MANUNGGALING KAWULO GUSTI
DAN
PANCASILA PAKEMING NGAURIP
Oleh: Saurip Kadi
Allah tidak ada disana (menunjuk langit), Allah ada disini (menunjuk dada). Karena dalam tubuh kita bersemayam Allah, maka ketika melihat ada manusia menistakan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya mendapat gelar sebagai khalifah, kita perlu kasihan kepadanya, karena Allah bersemayam pada jasad yang begitu nista. Sedih rasanya ketika ada orang yang melecehkan Allah sepertinya Allah tidak lagi Maha Mendengar, tidak lagi Maha Tahu, tidak lagi Maha Pemurah dan sepertinya Allah begitu pelit. Mereka yang begini, sesungguhnya karena pembodohan yang terus berlanjut dari para penyebar agama, sehingga iman tempatnya tidak lagi di perbuatan. Penghafal ayat, apalagi yang berlatar belakang imbalan, kok kemudian disamakan dengan ketinggian iman seseorang.
"Manunggaling Kawulo Gusti"
Adalah kekeliruan yang mendasar kalau kita membicarakan topik "Manunggaling Kawulo Gusti" seolah kita membicarakan sesuatu yang berada diluar wilayah agama. Hal ini terjadi karena pemahaman agama yang selama ini berkembangbukanlah agama (DIN) dalam artian ajaran Tuhan, tapi lebih sebagai kelompok dan simbol. Apalagi kalau dalam membaca ajaran lebih sebagai tekstual danjauh dari kontekstual. Lebih parah lagi ketika pendalaman ayat-ayat yang bersifat perumpamaan (Jawa: sanepo) atau isyarah, kemudian dibaca sebagai bahasa manusia. Padahal dalam masalah akidah ayat-ayat yang diwahyukan justrudalam bentuk isyarah-isyarah atau "sanepan" (petunjuk yang disamarkan). Maka ketika ayat-ayat tersebut dibaca secara harfiah semata, agama kemudian kehilangan "api"-nya, kehilangan semangatnya. Sehingga dalam realitanya agama kemudian tidak bisa menjawab tuntutan dan tantangan jaman.
Bicara "Manunggaling Kawulo Gusti", Al Qur'an memberi penjelasan yang begitumudah dipahami, sebagaimana diwahyukan dalam Surat 2 (Al Baqarah) Ayat 30 (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi", Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasabertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau"; Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". Ayat ini kalau dirangkai dengan ayat 31, 32, dan 34 dari Surat yang sama maka jelas posisi sebagai kholifah langsung diakui oleh para Malaikat, yaitu setelah Tuhan sendiri yang membuktikannya. Hal ini dijelaskan dalam ayat 33 Surat yang sama, Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini" Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi, mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan".
Satu masalah yang mendasar yang perlu kita gali dari ayat 33 Surat ke 2 iniadalah sebutan ADAM bagi sang kholifah. Karenanya kita perlu mengkaji apa,siapa, mengapa dan bagaimana ADAM itu terlebih dahulu. Dalam Al Qur'ansudah dijelaskan bahwa manusia dibuat dari lumpur hitam yang diberi bentuk dan kemudian disempurnakan. Bahasa tersamar "disempurnakan" sesungguhnya sudah dijelaskan dalam bagian lain Al Qur'an bahwa Tuhan telah meniupkan Roh alias Nur Muhamad alias Rohul Kudus kedalam Janin. Disinilah dua komponen yaitu Jasad dan Roh yang tadinya terpisah telah menyatu.Kondisi ini terus berlangsung saat bayi lahir didunia. Yang pasti sang bayi dalamberaktifitas hanyalah dikendalikan oleh naluri atau instink dan Roh itu sendiri. Saat itu sang manusia awal (pertama) belum menggunakan logika dan apalagiilmu pengetahuan. Namun ia hidup dalam kebahagiaan, ia tidak pernah berpikir mencari makan apalagi kekayaan, tapi saat menangis karena lapar atau karena menggigil kedinginan, semua orang, siapapun ia yang melihat pasti akan mengulurkan bantuan, mendatangkan apa yang ia inginkan. Gambaran yang seperti inilah yang diceritakan sebagai kehidupan ADAM yang berada di sorga. Dengan kata lain, sebutan ADAM sesungguhnya diperuntukan oleh setiap manusia diawal kehidupan mereka masing-masing, yaitu sejak ia berada dalam rahim ibu saat Roh ditiupkan (umur 110 hari) sampai umur tertentu (kurang lebih sang bayi berumur 20 bulan). Artinya dialog antara Malaikat dengan Tuhan tersebut sama sekali bukan latar belakang kejadian manusia pertama yang diciptakan Tuhan saja, tapi latar belakang untuk semua manusia, karena dalam dialog tersebut jelas-jelas malaikat menyebut sudah ada manusia.
Dengan kata, lain Adam adalah kondisi menyatunya unsur jasad yang dilengkapi dengan nurani atau instink dengan Roh, tanpa dipengaruhi unsur lain atau kepentingan apapun yang berasal dari sumber lain. Roh itu sendiri banyak sebutannya, dalam Al Qur 'an disebut juga dengan istilah Nur Muhammad, atau Rohulkudus, dan dimasyarakat Jawa dikenal dengan istilah "Manungso Sejati".
Untuk itu kita perlu mendalami ayat 35 dari Surat yang sama, disana Tuhan Berfirman:
"Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai dannjanganlah kamu dekati pohon ini (kuldi), yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang Zalim".
Dalam ayat ini disebut istilah istrimu, makanan-makanan yang banyak, dan pohon kuldi. Untuk itu kita harus kaitkan dengan ayat lain yang menjelaskan tentang istilah-istilah tersebut.
Kuldi; Dalam proses selanjutnya sang Adam yang juga sebagai kholifah diberibatasan dengan jelas oleh Allah untuk tidak mendekat ke pohon kuldi agar engkau tidak termasuk orang-orang yang Zalim. Gambaran ini sesungguhnya terkait dengan pertumbuhan jasad/organ sang bayi yang kemudian berkembang. Alat kelengkapan Jasad ini antara lain nafsu dan juga akal yang melahirkan keinginan dan bahkan keserakahan serta ketamakan. Ketika masih Adam, ia makan secukupnya, setelah ada nafsu ia kemudian berkehendak untuk memperoleh lebih dari yang ia butuhkan. Ia kemudian berkeinginan untuk mendapatkan lebih banyak dari pada yang seharusnya.
Makanan-makanan yang banyak; Karena surga bukanlah sebuah tempat secara phisik keduniawian, atau phisik lahiriyah, tapi kondisi yang penuh kebahagiaan semuanya serba menyenangkan. Maka yang dimaksud makanan disini sama sekali bukan berarti masakan ataupun buah-buahan. Makanan yang banyak adalah ilustrasi untuk menggambarkan bahwa banyaknya pilihan terhadap informasi, ilmu pengetahuan, suasana yang menyenangkan seperti pemandangan, dan semua hal yang mengkait dengan kebutuhan non phisik. Makanan yang dimaksudkan adalah makanan jiwa atau makanan bathin.
Budak; Tuhan melalui agama apapun melarang perbudakan. Tanpa memahami apa yang tersirat dalam istilah budak maka ayat ini sama artinya Tuhan membenarkan bahkan melanggengkan perbudakan. Maka dipastikan dalam ayat ini yang dimaksud budak bukanlah artian manusia sebagai budak. Tapi semua kekuatan apapun yang bisa menghambakan kepada manusia. Bisa jadi yang dimaksudkan budak disini adalah Jin, ataupun kekuatan supra natural apapun yang bisa diperbudak oleh manusia.
Istri; Istilah ini dijumpai dalam Surat 4 (An Nisaa'). Dalam ayat 3 antara laindijelaskan: kawinilah 2, 3, atau 4 minimal 1 atau budak-budak yang kamu miliki. Ayat ini tidak didahului Hai laki-laki (pada ayat pertama Surat An Nisaa malah disebut Hai manusia, sama sekali bukan Hai Laki-Laki) artinya ayat ini adalah untuk manusia tanpa pandang jenis kelamin dan umur. Perintah Tuhan dalamayat ini juga langsung untuk kawinilah 2, 3, dst...; bukan: 1, 2, dst. Artinya, istilah kawin disini sama sekali bukan persoalan nikah antara laki dan perempuan untuk membentuk rumah tangga. Kawin disini adalah persoalan hubungan antara jasad manusia yang sifatnya lahiriyah dengan unsur-unsur non phisik mulai dari nafsu, dan sifat-sifat lainnya yang kategorinya bathiniyah. Maka kalau sang Jasad ini tidak bisa berlaku adil terhadap sifat-sifat Allah yang Yatim (Tidak punya Bapak dan Ibu yaitu Tuhan itu sendiri) dan yang ke "ibu "an (perempuan/ umi), maka kawinilah 2 yaitu Amarah dan Lamawah (marah dan Sabar), 3 Mutmainah atau 4 yaitu ditambah dengan Sofiah, atau minimal satu yaitu Nur Muhammad itu sendiri ya Rohul Kudus, ya "Manungso Sejati" itu sendiri. Maka menjadi masalah yang serius, ketika ada manusia yang beragama tertentu, kemudian melupakan bahwa dalam manusia yang kebetulan beda agama dianggap mereka tidak punya Nur Muhammad yaitu Utusan Allah dalam diri mereka. Apalagi dengan justifikasi atau bahkan mengkondem yang menegasikan peran Roh utusan Tuhan yang ada dalam diri mereka.
Pokok Persoalan yang perlu kita dalami adalah bagaimana perjalanan sang Khalifah, yaitu Adam itu sendiri yang kemudian terjerumus dalam Zalim karena ia tidak hanya mendekati pohon Kuldi, tapi bahkan memakan buahnya. Maka ia akhirnya telah kehilangan sorga, ia telah diturunkan ke bumi, sebuah kehidupan nyata. Apakah setelah ia turun ke bumi berarti tidak lagi ADAM? Dari perkembangan jasad manusia setelah ia melewati umur kurang lebih 20 bulan apalagi setelah akhil balik dan kemudian menjadi remaja dan dewasa, jelas ia bukan Adam lagi. Namun ia bisa saja menjadi Adam yaitu saat ia bisa meninggalkan semua keinginan, kemauan dan apalagi keserakahan, dalam bentuk perilaku yang hanya hanya didasari pada dua unsur yaitu Nurani atau Instink (sebagai bagian dari Jasad manusia) dengan Nur Muhamad saja. Maka siapapun yang bisa melepas semua semua sifat-sifat nafsu, keserakahan, dan ketamakan sesungguhnya ia Adam. Hal yang demikian banyak diisyaratkan dalam sejumlah ayat Al Qur'an. Saat ia bisa melepaskan semua kepentingan, keinginan, dan semua tuntutan hawa nafsu, maka saat itulah ia dalam posisi "Manunggaling Kawulo Gusti". Pertanyaannya kapan ia bisa masuk pada kondisi"Manunggaling Kawulo Gusti"? Maka disini Al Qur'an menjelaskan dengan bahasa "sanepan" atau perumpamaan. Yang pasti tidak mungkin unsur Tuhan yang ada pada tubuh manusia akan "jumeneng" kalau peran jasad sendiri yang dikendalikan oleh nafsu, logika dan ilmu pengetahuan sangat dominan dari peran ROH itu sendiri. Ia otomatis akan eksis ketika sang Jasad dimatikan, maka dikenal dengan istilah ilmu Tuhan adalah 1 dan 0. Ia akan eksis (1) ketika sang Jasad bisa mati (nol=0). Maka disana Ibrahim kemudian menyembelih Ismail. Ayat ini adalah "sanepan", ketika Ismail yang pandai tetapi tidak menggunakan peran Nur Muhammad atau 'Manungso Sejati' itu sendiri. Namun demikian untuk sampai kepada kehidupan yang mampu memerankan keberadaan Rohulkudus itu sendiri, ia haruslah Islam atau takwa, yaitu tunduk patuh. Tunduk patuh terhadap aturan Allah itu sendiri, dalam artian perilaku manusia ini haruslah yang sesuai dengan hukum yang telah digariskan oleh Tuhan yang Maha Esa, baik yang tertulis maupun yang tersebar di alam nyata ini. Tidaklah mungkin WakilTuhan akan eksis atau "Jumeneng" ketika tubuh manusia ini tidak memberi kesempatan untuk Ia berperan. Ibarat keris dan "warongko" (rumah atau sangkar keris), maka kemanunggalan keduanya baru akan terwujud ketika ukuran warongko dan bilah keris itu sendiri cocok. Sebagai utusan Tuhan (Rosul) sang Muhammad yaitu Dzat yang hanya berperilaku baik, tidak mungkin akan Jumeneng pada jasad yang perilakunya tidak baik, kotor dan apalagi jahat. Semakin jauh dari perilaku baik, maka peran Muhammad yaa sang Rosul itu sendiri makin redup. Rosul sendiri adalah sebutan penyampai wahyu, wahyu adalah kebenaran. Tugas menyampai kebenaran dalam bahasa Jawa disebut Guru. Maka peran penyampai wahyu dalam bahasa Jawa disebut sebagai "Guru Sejati". Persoalan menjadi ruwet, ketika kita menggunakan istilah Rosul berarti Islam, tapi kalau menggunakan istilah "Guru Sejati" akan di sebut Kejawen.
Kesimpulan:
"Manunggaling Kawulo Gusti" hanya akan diwujudkan oleh orang-orang yang berperilaku baik, yang mampu mengesampingkan tuntutan nafsu apapun, hasil olah pikir apapun (logika), ataupun ilmu pengetahuan yang manapun dan hanya menyandarkan pada kekuatan dua yang satu, yaitu kekuatan Nur Muhamaddengan unsur jasad yaitu Naluri atau instink semata.
Catatan:
Bagi yang tidak setuju dengan penjelasan ini, mohon kita kembali kepada Surat 75 (AL Qiyamah) ayat 16 sampai dengan 19. Disana dijelaskan bahwa hanya Tuhan yang menjamin kebenaran atas penjelasan Ayat-ayat Al Qur 'an. Tapi Ia pula yang menjamin seseorang untuk bisa mengartikan ayat-ayat "sanepan" ini. Karenanya kebenaran harus dikembalikan kepada Al Qur'an yang telah ditiupkan kedalam dada setiap orang, artinya janganlah keyakinan hanya karena kata sesorang termasuk kata penulis dalam uraian ini.
Pancasila Pakeming Ngaurip.
Pancasila yang kita kenal dalam Pembukaan UUD-45 sesungguhnya juga ilmu yang berasal dari paham ke Ilahian. Karenanya ia bukan hanya Dasar Negara, tapi ia juga pakem atau aturan Dasar bagi kehidupan manusia (Pekeming Ngaurip). Maka menjadi sangat tepat ketika Panitya mengangakat masalah dua hal yang terkait secara langsung yaitu Manunggaling Kawulo Gusti dan Pancasila Pakeming Ngaurip.
Karena Pancasila berasal dari paham ke Illahian atau ketahuidan yang sudah lama berkembang dibumi Nusantara, maka datangnya juga dari sang Pencipta, maka Pancasila pasti akan diterima atau cocok dengan agama apapun. Untuk itu kita perlu medalami sila demi sila.
Sila Pertama: Ketuhanan. Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Hal ini sama dan sebangun dengan pemahaman yang dijelaskan dalam Al Qur'an, dimana asal kejadian manusia berangkat dari Sirrullah (Kehendak ALLAH). Disisi lain faktor yang membedakan antara manusia dengan mahluk lain adalah persoalan adanya ROH, Nur Muhamad , Rohul Kudus, atau "Menungso Sejati" yang terkadang pula disebut Rosullulloh atau "Guru Sejati".
Sila Kedua: Kemanusiaan. Dalam kehidupan manusia faktor kedua yang memegang peranan yang menentukan dalam merealisasikan kehendak atau keinginan Tuhan adalah manusia. Maka persoalan komponen jasad manusia, adalah penentu. Komponen jasad bisa berupa phisik kebendaan maupun yang non phisik seperti logika, instink, ilmu pengetahuan. Kehendak Allah sendiri tidak akan pernah menjelma kecuali melalui keberadaan manusia. Disanalah maka posisi antara keris dan "warongko" dalam posisi yang sejajar. Maka manusia dan Tuhan dalam kedudukan yang egaliter. Menjadi wajar kalau manusia ketika menyebut Tuhan cukuplah dengan sebutan Ia, Kamu, Mu atau Nya, bukan dengan sebutan Paduka, Yang Mulia, atau Beliau dan sejenisnya.
Sila Ketiga: Persatuan. Makna Persatuan disini adalah menyatunya antara komponen jasad yang terbuat dari tanak liat yang diberi bentuk dengan Roh yang ditiupkan kedalam janin jabang bayi ketika masih berada dalam kandungan sang ibu, sehingga ia sempurna. Dua yang satu ini yang membentuk senyawa yang disebut manusia. Tubuh manusia tanpa roh tidak lagi disebut manusia.Sebaliknya Roh tanpa tanpa jasad manusia, juga bukan manusia. Kesempurnaan jasad manusia adalah sejak ditiupkan Roh atau Nur Muhammad yang bertindak mewakili Allah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri, sampai keluarnya Roh itu dari tubuh / Jasad manusia. Peran manusia sebagai kholifah atau wakil Tuhan di dunia, sekaligus sebagai penampakan Tuhan akan menjadi Adam kembali ketika persatuan antara Jasad dengan Manungso Sejati betul-betul tunggal, tidak terdistorsi oleh peran komponen apapun yang berasal dari jasad manusia, baik berupa nafsu, keinginan, logika, ataupun ilmu pengetahuan.
Sila Keempat: Kerakyatan. Keberadaan manusia yang terdiri dari dua komponen yang menyatu tersebut sesungguhnya diarahkan untuk kepentingan seluruh organ manusia. Karenanya seluruh bagian tubuh harus terkodinir dandiatur dengan persamaan hak, disanalah maka konsep dasarnya bisa dengan permusyawaratan yaitu ketika seluruh tubuh manusia harus disinergikan secara keseluruhan (total) atau cukup diwakili (Perwakilan) oleh organ-organ tertentu yaitu ketika makan, rasa enak hanya diwakili oleh unsur lidah, bernafas diwakili oleh komponen hidung, saluran pernafasan dan paru-paru namun proses selanjutnya melibatkan seluruh organ manusia tanpa kecuali. Disanalah maka peran dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan yaitu oleh unsur kebenaran dan kejujuran menjadi kata kunci.
Sila Kelima: Keadilan Sosial. Hal yang mendasar dalam proses kehidupan manusia adalah pentingnya keadilan sosial, yaitu manfaat dari kerja tubuhmanusia baik oleh organ tertentu ataupun secara keseluruhan sesungguhnyabermanfaat untuk semua organ manusia tanpa kecuali. Memang betul lidah yang mewakili enaknya rasa makanan, tapi manfaat yang diperoleh Lidah, bisa dinikmati oleh semua organ manusa secara keseluruhan. Sebagai satu kesatuan organis sesungguhnya secara keseluruhan organ manusia adalah rangkaian tertutp yang saling berinteraksi.
Dari gambaran ke Illahian yang berproses dalam tubuh manusia sebagaimana penjelasan diatas, maka menjadi wajar kalau Pendiri Republik ini khususnya Bung Karno menjadikan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Persoalan yang kemudian timbul adalah perubahan obyek dan juga subyek dari proses Pancasila, yang semula ada pada tubuh Manusia diganti menjadi negara dan bangsa yang notabene bukan benda hidup atau mahluk yang "disempurnakan". Disanalah kepincangan dirasakan sejak awal kemerdekaan, karena Pancasila dalam kontek ber negara belum dilengkapi dengan instrumen, bagaimana negara dan bangsa ini menjalankan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Belum siapnya instrumen untuk menjalankan kelima sila Pancasila, disamping mengandung kelemahan tetapi juga membawa hikmah yang luar biasa besarnya, yaitu ketika generasi penerus segera menyiapkan perangkat atau instrumen berupa penjabaran sila-sila Pancasila kedalam batang tubuh UUD, sehingga setiap penyelenggara negara siapapun dan dengan ideologi apapun Presiden pemenang Pemilu akan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai Landasan Operasional bagi segenap penyelenggara negara dan juga segenap warga negara. Sudah barang tentu setiap generasi juga mempunyai hak untuk merevisi jabaran sila-sila Pancasila dalam batang tubuh UUD tersebut, sesuai dengan tuntutan jaman masing-masing. Sehingga Pancasila akan selalu aktual. Dan kunci semua itu letaknya pada kesetaraan negara terhadap setiap anak bangsa, kelompok, golongan, etnis, agama, daerah dan juga budaya atau kearifan lokal. Dengan demikian kedepan negara tidak terlibat dalam ataupun membiarkan pendholiman antar manusia, kelompok, etnis, golongan dan juga agama apapun dan oleh siapapun. Dengan demikian Indonesia adalah milik semua dan manfaatnya dirasakan oleh semua pihak tanpa keculai.
Kesimpulan: Pancasila sebagai Dasar Filsafat bangsa Indonesia sesungguhnyabersumber dari paham ke Illahi an. Pancasila berangkat dari hubungan antara unsur Tuhan (Nur Muhammad) dengan Jasad Manusia yang manunggal ("persatuan"). Dan dalam rangka kepentingan manusia seutuhnya maka perlu diatur dengan model Permusyawaratan/Perwakilan. Sehingga Keadilan bisa dirasakan oleh segenap elemen yang ada dalam tubuh manusia.
Kaki Gunung Slamet, 29 Juni 2013
Mayor Jendral TNI (Purn) Saurip Kadi
Sent from my iPad
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar