IGJ: WTO, Pelembagaan Penyadapan dan Serangan Terhadap Kedaulatan Ekonomi Nasional
Penyadapan telah menjadi Instumen utama dewasa ini dalam memenangkan persaingan dalam globalisasi, seiring dengan disepakatinya berbagai perjanjian perdagangan bebas seperti World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement (FTA).
Praktek penyadapan menegaskan bahwa Perang yang sesungguhnya terjadi saat ini tidak hanya perang konvensional dengan menggunakan hard power, namun juga perang dengan menggunakan soft power yakni perang intelijen.
Perang yang paling agresif yang terjadi setiap detik adalah perang dagang yang merupakan hasil akhir dari perdagangan bebas. Negara-negara menggunakan segala macam cara dan segenap kekuatan sumber daya yang dimilikinya dalam memenangkan persaingan dan memenangkan negosisasi. Seluruh kemenangan negara-negara imperialis dalam negosiasi, perundingan, ditentukan oleh kekuatan informasi yang dimilikinya. Pada posisi inilah perang ekonomi, atau persaingan dagang tidak lain adalah perang intelijen.
Kondisi semacam ini merupakan ancaman yang besar bagi Indonesia, mengingat negara ini telah masuk dalam liberalisasi di seluruh sektor termasuk di sektor telekomonikasi dan informasi. Sementara pada saat yang sama negara negara ini menggunakan bantuan asing, termasuk tekhnologi, alat penyadap dan peralatan perang, yang dibuat oleh lawan-lawan Indonesia.
Indonesia saat ini sering menghadapi gugatan internasional terkait dengan sengketa dagang dan sengketa investasi yang diajukan oleh negara lain dan perusahaan multinasional. Sengketa ini dilakukan di dalam lembaga seperti: Dispute Settlement Body (DSB) di World Trade Organization (WTO) maupun di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington.
Dua kasus yang saat ini tengah dilakoni Indonesia, telah menjadi obyek penyadapan AS, yakni kasus tembakau dan udang. Mengapa tembakau ? Indonesia tengah menggugat AS ke WTO atas pelarangan perdagangan kretek di negara tersebut dengan alasan kesehatan. Ketakutan AS atas export kretek Indonesia ke AS yang selalu naik dalam 5 tahun terakhir hingga 2010. Total nilai export kretek bernilai sekitar 450 juta US. Sebanyak 60 persen dari angka itu adalah nilai export ke AS. Meskipun masih di bawah 1% dari market share rokok di AS, tetapi peningkatan nilai export setiap tahun itu mengkhawatirkan AS di masa yang akan datang.
Kini setelah pelarang ekspor kretek ke AS menyusul keluarnya UU perlindungan keluarga dari asap rokok yang di dalamnya mengatur larangan rokok beraroma termasuk kretek, nilai export kretek ke AS langsung nihil. Kretek masih dikonsumsi masyarakat AS dari beberapa negara lain. Penyadapan ini merupakan alat perang dagang rokok di AS, sementara perusahaan rokok nasional Indonesia telah diambil alih seperti HM Sampoerna yang telah dibeli Philip Morris perusahaan asal AS.
Demikian halnya dengan Udang; Indonesia merupakan negara produsen udang terbesar di dunia. Menyumbang sebanyak US$ 1,2 milyar atau sekitar 40% dari total US$ 3,2 milyar nilai ekspor perikanan Indonesia di 2011. Produksi udang Indonesia pada 2011 mencapai 414 ribu ton dan di targerkan meningkat 699 ribu ton di 2014. Sekitar 40% dari produksi udang nasional dikuasai oleh Charoen Pokhpand (CP). Sekitar 95% produksi udang Indonesia untuk ekspor. Untuk mencapai target produksi 2014, dibutuhkan 4,322,000 juta ekor benur (bibit udang) dan sebanyak 2,97 juta ekor induk. Satu dekade terakhir Indonesia menggantungkan penyediaan induk dan benur asal Amerika Serikat. Tahun 2009 Indonesia mengimpor 320 ribu ekor induk vaname dari Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, selain memastikan terpenuhinya kebutuhan udang bagi konsumsi dan industri udang di Amerika Serikat, meningkatnya target produksi udang Indonesia di 2014 diharapkan juga mendongkrak penyediaan induk dan benur asal Amerika.
Kedepan masalah yang dihadapi Indonesia semakin rawan. Baru-baru ini, Jepang memutuskan mengadukan Indonesia ke WTO terkait dengan pemberlakuan UU Minerba. Padahal baru-baru ini Indonesia mengganti Menteri Perdagangan yang sebelumnya menjadi Duta Besar Indonesia di Jepang. Tentu hal ini wajib menjadi kewaspadaan Bangsa Indonesia untuk secara jeli melihat untuk siapa Menteri Perdagangan Indonesia ini bekerja. Apakah Menteri Perdagangan akan menjadi mata-mata Jepang atau Indonesia di masa depan.
Penyadapan yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia melalui Australia terjadi ditengah banyaknya gugatan dan sengketa antara AS vs Indonesia, antara Indonesia VS Australia, dan antara Indonesia VS perusahaan asal AS merupakan ancaman besar bagi ekonomi Indonesia. Penyadapan secara langsung adalah serangan terhadap kepentingan ekonomi nasional, namun tidak dianggap sebagai pelanggaran atas perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu maka Indonesia harus meninjau ulang berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatanganinya mengingat negara ini telah disadap dari segala penjuru baik secara legal melalui kehadiran bantuan asing dalam berbagai lembaga tinggi negara maupun secara illegal sebagaimana yang dilakukan Australia.
Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Riza Damanik, Direktur Eksekutif IGJ
Di 0818773515 / riza.damanik@igj.or.id
Salamuddin Daeng, Senior Researcher IGJ
Di 081805264989/ ekonomi_global@gmail.com
Sekretariat Indonesia for Global Justice
Jl.Tebet Barat XIII No.17, Jakarta 12810
Telp&Fax: +62-21-8297340
Email: igj@igj.or.di
Penyadapan telah menjadi Instumen utama dewasa ini dalam memenangkan persaingan dalam globalisasi, seiring dengan disepakatinya berbagai perjanjian perdagangan bebas seperti World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement (FTA).
Praktek penyadapan menegaskan bahwa Perang yang sesungguhnya terjadi saat ini tidak hanya perang konvensional dengan menggunakan hard power, namun juga perang dengan menggunakan soft power yakni perang intelijen.
Perang yang paling agresif yang terjadi setiap detik adalah perang dagang yang merupakan hasil akhir dari perdagangan bebas. Negara-negara menggunakan segala macam cara dan segenap kekuatan sumber daya yang dimilikinya dalam memenangkan persaingan dan memenangkan negosisasi. Seluruh kemenangan negara-negara imperialis dalam negosiasi, perundingan, ditentukan oleh kekuatan informasi yang dimilikinya. Pada posisi inilah perang ekonomi, atau persaingan dagang tidak lain adalah perang intelijen.
Kondisi semacam ini merupakan ancaman yang besar bagi Indonesia, mengingat negara ini telah masuk dalam liberalisasi di seluruh sektor termasuk di sektor telekomonikasi dan informasi. Sementara pada saat yang sama negara negara ini menggunakan bantuan asing, termasuk tekhnologi, alat penyadap dan peralatan perang, yang dibuat oleh lawan-lawan Indonesia.
Indonesia saat ini sering menghadapi gugatan internasional terkait dengan sengketa dagang dan sengketa investasi yang diajukan oleh negara lain dan perusahaan multinasional. Sengketa ini dilakukan di dalam lembaga seperti: Dispute Settlement Body (DSB) di World Trade Organization (WTO) maupun di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington.
Dua kasus yang saat ini tengah dilakoni Indonesia, telah menjadi obyek penyadapan AS, yakni kasus tembakau dan udang. Mengapa tembakau ? Indonesia tengah menggugat AS ke WTO atas pelarangan perdagangan kretek di negara tersebut dengan alasan kesehatan. Ketakutan AS atas export kretek Indonesia ke AS yang selalu naik dalam 5 tahun terakhir hingga 2010. Total nilai export kretek bernilai sekitar 450 juta US. Sebanyak 60 persen dari angka itu adalah nilai export ke AS. Meskipun masih di bawah 1% dari market share rokok di AS, tetapi peningkatan nilai export setiap tahun itu mengkhawatirkan AS di masa yang akan datang.
Kini setelah pelarang ekspor kretek ke AS menyusul keluarnya UU perlindungan keluarga dari asap rokok yang di dalamnya mengatur larangan rokok beraroma termasuk kretek, nilai export kretek ke AS langsung nihil. Kretek masih dikonsumsi masyarakat AS dari beberapa negara lain. Penyadapan ini merupakan alat perang dagang rokok di AS, sementara perusahaan rokok nasional Indonesia telah diambil alih seperti HM Sampoerna yang telah dibeli Philip Morris perusahaan asal AS.
Demikian halnya dengan Udang; Indonesia merupakan negara produsen udang terbesar di dunia. Menyumbang sebanyak US$ 1,2 milyar atau sekitar 40% dari total US$ 3,2 milyar nilai ekspor perikanan Indonesia di 2011. Produksi udang Indonesia pada 2011 mencapai 414 ribu ton dan di targerkan meningkat 699 ribu ton di 2014. Sekitar 40% dari produksi udang nasional dikuasai oleh Charoen Pokhpand (CP). Sekitar 95% produksi udang Indonesia untuk ekspor. Untuk mencapai target produksi 2014, dibutuhkan 4,322,000 juta ekor benur (bibit udang) dan sebanyak 2,97 juta ekor induk. Satu dekade terakhir Indonesia menggantungkan penyediaan induk dan benur asal Amerika Serikat. Tahun 2009 Indonesia mengimpor 320 ribu ekor induk vaname dari Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, selain memastikan terpenuhinya kebutuhan udang bagi konsumsi dan industri udang di Amerika Serikat, meningkatnya target produksi udang Indonesia di 2014 diharapkan juga mendongkrak penyediaan induk dan benur asal Amerika.
Kedepan masalah yang dihadapi Indonesia semakin rawan. Baru-baru ini, Jepang memutuskan mengadukan Indonesia ke WTO terkait dengan pemberlakuan UU Minerba. Padahal baru-baru ini Indonesia mengganti Menteri Perdagangan yang sebelumnya menjadi Duta Besar Indonesia di Jepang. Tentu hal ini wajib menjadi kewaspadaan Bangsa Indonesia untuk secara jeli melihat untuk siapa Menteri Perdagangan Indonesia ini bekerja. Apakah Menteri Perdagangan akan menjadi mata-mata Jepang atau Indonesia di masa depan.
Penyadapan yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia melalui Australia terjadi ditengah banyaknya gugatan dan sengketa antara AS vs Indonesia, antara Indonesia VS Australia, dan antara Indonesia VS perusahaan asal AS merupakan ancaman besar bagi ekonomi Indonesia. Penyadapan secara langsung adalah serangan terhadap kepentingan ekonomi nasional, namun tidak dianggap sebagai pelanggaran atas perjanjian perdagangan bebas. Oleh karena itu maka Indonesia harus meninjau ulang berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatanganinya mengingat negara ini telah disadap dari segala penjuru baik secara legal melalui kehadiran bantuan asing dalam berbagai lembaga tinggi negara maupun secara illegal sebagaimana yang dilakukan Australia.
Informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
Riza Damanik, Direktur Eksekutif IGJ
Di 0818773515 / riza.damanik@igj.or.id
Salamuddin Daeng, Senior Researcher IGJ
Di 081805264989/ ekonomi_global@gmail.com
Sekretariat Indonesia for Global Justice
Jl.Tebet Barat XIII No.17, Jakarta 12810
Telp&Fax: +62-21-8297340
Email: igj@igj.or.di
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar