR," ujarnya.
Dia khawatir, hasil audit ini hanya akan menjadi alat 'testing the water'. Jika tidak ada reaksi keras publik, maka investigasi tahap kedua tidak akan ada hasil signifikan yang bisa mengupas proyek Hambalang ini.
Emerson mengatakan, seharusnya DPR juga proaktif melakukan penyelidikan. "Tidak sekedar menunggu hasil audit BPK," kata dia.
baca juga :
KEBIASAAN ANDI MALARANGENG SELAMA MENJABAT MENPORA ==> http://
REKAYASA DRAFT FINAL LHP BPK RI TERKAIT KASUS KORUPSI HAMBALANG ==> http://
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (2) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar