ASEAN- Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) Ditulis Oleh Rachmi Hertanti | |
Tuesday, 06 November 2012 | |
"Strategi Negara Maju Untuk Memperkuat Dominasi Di Asia-Pasifik" Asia Menjadi Muara Krisis Kebangkitan ekonomi Asia telah menjadi 'gula' yang menarik banyak pihak untuk menghampirinya. Manisnya ekonomi Asia telah merubah tatanan perekonomian global, khususnya dalam situasi krisis ekonomi global saat ini. Pertumbuhan China saat ini yang menjadi kekuatan ekonomi terbesar didunia juga memberikan pengaruh terhadap ekonomi Asia. Ditengah-tengah melesunya pertumbuhan ekonomi dibeberapa negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, Asia tetap berdiri tegap dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi yang semakin meyakinkan banyak pihak bahwa Asia sebagai pusat perekonomian masa depan. Hal ini kemudian menjadikan Asia sebagai tumpuan negara maju dalam upaya mengeluarkan dirinya dari krisis ekonomi yang melanda. Padahal ini hanya strategi yang akan menularkan krisis ke Asia. Pasar Asia dianggap memberikan janji surga terhadap pemulihan krisis ekonomi dunia. Hal ini didasari atas tingginya angka populasi di Asia, khususnya populasi usia produktif, sehingga akan menjamin ketersediaan tenaga kerja yang produktif dan kompetitif yang kemudian berdampak terhadap potensi besar kepada permintaan pasar. Produktifitas yang dihasilkan menjadi alasan rasional untuk semakin memasifkan agenda investasi diseluruh sektor ekonomi, khususnya yang terkait dengan infrastruktur, manufaktur dan energi. Hal diatas kemudian mendorong sebuah ambisi untuk segera memperluas dan membuka akses pasar serta investasi yang lebih massif lagi dimana hal-hal tersebut diyakini sebagai cara efektif untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat. Skenario ini dijadikan agenda pembangunan dunia (World Development Agenda) yang dicetuskan dalam forum G-20 untuk kemudian dipastikan pelaksanaannya dalam forum-forum regional, seperti APEC dan ASEAN, dalam rangka berjalannya jadwal liberalisasi perdagangan yang telah ditetapkan dimasing-masing kawasan. Integrasi ekonomi kawasan telah menjadi strategi yang mendasar dalam rangka pembukaan akses pasar baik untuk perdagangan barang, jasa, maupun investasi, sebagaimana yang telah berjalan selama ini melalui Free Trade Agreement (FTA). Di ASEAN telah memiliki konsep integrasi kawasan diantara anggota ASEAN yaitu ASEAN Economic Community (AEC) yang akan efektif berjalan secara menyeluruh pada tahun 2015. Selain itu juga, ASEAN juga telah menjalin kerjasama ekonomi dengan beberapa negara lain diluar ASEAN melalui perjanjian kerjasama ekonomi dengan China, Jepang, India, Australia-New Zealand, dan Korea Selatan. Semua FTA itu telah berjalan secara efektif. Di bawah ini tabel tentang ASEAN FTA dan tanggal berlakunya. Namun, dengan perkembangan ekonomi global saat ini pada akhirnya mendorong perubahan terhadap kerjasama ekonomi regional yang telah berjalan. Ada Desakan negara maju di Asia terhadap kebutuhan untuk membentuk perjanjian regional yang lebih besar lagi di ASEAN yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi[1]. Kebutuhan tersebut kemudian dijawab dengan konsep baru atas kerjasama ekonomi regional di ASEAN bersama negara-negara mitra ekonominya yang bernama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau dikenal dengan ASEAN +1 FTAs. Wajah RCEP Dalam Sentralitas ASEAN Di Dunia RCEP telah disepakati dalam KTT ASEAN ke-19, November 2011, melalui The ASEAN Framework for Regional Comprehensive Economic Partnership. Peluncuran negosiasi RCEP dilaksanakan pada ASEAN Summit 18-20 November 2012 antara ASEAN dengan 6 negara mitra FTA-nya, dan ditargetkan selesai pada tahun 2015 agar dapat diselaraskan dengan implementasi dari ASEAN Economic Community 2015. Mandeknya pembahasan Putaran Doha di WTO, RCEP menambahkan fakta bahwa FTA masih dianggap lebih efektif untuk mencapai liberalisasi dalam perdagangan dan penciptaan pasar yang efisien diantara beberapa negara di kawasan. RCEP ditujukan untuk dapat mencapai kerjasama ekonomi yang lebih komprehensif dan saling menguntungkan diantara ASEAN dengan negara-negara mitra FTA-nya. Pembentukan RCEP diyakini akan menjadi pasar perdagangan bebas terbesar didunia. Selain itu, RCEP juga dijadikan sebagai batu loncatan dari pembentukan area perdagangan bebas di Asia-Pasifik pada tahun 2020 dibawah Free Trade Area of The Asia-Pacific (FTAAP) dalam komitmen negara-negara APEC[2]. Hal ini didasari atas argumentasi bahwa ASEAN merupakan pusat dari pertumbuhan ekonomi dunia ditengah-tengah krisis ekonomi global. Sentralitas ASEAN dianggap penting dalam mengembangkan arsitektur Asia-Pasifik yang lebih luas lagi tidak hanya dibawah FTAAP, tetapi juga termasuk Trans Pacific Partnership (TPP) dan The East Asia Free Trade Agreement (EAFTA), dimana negara-negara anggota ASEAN dan ke enam mitra FTA ASEAN terlibat didalamnya[3]. Namun, yang lebih penting dari sentralitas ASEAN adalah bahwa pertumbuhan ekonomi di ASEAN melalui pasar yang besar dan produktifitas yang tinggi dapat membawa perbaikan bagi perekonomian dunia. Sehingga di masa depan, ASEAN akan menjadi arena pertarungan negara maju dalam memperebutkan pasar. Kehadiran RCEP akan semakin menarik banyak pihak diluar ASEAN untuk terlibat di dalam kerjasama ekonomi ini. Hal ini didasari atas aturan main yang dibuat di dalam Framework for RCEP yang membuka peluang bagi negara-negara diluar ASEAN untuk dapat bergabung ke dalam RCEP setelah menjadi mitra ekonomi ASEAN atau disebut juga dengan open accession. Prinsip-prinsip umum dalam Framework for RCEP terkait dengan open accession menyatakan: "The agreement shall have an open accession clause to enable participation of any of the ASEAN FTA partners should they not be ready to participate at the outset as well as any other external economic partners"[4]. Sentralitas ASEAN Dalam mencapai sentralitas ASEAN di dunia, RCEP juga memiliki ambisi yang sangat luas terhadap komitmen yang diikatkan baik dalam perdagangan barang, jasa, ataupun investasi yang salah satunya melalui mekanisme single undertaking. Beberapa kebutuhan yang akan muncul kemudian dalam negosiasi RCEP dipercaya akan memasukkan beberapa isu WTO seperti Trade Facilitation, Government Procurement, dan lain sebagainya. Hal ini bisa mengarahkan negosiasi RCEP ke dalam isu-isu yang selama ini mengalami kebuntuan dalam proses negosiasi di WTO. Harapan RCEP untuk dapat konsisten terhadap perjanjian WTO juga diterapkan dalam aturan mainnya yang diatur melalui Framework on RCEP yang menyatakan: "The agreement shall be consistent with the WTO Agreement" (terjemahannya: Perjanjian ini harus konsisten dengan Perjanjian WTO"). Dari ketentuan tersebut dapat diasumsikan bahwa RCEP akan diarahkan untuk menggantikan putaran negosiasi di dalam WTO yang selama ini belum juga memberikan hasil yang efektif untuk meliberalisasi perdagangan dunia. Asumsi diatas diperkuat dengan keingingan dari ASEAN dan 6 negara mitra FTA-nya untuk menjawab masalah efek "Spaghetti Bowl" dari FTA. Pemisahan kerjasama ekonomi dalam masing-masing perjanjian FTA telah menimbulkan banyaknya masalah dalam perdagangan seperti jadwal pengurangan tarif, Rules of Origins untuk memperoleh preferensi, dan tarif yang berbeda untuk komoditas yang sama[5]. Masalah ini dianggap dapat berdampak terhadap peningkatan biaya transaksi didalam bisnis yang sangat tidak efisien. Dari hal tersebut menunjukkan, bahwa kesadaran terhadap masalah FTA pada akhirnya mengembalikan konsep perdagangan bebas kepada konsep WTO yang hanya menginginkan adanya single tariff dan single rules dalam perdagangan di dunia. Pertarungan Kepentingan Negara Maju Sisi menariknya ASEAN ditambah lagi dengan konsep Single Market & Production Base yang akan diterapkan dalam ASEAN Economic Community 2015 yang menjadi nilai positif RCEP. Peluang inilah yang kemudian akan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi negara-negara maju dalam meningkatkan kapasitas produksi dan investasinya di ASEAN, dan pada akhirnya ASEAN menjadi pertarungan kepentingan antara negara-negara maju. Ambisi besar China dan Jepang telah berkontribusi besar dalam mendorong pembentukan RCEP. Hal didasari atas kepentingan mereka yang pada awalnya ingin mempercepat pembentukan The East Asia Free Trade Area (EAFTA) dan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA). Kemudian rencana tersebut diperluas melalui proposal yang diajukan oleh China dan Jepang kepada ASEAN untuk memasukan proposalnya tersebut dalam pembentukan struktur integrasi ekonomi dalam ASEAN ++ FTA (RCEP). China dan Jepang telah menjadi mitra ASEAN yang memiliki kontribusi sangat besar dalam perdagangan di ASEAN akibat dari cross-border Value Chains yang selama ini dibangun. Pembangunan awal industri elektronik dan otomotif telah mendorong ekonomi Jepang yang kemudian perusahaan-perusahaan Jepang mulai menspesialisasikan diri sebagai perusahaan berkemampuan tinggi baik di sektor barang maupun jasa. Sementara itu, industri padat karya berupa perakitan dioperasikan di luar Jepang, seperti Singapura, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Namun, begitu cepatnya industri perakitan ini berkembang dalam waktu yang tidak lama China telah menjadi negara pusat industri perakitan terbesar di Asia dan beberapa negara ASEAN lainnya juga menjadi incaran Jepang untuk mengekspansi industrinya. Hal ini berdampak pada terbentuknya jaringan produksi regional diantara negara-negara Asia, khususnya ASEAN, sehingga memberikan keuntungan dalam sektor manufakturing[6]. Besarnya peran China dan Jepang dapat dilihat dari nilai perdagangan di ASEAN yang mencapai hingga US$ 196.883,7 Miliar (China) dan US$ 160.863,7 Miliar (Jepang) dibandingkan dengan mitra FTA ASEAN lainnya seperti Korea (US$74.740,3 Miliar), Australian-NZ (US$49.226,3 Miliar) dan India (US$ 39.115,8 Miliar). Namun, tidak hanya China dan Jepang yang berambisi terhadap pembentukan RCEP ini. Australia juga memiliki kepentingan besar terhadap RCEP. Dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Australia yang berjudul "Australian White Paper 2012: Australian in The Asia Century" berisi mengenai strategi ekonomi Australia dalam perdagangan global 2025 menyatakan bahwa saat ini adalah era Asia dan Australia harus memainkan peranan penting didalamnya. Ambisi Australia didasari atas kekhawatirannya terhadap pertumbuhan ekonomi China yang mendominasi perekonomian dunia. Industrialisasi China yang meraksasa telah berdampak pada tingginya permintaan China terhadap raw material untuk kepentingan industrinya, khususnya seperti mineral dan energi. Saat ini saja, China telah menjadi konsumer terbesar didunia untuk produk batubara yang telah memakan separuh dari persediaan di dunia, baja, alumunium, dan tembaga (dimana ketiganya dikuasai China sebesar 40% dari pasar dunia). Tingginya permintaan China terhadap raw material telah mengakibatkan pertarungan dalam merebut sumber-sumber mineral dan energi diantara negara-negara maju itu sendiri. Tidak berhenti pada pertarungan perebutan sumber-sumber bahan baku industri, tetapi mulai masuk pada pertarungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebelum China Berjaya, Amerika Serikat dan Uni Eropa merupakan negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, saat ini posisi itu secara perlahan dan pasti telah direbut oleh China ditambah dengan kelebihan China yang mampu menyediakan produk high-tech dengan harga murah (low cost). Berimbangnya kekuatan diantara negara-negara tersebut kemudian berdampak terhadap pendominasian pasar dunia, karena siapa yang menguasai dan mengungguli sumber daya alam (mineral dan energi) serta ilmu pengetahuan dan energi, maka dapat menguasai dunia. Dan China dalam proses menggapainya. Merangseknya China secara massif ke dalam pasar Asia, khususnya ASEAN, telah menimbulkan kompetisi yang cukup ketat diantara negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dalam hal perebutan pasar China memiliki angka impor yang lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk produk elektronik dan alat-alat mesin beserta turunannya. Berikut data perdagangan impor China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa ke ASEAN terhadap komoditas elektronik dan alat-alat mesin beserta turunannya: Australia sebagai salah satu mitra FTA ASEAN memiliki peran strategis dalam pertarungan ekonomi global saat ini. Telah lama Australia dikenal sebagai aliansi strategis dari Amerika Serikat, baik pertahanan dan keamanan maupun ekonomi, dalam menguasai Asia-Pasifik. Hal ini terungkap dari pernyataan Pemerintah Amerika pada Januari 2012 yang menyatakan bahwa untuk menanggapi perubahan dinamika regional khususnya terkait dengan naiknya China sebagai kekuatan terbesar di Asia-Pasifik, maka Amerika menjadikan Australia sebagai poros utama dalam membawa kepentingan Amerika Serikat di Asia-Pasifik[7]. China juga menjadi mitra dagang terbesar Australia terkait dengan permintaan China terhadap sumber daya alam Australia, khususnya tambang. Kepentingan utama Amerika melalui Australia dalam ASEAN-RCEP diawali dengan menempatkan Australia sebagai mitra strategis pertahanan dan keamanan di Asia Pasifik mengingat adanya ketegangan militer diseputar krisis Laut China Selatan, yang didalamnya menyeret kepentingan banyak pihak untuk dapat menguasai kawasan tersebut. Australia akan digunakan Amerika dalam memberikan pengaruh di ASEAN. Dari sisi perdagangan, baik barang, jasa, dan investasi, Australia telah menjadi mitra ekonomi Amerika dan telah lama menjadi sumber utama Foreign Direct Investment (FDI) di Australia. Kehadiran RCEP akan semakin mematangkan maksimalisasi peran Australia dalam menjalankan misi Amerika untuk menguasai Asia-Pasifik. Melihat pertarungan kepentingan negara-negara maju terhadap ASEAN, artinya RCEP akan menjadi jalan strategis bagi negara-negara maju untuk semakin menancapkan kepentingannya di dalam pertarungan dominasi kekuasaan di kawasan Asia-Pasifik. Penjelmaan ASEAN Economic Community 2015 dibawah konsep single market & production base sudah secara pasti hanya akan menjadikan negara-negara anggota ASEAN bagian dari perebutan pasar, penguasaan sumber daya alam (raw material), dan dominasi investasi asing di sektor-sektor strategis. Efektifitas RCEP untuk mengantarkan masyarakat ASEAN lebih sejahtera semakin dipertanyakan. Bentuk FTA yang diharapkan dapat memposisikan ASEAN dengan mitra FTA-nya secara sejajar dan seimbang akan semakin sulit diciptakan. Hal ini karena aturan main di dalam RCEP akan membawa perdagangan bebas ke arah liberalisasi perdagangan semi WTO. Pengalaman WTO telah memberikan pengalaman buruk bagi negara-negara berkembang yang menjadi korban dari ketidak-adilan perdagangan bebas. Sehingga RCEP dipercaya hanya akan menimbulkan unfair trade antara ASEAN dan 6 negara mitra FTA-nya.** [1] ERIA Research Project Report 2010, No.29: ASEAN +1 FTAs And Global Value Chains In East Asia, Hal: 7. [2] Petchanet Pratruangkrai, "ASEAN+6 set to launch world's biggest free-trade market", The Nation/Asia News Network, 2012. (Diunduh dari http://www.bilaterals.org/spip.php?article22186) [3] Sanchita Basu Das, "RCEP: Going Beyond ASEAN+1 FTAs", ISEAS, 2012, hal: 2. [4] terjemahannya: Perjanjian tersebut memiliki klausul aksesi terbuka untuk memungkinkan partisipasi dari salah satu mitra FTA ASEAN yang belum siap untuk berpartisipasi pada permulaan pembentukan serta setiap mitra ekonomi eksternal lainnya. [5] Sanchita Basu Das, "RCEP: Going Beyond ASEAN+1 FTAs", ISEAS, 2012, hal: 4. [6] Australian White Paper 2012, "Australian in The Asian Century", hal:41-42. [7] Benjamin Schreer And Sheryn Lee, "The Willing Ally? Australian Strategic Policy In A Contested Asia", Rusi Journal October/November 2012 Vol. 157 No. 5, Hal: 78 |
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar