Senin, 27 Januari 2014

[Media_Nusantara] Menyoal Legitimasi Presiden & Wakil Terpilih Di Mata Hukum

 

Menyoal Legitimasi Presiden & Wakil Terpilih Di Mata Hukum

by @YusrilIhza_Mhd

Saya telah kemukakan pendapat bahwa dengan UU Pilpres yg pasal2nya dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 45. Dan MK telah menyatakan bahwa pasal2 tsb tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun dijadikan dasar utk melaksanakan Pilpres 2014. Maka siapapun yang terpilih menjadi Presiden/Wkl Presiden rawan menghadapi krisis legimitasi

Ada yang bantah saya dengan mengatakan tdk akan ada krisis lehitimasi, karena Presiden/wkl Presiden itu dipilih oleh rakyay dan sah. Saya katakan bahwa legitimasi itu bukan semata urusan politik, tetapi juga sosiologis dan normatif atau hukum. Seseorang disebut dan diakui sebagai kiyai atau ulama legitimasinya bersifat sosiologis, tergantung anggapan dan penerimaan masyarakat. Tdk ada institusi apapun yg berwenang mengangkat atau mengeluarkan SK mengangkat seseorang jadi kiyai atau ulama. Ini soal hukum. Begitu pula tidak diperlukan legitimasi politik untuk akui seseorang sebagai kiyai atau ulama. Mereka tak berurusan dg kekuasaan formal. Sebaliknya ada seseorang mengaku dirinya Bupati karena dia dipilih oleh 90 persen suara dalam Pilkada. Rakyatnya akui dia sebagai bupati. Itu berarti secara sosiologis dan politis orang tsb mendapatkan legitimasi sebagai bupati. Tapi ternyata orang itu dipilih jadi bupati oleh pilkada yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten yang tidak sah alias illegal. Maka orang yg mengaku bupati itu, meskipun mendapat legitimasi politis dan sosiologis, dia tidak legitimate di mata hukum. Dengan tidak legitimate di mata hukum, maka apapun keputusan dan tindakan yg dilakukan oleh bupati tsb tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan kata lain, bupati tadi adalah bupati illegal. Apapun tindakannya tidak sah dan tidak bernilai di mata hukum

Saya membandingkan putusan MK tentang uji UU Pilpres yg dimohon Efendi Ghazali dg putusan Pengadilan Agama tentang perceraian. Ada orang yg bilang analogi saya itu tidak nalar, bukan qias yang ma'qul dalam hukum fikih, dan tdk masuk akal. Yang lebih celaka, yang bilang qiyas atau perbandingan saya itu tiak nalar, malah tidak mengemukakan nalar apapun sbg bantahan. Inilah penyakit manusia Indonesia di era reformasi. Kalau tdk setuju dengan pendapat seseorang main hujat saja, tanpa argumen apapun. Membantah apalagi menghujat pendapat seseorang tanpa hujah atau argumen membuat manusia Indonesia mundur 5000 tahun. Sebab zaman Nabi Ibrahim hidup saja, beliau membantah patung itu tuhan, beliau gunakan argumen, bukan main hujat seenaknya

Begini, soal perbandingan tadi putusan MK dg Pengadilan Agama tadi. Putusan pengadilan itu beda dengan pengesahan peraturan perundang2an. Putusan peraturan perundang2an itu berlaku sejak disahkan atau diundangkan dalam lembaran negara, berita negara atau berita daerah. Namun norma dalam peraturan perUUan tadi bisa dinyatakan berlaku ke depan atau bahkan berlaku surut ke belakang. Misalnya dalam peraturan perpajakan. Disebutkan bhw peraturan tsb berlaku sejak diundangkan tgl 2 Januari 2014. Namun ada pasal tertentu, misalnya pengenaan pajak tertentu baru berlaku 2 Juli 2014. Hal spt itu bisa dan biasa dlm peraturan perUUan. Bahkan di bidang hkm administrasi, peraturan bisa berlaku surut. Misalnya peraturan mengenai pengangkatan PNS. Misalnya peraturan pengangkatan PNS itu dikeluarkan Menpan 2 Januari 2014 dan berlaku sejak disahkan pd tanggal tsb. Namun dlm peraturan itu dinyatakan peraturan tsb berlaku surut sejak 2 Januari 2012 bagi pegawai honorer yg telah aktif sjk tgl tsb

Putusan pengadilan, MK atau pengadilan manapun, beda dg pengesahan peraturan perundang2an. Putusan pengadilan itu mempunyai kekuatan hukum mengikat seketika sejak putusan itu dibacakan dalam sidang yg terbuka untuk umum. Putusan pengadilan tidak bisa berlaku surut dan tidak bisa baru berlaku ke depan setelah putusan dibacakan dalam sidang terbuka utk umum, Sebab putusan pengadilan itu adalah penerapan hukum atau memutuskan sesuatu berdasarkan norma hukum utk ciptakan kepastian hukum. Bahwa dalam UU Perkawinan diatur perihal perceraian serta sebab2 perceraian dan prosedur perceraian.

Bagj mereka yang tunduk pada hukum Islam, prosedur pengajuan perceraian disampaikan kepada Pengadilan Agama. Ada seorang istri menggugat fasakh suaminya yg tidak memenuhi janji perkawinan yg diucapkan sang suami dalam sighat ta'lik talaq. Hakim Pengadilan Agama menerima gugatan fasakh (cerai) dari istri tsb dan putusannya diucapkan dalam sidang terbuka 10 Januati 2014. Putusan Pengadilan Agama itu inkracht dua minggu kemudian karena suami yg difasakh tidak mengajukan banding. Namun dalam diktum putusan Pengadilan Agama tadi dikatakan cerai fasakh tersebut baru berlaku tahun 2019, bukan ketika diputus thn 2014. Kedua pasangan tadi pulang ke rumahnya semula dan tinggal sama2. Tetangga bertanya, bukankah anda sdh bererai, kok msh serumah?. Keduanya menjawab, mereka memang sdh bercerai secara sah. Tapi pengadilan agama dlm putusannya menyatakan perceraian itu berlaku th 2019. Ketua RT di lingkungan tsb berpendapat, kedua orang tsb melakukan kumpul kebo, wong sdh cerai kok masih serumah. Ustadz yg ada di lingkungan tsb juga terlibat perdebatan sengiy mengenai keabsahan suami istri tsb yg sudah cerai kok berlaku 5 thn lagi. Maka suami istri itu mengalami krisis legimitasi mengenai keabsahan perkawinan dan perceraian mereka, yg bikin heboh orang sekampung

Sekarang bandingkan dengan putusan MK tentang uji UU Pilpres yg dimohon Efendi Ghazali. MK baik dlm pertimbangan hukum maupun dlm diktum putusannya menyatakan mengabulkan permohonan EG untuk sebagian. Sebagian besar pasal2 yg dimohon EG dinyatakan MK betentangan dengan UUD45 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan itu diucapkan dalam sidang terbuka pada bln Januari 2014. Namun dinyatakan putusan baru berlaku dlm Pemilu 2019 dan seterusnya. MK dlm pertimbangan hukumnya mengatakan pasal2 UU Pilpres yg bertentangan dg UUD45 dan tdk punya kekuatan hukum mengikat itu tetap sah untuk digunakan sebagai dasar penyelenggaraan Pilpres thn 2014. Maka nanti nasib Presiden dan Wapres terpilih thn 2014 ini akan mirip dg nasib suami istri yg bercerai dg putusan Pengadilan Agama tadi

Sebagian rakyat akan malas datang ke TPS untuk nyoblos dalam Pilpres. Buat apa, katanya, wong UU Pilpresnya aja gak sah. Ktk terpilih pasangan Presiden dan Wapres, akan ada rakyat yg ngomel dan protes, ngapain dengerin orang ini, wong dia Presiden gak sah. Lalu ada sejumlah advokat yg bawa permasalahan keabsahan Presiden dan Wapres ke MK atau Pengadilan TUN. Siapa yg jamin MK pasca Pilpres 2014 nanti akan sama pendapatnya dengan MK yg sekarang ini? Siapa ug jamin PTUN akan tolak perkats tsb?. Maka negara ini akan riuh rendah dalam pergunjingan dan perdebatan sah tidak sahnya Presiden dan Wakil Presidennya

Presiden dan Wapresnya menghadapi krisis legitimasi. Apa jadinya?. Krisis legitimasi perkawinan/perceraian/kumpul kebo saja sdh bikin heboh Ketua RT, RW, ustadz, jemaah masjid dan orang sekampung. Apatah lagi krisis legitimasi seorang Presiden dan Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia. Krisis legitimasi seorang Jaksa Agung saja tempo hari sudah bikin geger ini Republik dan jadi bahan tertawaan orang di negara2 lain. Sekarang mau coba2 bikin krisis legitimasi Presiden dan Wakil Presidennya. Ahaaa.....Sekian. Wassalam.

baca juga :

Putusan MK Adalah Kemenangan Kaum Status Quo & Oligarki Politik ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2014/01/medianusantara-putusan-mk-adalah.html

Keputusan Misterius MK, Pemilu 2014 INKONSTITUSIONAL ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2014/01/medianusantara-keputusan-misterius-mk.html

Margarito: MK Membuat Petaka Konstitusi ==> http://m.inilah.com/read/detail/2067712/margarito-mk-membuat-petaka-konstitusi

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar