Rabu, 05 Februari 2014

[Media_Nusantara] Panglima TNI : Tolak paham NeoLiberalisme di Indonesia !!!

 

Panglima TNI : Tolak paham NeoLiberalisme di Indonesia !!!

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengajak para alim ulama untuk menolak paham neoliberalisme di Indonesia. Sebab, jika paham neoliberalisme dibiarkan tumbuh subur di negeri ini, maka akan mengancam kedaulatan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal itu disampaikan Panglima TNI di hadapan duaribuan alim ulama, pada acara Silaturahmi TNI, Polri, dan Ulama se-Indonesia dalam Rangka Wawasan Kebangsaan dengan tema "Peran Ulama, TNI, Polri dalam menjaga kedaulatan Indonesia dalam menjaga Stabilitas", yang digelar dalam rangkaian Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Dupan Hall, Kota Pekalongan, Selasa (4/2).

Menurut Jenderal Moeldoko, paham liberalisme merupakan sebuah mekanisme ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada pasar bebas dunia. Hal tersebut tidak sejalan iklim geopolitik ekonomi Indonesia yang menganut paham Demokrasi Pancasila. Mulanya paham neoliberalisme dianut Amerika Serikat dan Cina. Namun, paham tersebut sudah tidak sejalan dengan sistem demokrasi Amerika Serikat dan Cina.

Pada acara yang juga menghadirkan Kapolri Jenderal Pol Sutarman Panglima TNI menilai, saat ini Indonesia justru masih menganut paham neoliberalisme. Padahal ditegaskan bahwa paham itu tidak lagi cocok dengan iklim geopolitik-ekonomi, sehingga akan mengancam NKRI. Dalam paparannya, ia memotret kondisi Indonesia yang tidak konsisten dengan Demokrasi pancasila.

Ia mencontohkan mengenai konsumsi garam dan kedelai. Masyarakat kita tahunya bahwa garam yang dikonsumsi sehari-hari pasti produksi dalam negeri, terutama Madura. Namun kenyataannya, Indonesia masih impor garam dari Australia.

"Apakah garam yang kita konsumsi semuanya asli dari Madura? Ternyata tidak. Garam tersebut banyak yang dari Australia. Termasuk, kedelai termasuk kedelai dari Brazil, lalu jagung yang dimakan orang Pekalongan pun mungkin masih impor dari Thailand," bebernya.

Maka dari itu, Panglima TNI dalam forum silaturahmi yang digagas Rais Aam Jamiya Ahlit Thariqah Al Mutabaroh (Jatman) Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, yang juga 'Khodimul Maulid' di Kanzus Sholawat, itu menyerukan agar jamaah Thoriqoh menjadi barisan pertama menjaga stabilitas nasional. Ulama thoriqoh harus menolak paham yang tidak sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa.

Panglima TNI juga mengajak agar bangsa dan negara Indonesia memiliki kedaulatan dalam segala bidang, termasuk yang terpenting adalah kedaulatan pangan. "Mari kita wujudkan kedaulatan pangan. Kita hanya memiliki ketahanan pangan. Bukti beras swasembada

surplus 3 juta masih saja impor dari Vietnam," tukas Jenderal Moeldoko. Lebih lanjut Panglima menambahkan, untuk mewujudkan semua harapan tersebut, maka perlu adanya dukungan komponen bangsa yang lain, khususnya Polri dan alim ulama yang merupakan elemen penting dalam memberikan kontribusi bagi terwujudnya Stabilitas Keamanan Masyarakat. "Stabilitas keamanan tidak bisa didapat secara instan tetapi perlu usaha keras dan kerjasama antara TNI, Polri dengan para alim ulama dan masyarakat pada umumnya," ungkapnya.

Note :

Buktikan seruanmu, Jenderal !!!!

Neoliberalisme telah mengubah bangsa ini menjadi bangsa kuli. Aparatusnya dijadikan "jongos". Sementara tentara dan polisinya diubah jadi "centeng" mereka.

Kenyataan itu sungguh pahit. Tapi, entah mengapa, sangat sedikit yang menyadarinya. Kaum cendekia, yang biasanya menjadi suluh di zaman yang gelap, juga bungkam. Malahan, tak sedikit pula kaum cendekia yang melacurkan ilmunya bagi sistem ini.

Hingga, pada tahun 2009 lalu, sesaat menjelang Pemilu Presiden (Pilpres), isu anti-neoliberal mencuat ke permukaan. Saat itu, lusinan organisasi rakyat yang berhimpun dalam Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN), menggelar aksi besar-besaran menentang capres Neoliberal. Mereka menuding pasangan SBY-Boediono sebagai Capres neoliberal.

Sayang, begitu pemilu usai, isu anti-neoliberal turut meredup. Bahkan, pasangan Capres yang saat itu getol bersuara "anti-neoliberal" juga pura-pura hilang ingatan. Namun demikian, di jalanan, tempat rakyat menyalurkan ketidakpuasannya, isu anti-neoliberal tetap terdengar nyaring.

Pada tahun 2011, isu neoliberal kembali mencuat. Kali ini disuarakan oleh seorang bekas Wakil Presiden sekaligus mantan Presiden RI, BJ Habibie, di gedung MPR. Saat itu, bertepatan dengan peringatan Hari Lahirnya Pancasila, Habibie berkicau bahwa Indonesia sekarang ini mengalami penjajahan bentuk baru, yakni neo-kolonialisme, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dengan baju baru".

Dan belakangan ini, isu neoliberal makin mencuat dalam wacana politik kita. Bukan lagi sesuatu yang tabu dan abstrak. Sampai-sampai kalau ada yang pura-pura tidak tahu apa itu faham neoliberal, seperti kasus Miranda Gultom, mantan Deputi Gubernur Senior BI yang doyan menyuap politisi itu, akan diketawai dan diejek.

Dan kemarin (4/1/2013), di Pekalongan, seorang Jenderal mengajak para ulama untuk menolak faham neoliberal. Dialah Jenderal TNI Moeldoko, panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini. Menurutnya, faham neoliberal dapat mengancam kedaulatan dan ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). [Silahkan baca di sini]

Lebih lanjut Sang Jenderal menuturkan, paham liberalisme merupakan sebuah mekanisme ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada pasar bebas dunia. Hal itu, kata dia, tidak sejalan dengan geopolitik ekonomi Indonesia yang menganut paham demokrasi Pancasila.

Di forum tersebut, yang juga dihadiri oleh Kapolri Jenderal Pol Sutarman, Jenderal Moeldoko menegaskan bahwa saat ini Indonesia justru masih menganut paham neoliberalisme. Sebagai buktinya, ia mencontohkan, garam dan kedelai yang dikonsumsi oleh rakyat bukanlah hasil produksi dalam negeri, melainkan diimpor dari luar.

Saya coba telusuri di mesin pencari Google, ternyata bukan sekali itu saja Sang Jenderal mengeritik neoliberalisme. Saat menjadi pembicara di hadapan ratusan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang, tanggal 27 Januari lalu, Jenderal Moeldoko juga mengeritik penguasaan kekayaan alam kita, terutama minyak dan gas, oleh pihak asing.

Apapun halnya, pernyataan Jenderal Moeldoko itu patut diapresiasi. Baru kali ini ada Jenderal yang masih aktif, bahkan masih menjabat aktif sebagai Panglima TNI, terang-terangan mengajak banyak orang–dalam hal ini para ulama–untuk menentang neoliberalisme. Biasanya Jenderal-Jenderal itu hanya vokal dan kritis kalau sudah purnawirawan.

Namun, saya kira, seruan Moeldoko itu mestinya tidak hanya kepada para ulama, tetapi juga kepada institusi yang dipimpinnya: TNI. Sebab, sebagai alat pertahanan negara, TNI seharusnya berada di garda depan untuk membela kedaulatan dan martabat bangsa ini.

Menyambung pernyataan Jenderal Moeldoko, neoliberalisme memang sebuah ancaman bagi kedaulatan NKRI. Bagaimana tidak, demi mencapai tujuannya, yakni akumulasi keuntungan (profit) di segelintir tangan, neoliberalisme mengubah negara hanya sebagai instrumen untuk mencapai tujuan mereka.

Pertama, neoliberalisme hanya menjadikan negara sebagai instrumen untuk menjamin hak milik pribadi, perdagangan bebas, kebebasan berinvestasi, dan sistem moneter yang aristokrat keuangan. Dalam konteks ini, negara dipaksa menggunakan semua instrumen politiknya, termasuk kekerasan, untuk menjamin berjalannya kepentingan di atas.

Semua institusi politik dan aparatus negara diubah menjadi pelayan kepentingan kapital global. Tak mengherankan, baru-baru ini Presiden SBY mendaulat dirinya sebagai "Chief Salesperson Indonesia Inc'.Jadi, anggapan bahwa doktrin neoliberal membuat peran negara menjadi melemah adalah tidak tepat.

Kedua, peranan negara mengalami deformasi; tanggung-jawab sebagai penjaga "kesejahteraan sosial" dilucuti, lalu dipaksa menyerahkan tanggung-jawab tersebut kepada mekanisme pasar. Biasanya, proses ini dilakukan melalui privatisasi layanan publik dan aset-aset vital yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak.

Ketiga, neoliberalisme merusak sistem politik negara berdaulat. Mekanisme dan institusi demokrasi, seperti pemilihan umum, lembaga perwakilan rakyat, dan partai politik, dimanipulasi sedemikian rupa sekedar sebagai alat menciptakan konsensus dengan rakyat. Sementara proses pengambilan keputusan politik secara real diambil alih oleh institusi-institusi global yang tidak pernah mendapat mandat rakyat, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, dan lain-lain.

Dan, seiring proses di atas, doktrin pertahanan negara berdaulat juga dirubah total. Proses ini diawali dengan menggeser atau mendistorsi pemaknaan wacana-wacana warisan perjuangan nasional, seperti kemerdekaan, kedaulatan, kemandirian, dan lain-lain. Singkat cerita, semua pengertian wacana itu dilonggarkan sehingga bisa menerima kehadiran kapital asing–biasanya atas nama pembangunan–sebagai kepentingan nasional.

Selain itu, dengan sokongan kaum intelijensia bermental jongos, dihembuskanlah nubuat tentang keniscayaan globalisasi ekonomi dan keharusan semua negara bangsa untuk berintegrasi di dalamnya. Tak hanya itu, mereka menganjurkan agar "nasionalisme" di buang ke keranjang sampah peradaban.

Dalam kerangka itulah doktrin pertahanan berubah. Tentara tak lagi menjadi instrumen penjaga kedaulatan dan kepentingan nasional, melainkan ditempatkan sebagai penjaga aset-aset dan kepentingan bisnis perusahaan asing. Semuanya dilakukan atas nama: menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dan mereka menyebut itu sebagai "pembangunan", kendati manfaatnya tidak pernah dirasakan oleh rakyat.

Dan saya masih ingat, pada tanggal 4 September 2013, Jenderal TNI Moeldoko membuat pernyataan bahwa TNI siap mengambil langkah jika ada gangguan yang mengancam stabilitas sehingga berdampak kepada investasi. "Untuk itu, saya katakan jangan ragu-ragu datang ke Indonesia karena TNI akan turun tangan menghadapi berbagai kondisi yang kira-kira akan mengancam stabilitas," kata Jenderal (TNI) Moeldoko sendiri. [Kompas.com masih mengarsipkan pernyataan Jenderal Moeldoko itu di sini]

Beberapa hari kemudian, tepatnya 10 September 2013, Jenderal Moeldoko menemui Menteri ESDM Jero Wacik. Kepada Menteri Jero Wacik, Jenderal Moeldoko kembali mengulangi komitmen TNI untuk menjaga iklim investasi di Indonesia. "Di Kementerian Energi banyak investor besar, harus diamankan kegiatan investasinya di Indonesia," katanya. [Tempo.co juga mengarsipkan pernyataan itu di sini]

Makanya saya agak heran, angin apa yang menabrak Jenderal Moeldoko sehingga tiba-tiba berubah pandangan. Makanya, jangan menyalahkan masyarakat awam, termasuk saya, yang mempertanyakan keseriusan Jenderal Moeldoko.

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar