Rabu, 05 Februari 2014

[Media_Nusantara] Pengesahan RUU Perdagangan Harus Ditunda

 

Pengesahan RUU Perdagangan Harus Ditunda

Jakarta, 4 Februari 2014. Beberapa organisasi masyarakat sipil di Jakarta yakni Gerak Lawan dan IKAPPI, menilai RUU Perdagangan yang akan disahkan pada 7 Februari 2014 oleh DPR RI tidak akan mampu mengubah komitmen tinggi Indonesia dalam agenda liberalisasi perdagangan internasional. Hal ini karena RUU Perdagangan yang dibahas oleh DPR RI dan Kemendag tidak berani keluar dari ketentuan WTO dan Perjanjian FTA sehingga kepentingan nasional tidak benar-benar terlindungi.

Selama ini Perjanjian Perdagangan Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah dan DPR RI, baik di level multilateral, regional, maupun bilateral telah menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian nasional, khususnya kehidupan petani, nelayan, buruh, dan UMKM. Termasuk Paket Bali, khususnya Trade Facilitation, yang baru saja disepakati dalam pertemuan WTO Desember 2013 yang lalu oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan telah mendorong Indonesia menjadi pasar yang lebih terbuka lagi.

Pembukaan pasar secara besar-besaran melalui pintu impor telah menyebabkan neraca perdagangan Indonesia semakin terpuruk. Sejak 2011 hingga 2013, neraca perdagangan Indonesia selalu menunjukan angka defisit dimana pada 2013 defisit perdagangan Indonesia telah mencapai US$ -4,06 Miliar. Belum lagi prinsip non-diskriminasi yang harus ditegakkan dalam liberalisasi perdagangan, khususnya dalam penerapan aturan untuk investasi asing, telah mendorong pendominasian asing di sector-sektor ekonomi strategis Indonesia. Kepemilikan asing melalui Undang-undang Penanaman Modal yang diadopsi dari ketentuan WTO membolehkan kepemilikan asing hingga 95% untuk di bidang pertanian, energy, konstruksi, pengusahaan air minum, retail, dsb.

Munculnya pasar retail modern juga telah memberikan dampak langsung terhadap keberlangsungan pasar-pasar tradisional yang menghidupi pelaku pedagang kecil. Ketidakmampuan pedagang kecil bersaing dengan pasar retail modern yang lebih murah pada akhirnya telah meminggirkan peran pasar tradisional.

RUU Perdagangan yang akan disahkan nanti hanya sekedar untuk memenuhi dan melaksanakan seluruh ketentuan yang ada di dalam komitmen perjanjian perdagangan internasional. Seperti ketentuan RUU Perdagangan yang mengatur tentang perlindungan dan pengamanan perdagangan baik melalui anti-dumping maupun safeguard merupakan mekanisme yang memang telah diatur di dalam WTO. Bahkan Indonesia sangat minim menggunakannya dibandingkan Negara lain, dan hanya terhitung 8 kasus gugatan yang di bawa Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO. Juga terkait dengan aturan standarisasi yang memang WTO ataupun perjanjian FTA lainnya mewajibkan dibuat standarisasi produk. Ketentuan pembatasan dan pelarangan impor ataupun ekspor serta perlindungan konsumen dari produk-produk yang membahayakan kesehatan, juga merupakan bagian yang memang diatur di dalam WTO sebagai ketentuan pengecualian dan dibolehkan di dalam WTO.

DPR RI sangat salah jika mengira RUU Perdagangan akan bisa melindungi kepentingan nasional dari praktik liberalisasi perdagangan yang merugikan Indonesia. Untuk itu, akan sangat gegabah jika DPR RI tetap memaksakan pengesahan terhadap RUU Perdagangan ini.

Selain itu proses pembahasan yang terkesan terburu-buru, tidak mempertimbangkan masukan dari masyarakat yang telah memberikan peringatan keras kepada DPR RI untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Perdagangan sebelum adanya perubahan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap Kebijakan Perdagangan Internasional Indonesia yang saat ini sangat pro pasar. Oleh sebab itu, kami masyarakat sipil Indonesia mendesak:

1. DPR RI dan Pemerintah, khususnya Menteri Perdagangan, untuk menunda pengesahan RUU Perdagangan pada 7 Februari 2013.

2. DPR RI dan Pemerintah untuk mentransparansikan isi dari RUU Perdagangan dan membuka kembali forum aspirasi masyarakat guna memberikan pertimbangan terhadap RUU Perdagangan yang dibahas.

3. Pemerintah dan DPR RI untuk segera merubah komitmen kebijakan perdagangan internasional Indonesia yang telah merugikan perekonomian bangsa, sehingga berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat Indonesia.


Point Analisis Kritis RUU Perdagangan

1. RUU Perdagangan merupakan kebijakan yang dibuat bukan untuk mengkoreksi kebijakan perdagangan bebas yang telah diikatkan sebelumnya oleh rezim pemerintahan SBY dan rezim pemerintah sebelumnya yang sangat pro pasar. RUU Ini hanya untuk melakukan antisipasi terhadap dampak buruk yang telah ditimbulkan dari liberalisasi perdagangan dan mensinergiskan agenda nasional dengan agenda liberalisasi perdagangan. Terlebih lagi, selama rezim pemerintahan SBY selalu membuat komitmen yang sangat tinggi dalam kebijakan perdagangan internasional, baik di dalam G20, APEC, maupun WTO yang tahun lalu berlangsung.

Sehingga pertanyaan kritisnya sejauh mana pelibatan DPR dalam rapat-rapat konsultasi untuk meratifikasi perjanjian internasional bisa dilakukan untuk mengevaluasi dan mengubah kebijakan perdagangan internasional yang telah diikatkan sebelumnya dalam WTO ataupun ASEAN serta kebijakan bilateral lainnya?. Belum lagi RUU ini akan bertentangan dengan UU Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000, dimana di dalam Pasal 10 dan 11, pengesahan perjanjian perdagangan internasional hanya dapat dilakukan dengan Keppres sehingga peran DPR tidan ada dan kewenangan pemerintah teramat besar untuk menentukan ratifikasi. Sebagai contoh konkrit rencana ratifikasi Perjanjian Trade Facilitation yang akan dilakukan dengan Keppres. Begitu juga dengan ratifikasi kerjasama perdagangan FTA yang hanya dibuat dengan Keppres. Lalu sejauh mana fungsi rapat konsultasi dengan DPR bisa mengontrol kewenangan pemerintah, jika uu tersebut masih memberikan kewenangan sangat besar kepada pemerintah untuk melakukan ratifikasi melalui Keppres? Sedangkan semua perjanjian internasional payungnya sudah disahkan melalui UU, seperti ratifikasi WTO dan ASEAN yang dampaknya telah dirasakan hingga hari ini.

Sejauh mana efektifitas komite perdagangan dalam melindungi kepentingan nasional sedangkan fungsinya hanya memberikan advokasi, rekomendasi, dan sosialisasi guna percepatan pelaksanaan kebijakan perdagangan. Sehingga kerja-kerjanya hanya mensinergiskan dengan kebijakan liberalisasi perdagangan yang telah diikatkan sebelumnya. Rekomendasi yang diberikan tidak memiliki sifat mengikat yang harus dijalankan oleh Pemerintah.

2. RUU Perdagangan ini belum menjawab kebutuhan ekonomi nasional hari ini untuk kembali kepada konstitusi dimana kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat Indonesia untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Hal ini karena kebijakan perlindungan nasional yang mengutamakan penguatan sector hulu dan hilir belum seutuhnya merefleksikan pengejawantahan Pasal 33 UUD RI.

Sehingga pertanyaan kritisnya, sejauh mana ketentuan tentang penyelenggaraan perdagangan yang menyeimbangkan sector hulu dan hilir mampu mengembalikan penguasaan dan pengelolaan sector-sektor strategis bagi perekonomian nasional ke tangan rakyat? Hal ini karena, basis pembangunan industry hulu dan hilir Indonesia masih bergantung pada investasi asing. Selain itu, pembukaan liberalisasi investasi yang diadopsi ke dalam UU Penanaman Modal No.25 Tahun 2007 memberikan basis regulasi yang kuat untuk menyerahkan pengelolaan dan penguasaan sector-sektor strategis bagi perekonoomian nasional ketangan asing. Undang-undang ini merupakan pengadopsian dari ketentuan WTO yang juga diterapkan di dalam AEC 2015. Faktanya hari ini investasi asing telah mendominasi sector-sektor strategis perekonomian nasional akibat implementasi dari UU PM No.25/2007. (Tabel presentasi penguasaan asing)

Sejauh mana penguatan sector ekonomi rakyat dalam penyelenggaraan perdagangan yang menyeimbangkan sector hulu dan hilir? Hari ini saja, dukungan terhadap sector ekonomi rakyat belum secara maksimal dilakukan. Misalnya di sector pertanian dan perikanan, masih banyak petani dan nelayan yang kehilangan akses terhadap sumber daya alamnya. Sektor ekonomi rakyat belum menjadi actor utama dalam perdagangan, justru hanya dijadikan sebagai obyek eksploitasi. Dukungan terhadap sector rakyat bukan hanya bicara tentang akses pasar dan permodalan, tetapi dukungan produksi dan pengolahan. Seperti dukungan harga dan biaya produksi, dukungan infrastruktur pengolahan, dan dukungan pengelolaan (manajemen) usaha sehingga meningkat daya saingnya.

Sejauh mana persoalan perjanjian hak kekayaan intelektual akan mempengaruhi efektifitas pengembangan sector hulu dan hilir dalam memperkuat pembangunan industry nasional? Sedangkan persoalan hari ini pengembangan inovasi dan teknologi yang menjadi penopang utama pembangunan industry nasional telah dikooptasi dengan perjanjian tentang hak kekayaan intelektual. Perjanjian ini telah dimonopoli oleh perusahaan Trans national corporation untuk kepentingan keuntungannya. Sehingga industry nasional sulit berkembang. (Isu access to medicine)

3. RUU Perdagangan ini belum menjawab secara mendasar persoalan yang ada di dalam perdagangan internasional. Hal ini karena perdagangan internasional tidak hanya bicara tentang perdagangan barang, melainkan investasi, jasa, hak kekayaan intelektual, dan arus bebas tenaga kerja. Sehingga sangat salah kaprah jika Pemerintah, melalui kementerian perdagangan, dan DPR menganggap RUU Perdagangan yang akan disahkan 7 Februari mendatang telah menjawab persoalan perdagangan internasional yang dihadapi Indonesia hari ini.

4. Oleh karena itu, yang dibutuhkan Indonesia hari ini jika ingin melindungi kepentingan Indonesia dari praktik buruk liberalisasi perdagangan adalah:

mengevaluasi kembali kebijakan kerjasama perdagangan internasionalnya, baik multilateral, regional, dan bilateral, dengan tidak menjadikan liberalisasi perdagangan sebagai landasan kebijakannya.

mengubah seluruh regulasi yang pro pasar.

Membangun kebijakan ekonomi yang kembali kepada konstitusi Negara.

Rezim Pemerintahan Pasca Pemilu 2014 harus membuat perubahan mendasar dalam kebijakan kerjasama perdagangan internasionalnya yang tidak pro pasar.

****

Kontak

1. Salamudin Daeng (Peneliti Senior Indonesia for Global Justice): 081805264989

2. Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia): 0811655668

3. Gunawan (Ketua Umum Indonesia Human Right Committee for Social Justice): 081584745469

4. Abdul Mansuri (Ketua Umum IKAPPI): 081222392610

5. Abdul Halim (Koordinator KIARA): 081553100259

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (2)
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar