Kamis, 30 Oktober 2014

[Media_Nusantara] Demokrasi Mati di Rumah Sendiri

 

Demokrasi Mati di Rumah Sendiri
Rabu, 29 Oktober 2014
 
SEMPURNA sudah penguasaan lembaga legislatif oleh Koalisi Merah Putih. Setelah menguasai pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, KMP juga menyapu bersih pimpinan komisi dan alat-alat kelengkapan dewan, serta hanya menyisakan secuil buat Koalisi Indonesia Hebat. Demokrasi pun menemui ajal di parlemen. Alih-alih membangun parlemen sebagai rumah demokrasi yang megah, mereka justru memamerkan wajah oligarki yang coreng-moreng.

Parlemen hanya menjadi rumah bagi segelintir kelompok, serta jauh dari prinsip representasi kehendak rakyat yang tecermin dari hasil pemilu. Sungguh ironi besar, demokrasi mati di tangan orang-orang yang semestinya menyuburkan dan menghidupkannya. Demokrasi bagai ayam yang mati di lumbung padi, Semua itu tergambar ketika DPR tetap memilih pimpinan komisi beserta alat kelengkapan lain meski tanpa kehadiran partai yang tergabung dalam KIH, kemarin.

Para pemimpin DPR mengabaikan asas musyawarah mufakat yang diusung KIH dalam penentuan pimpinan alat kelengkapan DPR. Demi tercapainya kese¬imbangan dalam DPR, KIH meminta menduduki 16 kursi pemimpin dari total 65 kursi pemimpin alat kelengkapan dewan. Jumlah sekitar seperempat kursi itu pun sebenarnya jumlah yang minim bagi koalisi partai pemenang pemilu. Namun, porsi minimalis itu tak disisihkan buat KIH oleh KMP. Kubu KMP hanya menjatah lima kursi, itu pun hanya untuk Fraksi PDIP.

Dari situ jelas, perjuangan bagi banyak anggota dewan kita sebatas perjuangan kelompok dan golongan. Perjuang¬an demi rakyat, yang selalu digembar-gemborkan para pemimpin partai mereka, hanyalah isapan jempol. Semangat persatuan dan rekonsiliasi pasca-Pilpres 2014 yang diperlihatkan dalam pertemuan-pertemuan para pemimpin mereka tidak sungguh-sungguh terjadi. Pihak yang kalah belum sepenuhnya menerima jabat tangan pemenang pemilu presiden.

Tidak mengherankan jika muncul anggapan bahwa ketika Prabowo Subianto menerima Jokowi, hal itu cuma ‘panggung depan’ yang artifisial. Di ‘panggung belakang’ yang lebih autentik, koalisi pendukung Prabowo tetap berupaya membalas kekalahan atas koalisi pendukung Jokowi. Di panggung depan mereka tak mau kalah pamor hendak tampil sebagai negarawan. Di panggung belakang, sulit untuk tidak mengatakan mereka tengah dahaga kekuasaan, Tidak ada yang salah pada KMP yang menguasai pimpinan parlemen. Tidak ada pula undang-undang yang dilanggar.  KMP justru berdalih cara yang mereka tempuh diatur Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Namun, ini bukan perkara salah atau benar. Ini persoalan baik-buruk, pantas-tidak pantas, etis-tidak etis. Pantaskah partai pemenang pemilu, koalisi pemenang pemilu, tak mendapat jatah proporsional di pimpinan lembaga legislatif? Etiskah cara-cara musyawarah dalam penentuan pimpinan parlemen ditinggalkan sama sekali? Demokrasi yang dihidupkan rakyat dengan susah payah telah dimatikan begitu saja dan diubah menjadi oligarki. Rakyat kian kehilangan respek. Jangan salahkan mereka jika banyak yang merasa tidak pernah diwakili, lalu diam-diam menyusun kekuatan sendiri untuk menghukum para ‘wakil semu’ itu dengan meninggalkan mereka.


Sumber:

__._,_.___

Posted by: Hery Dono <herydono@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar