Korupsi Sektor Migas
by Marwan Batubara
Sejak dicokoknya Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini pada 13 Agustsu 2013, hingga saat ini KPK telah menyita uang sekitar US$ 1,22 juta. Uang diperoleh saat tertangkap tangan, ruang kerja Sekjen ESDM, deposit box di Bank Mandiri dan brankas SKK Migas. Operasi KPK menjadikan Rudi, Simon Tanjaya (Kernel Oil) dan Deviardi (pelatih golf) sebagai tersangka. KPK mencekal 3 pejabat SKK, yakni Agus S. R. (Divisi Komersialisasi Minyak & Kondensat), Popi A. N. (Divisi Komersial Gas) dan Iwan Ratwan (Divisi Operasi).
Jumlah suap yang diberikan kepada Rudi tergolong kecil jika dibanding dengan potensi rente yang dapat diraih dari berbagai bidang industri migas. Triliunan Rp temuan BPK di sektor migas periode 2000-2012 mengkonfirmasi hal ini. Di benak masyarakat berkembang persepsi, sektor migas memang sarat korupsi yang telah akut. Lahan korupsi sektor migas dan solusi yang mungkin diambil dibahas dalam tulisan ini.
Jenis kegiatan yang dapat menjadi lahan korupsi antara lain pada penetapan cost recovery (CR), penjualan minyak bagian negara, lelang wilayah kerja (WK), perpanjangan kontrak, alokasi penjualan gas dan penetapan sub-kontraktor jasa pendukung. Dalam penetapan CR, modus yang dilakukan berupa penggelembungan CR dan pemasukan pekerjaan tidak relevan CR atau bertentangan dengan PP CR No.79/2010. Dugaan korupsi jenis ini sering dilaporkan BPK, dan untuk 2010-2012 besarnya adalah US$ 221,5 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun.
Korupsi dalam proses penjualan minyak bagian negara dapat berupa percaloan, budaya titipan pejabat dan arisan dalam penetapan penjual (trader). Kasus Rudi terkait percaloan. Praktek lain, minyak yang seharusnya tidak dijual (karena sesuai spesifikasi kilang), justru turut dijual pula ke luar negeri. IRESS memperoleh informasi dari sumber terpercaya bahwa sebagian produksi minyak lapangan Duri telah dijual oleh trader ke luar negeri.
Dalam hal lelang WK, praktek yang terjadi berupa pemilihan kontraktor yang melanggar prosedur atau yang berstatus broker. Kontraktor terpilih bukan yang terbaik berdasar hasil evaluasi, seperti pada penetapan pemenang Blok migas Semai V (2007). Para broker ditunjuk karena mempunyai informasi dan kedekatan dengan oknum penguasa. Tak jarang WK menganggur karena calo belum berhasil mendapatkan investor, sehingga negara rugi akibat tidak berproduksinya WK. Bonus tandatangan dari pemenang bisa pula dikorupsi.
Korupsi pada perpanjangan kontrak migas dapat terjadi karena tidak adanya rujukan peraturan dan tarif (disenagaja?). Padahal secara global tarif akuisisi cadangan migas terbukti berkisar 10-20% harga pasar migas. Dalam kasus perpanjangan kontrak blok West Madura Offshore misalnya, negara hanya memperoleh US$ 5 juta sebagai signatory bomus dari Kodeco (Korea) untuk saham 20%. Padahal jika tarif akuisisi diterapkan, minimal negara bisa memperoleh US$ 300 juta! Siapa yang menikmati selisih pembayaran tsb?
Kegiatan penetapan alokasi gas juga dapat menghasilkan rente yang besar bagi para koruptor. Umumnya yang menjadi korban adalah BUMN seperti PLN atau pabrik pupuk. Kasus kerugian PLN sebesar Rp 37 triliun pada 2009-2010 disebabkan oleh tindakan BP Migas mengalihkan alokasi gas yang bukan kewenangannya, yang melanggar Pasal 50 PP No.35/2004. Dugaan korupsi juga terjadi pada pengalihan gas bagi unit Kilang Baru Gresik dari lapangan MDA-MBA Blok Madura Stait ke PLTU Bali dan Banyuwangi pada akhir 2012. Negara berpotensi dirugikan ratusan miliar rupiah.
Dalam hal penunjukan sub-kontraktor industri penunjang, IRESS menerima beberapa laporan tentang praktek permintaan fee oleh oknum-oknum BP/SKK Migas sebesar 10-20% dari nilai proyek jika ingin ditunjuk sebagai pemenang. Upeti tersebut diminta untuk disetorkan ke rekening tertentu dengan dalih akan digunakan sebagai dana operasional. "Pungutan" ini memang dibayar oleh para sub-kontraktor, tetapi kelak akan menjadi tanggungan negara melalui mekanisme cost recovery.
Dari keenam bidang kegiatan di atas terlihat betapa luasnya lahan yang dapat dikorupsi oleh para koruptor dan pemburu rente. Tindakan ini semakin marak karena di satu sisi sistem kebijakan dan peraturan bermasalah. Di sisi lain moral hazard dan nafsu berburu rente oknum-oknum penguasa, pengusaha, kontraktor asing, partai penguasa atau birokrat semakin meningkat. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan sistem dan peraturan, serta peningkatan komitmen moral dan etika bisnis pada semua pelaku/pihak yang terkait dalam industri migas.
Sistem dan pelaku perlu diperbaiki secara bersamaan. Para koruptor harus dihukum berat untuk digantikan oleh pajabat yang berintegritas, amanah dan profesional. Khusus subjek pelaku, tertangkapnya Rudi merupakan pintu masuk yang harus dioptimalkan guna memberantas mafia migas. Para pelaku lain selain Rudi di SKK Migas, Kementerian ESDM dan lembaga lain harus diperiksa dan dituntut. Kasus ini harus dikembangkan, tidak terhenti pada Rudi. KPK harus bertindak independen dan teguh menghadapi berbagai intervensi.
Dalam aspek perbaikan sistem, IRESS meminta agar Pemerintah kembali menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama yang bersifat ideologis dan strategis. Rujukan ini telah dioperasionalkan dalam UU Prp. No.44/1960 dan UU No.8/1971, dimana penguasaan negara atas migas dijalankan melalui BUMN. Dalam hal ini hak ekonomi dan kekayaan migas yang dapat dimonetisasi dan digunakan untuk aksi korporasi. Karena berbagai kepentingan, kedua UU tersebut justru diganti dengan UU Migas No.22/2001, sehingga saat ini tidak heran lebih dari 80% cadangan dan produksi migas nasional dikuasai asing.
Selain lepasnya hak ekonomi atas cadangan, karena keterbatasan BP Migas sebagai BHMN, UU Migas No.22/2001 juga memberi kesempatan kepada perusahaan asing atau trader menjual minyak bagian negara seperti kasus Kernel atau gas Tangguh. Padahal kita memiliki Pertamina untuk menjual. BUMN kita juga kehilangan kesempatan untuk otomatis menguasai blok-blok migas yang habis kontrak akibat aturan yang disengaja grey. Akibatnya terbuka kesempatan untuk asing tetap bercokol dan oknum penguasa untuk meperoleh rente.
Aspek pengawasan industri migas kita juga sangat lemah. BP Migas berfungsi tanpa lembaga pengawas. SKK Migas sebagai pengganti pun dijalankan dengan sistem pengawasan bermasalah. Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1) menyebutkan tanggungjawab terakhir kinerja SKK Migas ada pada Presiden. Artinya Kepala SKK setingkat dengan menteri sehingga komisi pengawas yang diketuai Menteri ESDM tidak ada artinya. Menteri ESDM bukanlah atasan langsung Kepala SKK Migas, tetapi Presidenlah atasan langsungnya. Sekalipun Menteri ESDM Ketua Komisi Pengawas, jabatan ini hanya simbol untuk pencitraan saja.
Sekarang sudah waktunya Pemerintah membubarkan SKK Migas. Sambil menunggu sistem pengganti melalui UU Migas baru, Pemerintah dituntut menerbitkan Perpres yang menetapkan BUMN sebagai pengganti SKK Migas, pemegang hak ekonomi cadangan, penjual migas bagian negara dan penguasa blok-blok habis kontrak. Dengan demikian, Pertamina mengalami pertumbuhan aset dan keuntungan yang meningkat pesat dan peringkat sebagai perusahaan global terbesar versi Fortune pun ikut naik. Perbaikan status ini akan menambah pengakuan dunia dalam mengakuisisi cadangan secara global guna meningkatkan ketahanan energi. Dalam hal ini Pertamina pun harus memperbaiki kinerja, bebas dari pengaruh mafia migas, dijalankan melalui tatakelola perusahaan yang baik dan ditingkatkan statusnya menjadi non-listed public company.
Sejak dicokoknya Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini pada 13 Agustsu 2013, hingga saat ini KPK telah menyita uang sekitar US$ 1,22 juta. Uang diperoleh saat tertangkap tangan, ruang kerja Sekjen ESDM, deposit box di Bank Mandiri dan brankas SKK Migas. Operasi KPK menjadikan Rudi, Simon Tanjaya (Kernel Oil) dan Deviardi (pelatih golf) sebagai tersangka. KPK mencekal 3 pejabat SKK, yakni Agus S. R. (Divisi Komersialisasi Minyak & Kondensat), Popi A. N. (Divisi Komersial Gas) dan Iwan Ratwan (Divisi Operasi).
Jumlah suap yang diberikan kepada Rudi tergolong kecil jika dibanding dengan potensi rente yang dapat diraih dari berbagai bidang industri migas. Triliunan Rp temuan BPK di sektor migas periode 2000-2012 mengkonfirmasi hal ini. Di benak masyarakat berkembang persepsi, sektor migas memang sarat korupsi yang telah akut. Lahan korupsi sektor migas dan solusi yang mungkin diambil dibahas dalam tulisan ini.
Jenis kegiatan yang dapat menjadi lahan korupsi antara lain pada penetapan cost recovery (CR), penjualan minyak bagian negara, lelang wilayah kerja (WK), perpanjangan kontrak, alokasi penjualan gas dan penetapan sub-kontraktor jasa pendukung. Dalam penetapan CR, modus yang dilakukan berupa penggelembungan CR dan pemasukan pekerjaan tidak relevan CR atau bertentangan dengan PP CR No.79/2010. Dugaan korupsi jenis ini sering dilaporkan BPK, dan untuk 2010-2012 besarnya adalah US$ 221,5 juta atau sekitar Rp 2,3 triliun.
Korupsi dalam proses penjualan minyak bagian negara dapat berupa percaloan, budaya titipan pejabat dan arisan dalam penetapan penjual (trader). Kasus Rudi terkait percaloan. Praktek lain, minyak yang seharusnya tidak dijual (karena sesuai spesifikasi kilang), justru turut dijual pula ke luar negeri. IRESS memperoleh informasi dari sumber terpercaya bahwa sebagian produksi minyak lapangan Duri telah dijual oleh trader ke luar negeri.
Dalam hal lelang WK, praktek yang terjadi berupa pemilihan kontraktor yang melanggar prosedur atau yang berstatus broker. Kontraktor terpilih bukan yang terbaik berdasar hasil evaluasi, seperti pada penetapan pemenang Blok migas Semai V (2007). Para broker ditunjuk karena mempunyai informasi dan kedekatan dengan oknum penguasa. Tak jarang WK menganggur karena calo belum berhasil mendapatkan investor, sehingga negara rugi akibat tidak berproduksinya WK. Bonus tandatangan dari pemenang bisa pula dikorupsi.
Korupsi pada perpanjangan kontrak migas dapat terjadi karena tidak adanya rujukan peraturan dan tarif (disenagaja?). Padahal secara global tarif akuisisi cadangan migas terbukti berkisar 10-20% harga pasar migas. Dalam kasus perpanjangan kontrak blok West Madura Offshore misalnya, negara hanya memperoleh US$ 5 juta sebagai signatory bomus dari Kodeco (Korea) untuk saham 20%. Padahal jika tarif akuisisi diterapkan, minimal negara bisa memperoleh US$ 300 juta! Siapa yang menikmati selisih pembayaran tsb?
Kegiatan penetapan alokasi gas juga dapat menghasilkan rente yang besar bagi para koruptor. Umumnya yang menjadi korban adalah BUMN seperti PLN atau pabrik pupuk. Kasus kerugian PLN sebesar Rp 37 triliun pada 2009-2010 disebabkan oleh tindakan BP Migas mengalihkan alokasi gas yang bukan kewenangannya, yang melanggar Pasal 50 PP No.35/2004. Dugaan korupsi juga terjadi pada pengalihan gas bagi unit Kilang Baru Gresik dari lapangan MDA-MBA Blok Madura Stait ke PLTU Bali dan Banyuwangi pada akhir 2012. Negara berpotensi dirugikan ratusan miliar rupiah.
Dalam hal penunjukan sub-kontraktor industri penunjang, IRESS menerima beberapa laporan tentang praktek permintaan fee oleh oknum-oknum BP/SKK Migas sebesar 10-20% dari nilai proyek jika ingin ditunjuk sebagai pemenang. Upeti tersebut diminta untuk disetorkan ke rekening tertentu dengan dalih akan digunakan sebagai dana operasional. "Pungutan" ini memang dibayar oleh para sub-kontraktor, tetapi kelak akan menjadi tanggungan negara melalui mekanisme cost recovery.
Dari keenam bidang kegiatan di atas terlihat betapa luasnya lahan yang dapat dikorupsi oleh para koruptor dan pemburu rente. Tindakan ini semakin marak karena di satu sisi sistem kebijakan dan peraturan bermasalah. Di sisi lain moral hazard dan nafsu berburu rente oknum-oknum penguasa, pengusaha, kontraktor asing, partai penguasa atau birokrat semakin meningkat. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan sistem dan peraturan, serta peningkatan komitmen moral dan etika bisnis pada semua pelaku/pihak yang terkait dalam industri migas.
Sistem dan pelaku perlu diperbaiki secara bersamaan. Para koruptor harus dihukum berat untuk digantikan oleh pajabat yang berintegritas, amanah dan profesional. Khusus subjek pelaku, tertangkapnya Rudi merupakan pintu masuk yang harus dioptimalkan guna memberantas mafia migas. Para pelaku lain selain Rudi di SKK Migas, Kementerian ESDM dan lembaga lain harus diperiksa dan dituntut. Kasus ini harus dikembangkan, tidak terhenti pada Rudi. KPK harus bertindak independen dan teguh menghadapi berbagai intervensi.
Dalam aspek perbaikan sistem, IRESS meminta agar Pemerintah kembali menjadikan Pasal 33 UUD 1945 sebagai rujukan utama yang bersifat ideologis dan strategis. Rujukan ini telah dioperasionalkan dalam UU Prp. No.44/1960 dan UU No.8/1971, dimana penguasaan negara atas migas dijalankan melalui BUMN. Dalam hal ini hak ekonomi dan kekayaan migas yang dapat dimonetisasi dan digunakan untuk aksi korporasi. Karena berbagai kepentingan, kedua UU tersebut justru diganti dengan UU Migas No.22/2001, sehingga saat ini tidak heran lebih dari 80% cadangan dan produksi migas nasional dikuasai asing.
Selain lepasnya hak ekonomi atas cadangan, karena keterbatasan BP Migas sebagai BHMN, UU Migas No.22/2001 juga memberi kesempatan kepada perusahaan asing atau trader menjual minyak bagian negara seperti kasus Kernel atau gas Tangguh. Padahal kita memiliki Pertamina untuk menjual. BUMN kita juga kehilangan kesempatan untuk otomatis menguasai blok-blok migas yang habis kontrak akibat aturan yang disengaja grey. Akibatnya terbuka kesempatan untuk asing tetap bercokol dan oknum penguasa untuk meperoleh rente.
Aspek pengawasan industri migas kita juga sangat lemah. BP Migas berfungsi tanpa lembaga pengawas. SKK Migas sebagai pengganti pun dijalankan dengan sistem pengawasan bermasalah. Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1) menyebutkan tanggungjawab terakhir kinerja SKK Migas ada pada Presiden. Artinya Kepala SKK setingkat dengan menteri sehingga komisi pengawas yang diketuai Menteri ESDM tidak ada artinya. Menteri ESDM bukanlah atasan langsung Kepala SKK Migas, tetapi Presidenlah atasan langsungnya. Sekalipun Menteri ESDM Ketua Komisi Pengawas, jabatan ini hanya simbol untuk pencitraan saja.
Sekarang sudah waktunya Pemerintah membubarkan SKK Migas. Sambil menunggu sistem pengganti melalui UU Migas baru, Pemerintah dituntut menerbitkan Perpres yang menetapkan BUMN sebagai pengganti SKK Migas, pemegang hak ekonomi cadangan, penjual migas bagian negara dan penguasa blok-blok habis kontrak. Dengan demikian, Pertamina mengalami pertumbuhan aset dan keuntungan yang meningkat pesat dan peringkat sebagai perusahaan global terbesar versi Fortune pun ikut naik. Perbaikan status ini akan menambah pengakuan dunia dalam mengakuisisi cadangan secara global guna meningkatkan ketahanan energi. Dalam hal ini Pertamina pun harus memperbaiki kinerja, bebas dari pengaruh mafia migas, dijalankan melalui tatakelola perusahaan yang baik dan ditingkatkan statusnya menjadi non-listed public company.
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar