Minggu, 03 November 2013

[Media_Nusantara] #PLURALISME: TINJAUAN AKADEMIS,BUKAN DOGMATIS

 

#PLURALISME: TINJAUAN AKADEMIS, BUKAN DOGMATIS

by: @Sahal_AS

Fatwa MUI haramkan "pluralisme:" faham semua agama itu sama, relativis. Dibedakan dgn pluralitas: fakta keragaman agama. Definisi MUI itu aneh. Scr istiah, pluralisme itu faham ttg kepluralan agama, bertolak dari fakta pluralitas agama. Jadi pluralisme bukannya faham yg akui semua agama sama (ini monisme dong). Tp justru sebaliknya: semua agama itu beda. Logikanya, krn pluralitas itu fakta, maka kita harus menerima dan mengakuinya. Tp bagaimana? Ttg pengertian pluralisme, sila simak Diane l. Eck, profesor studi agama di Harvard: http://t.co/uooRtKrBpu

Utk pahami pluralisme, kita mesti melihat 3 hal: konteks; konsep; implikasinya bagi kita/bagaimana menyikapinya. Konteks pluralisme tak lepas dari situasi pasca dunia ke-2: situasi pasca modern. Yakni kapok dgn pandangan-dunia tunggal yg jadi pusat acuan bersama dlm melihat kenyataan. Emoh thd meta-narasi. Kapok karena pandangan-dunia tunggal dlm sejarahnya timbulkan perang dan penaklukan.

Perang agama di Eropa, kolonialisme, dan Perang Dunia dianggap muncul karena adanya pandangan-dunia tunggal tsb. Lagiupla, dunia yg makin mengglobal membuat kita sering bertemu dgn liyan, dgn yg beda. Pertemuan dg yg beda tsb juga terjadi dlm wilayah agama. Gimana agar bisa tak saling menaklukkan, tp saling memahami? . Lagipula, masalah global tak bisa dipecahkan sendiri, harus kerjaama, termasuk antar pemeluk agama2 yg beda. Dlm konteks semacam itulah wacana pluralisme agama berkembang, terutama di dunia akademis.

Logika pluralisme: karena pluralitas itu fakta & masalah dunia tak bisa dipecahkan sendiri, maka mesti kerjasama dan saling memaham. Pluralisme agama lebih dulu rame di Kristen. Di Katholik trtm stlh Konsili Vatikan II (1962-1965) yg tegaskan inklusivisme. Pra Konsili II, Katholik masih meyakini doktrin extra exclesiam nulla salus (di luar gereja tak ada keselamatan). Tp Teolog Karl Rahner mengkritik doktrin yg eksklusivis tsb. Baginya keselamatan tak hanya dlm jalan Yesus, tp bisa di luarnya. Bagi Rahner, orang non-Kristen bisa dapat karunia Yesus tanpa harus jadi Kristen. Dia sebut "kristen anonim.'. Inklusivisme Rahner dianggap radikal, tp acuannya dlm menilai masih tetap Kristen. Pluralisme bergerak lebih jauh dari itu. Dgn menyebut non-Kristen yg dlm jalan kesalamatn sbg "Kristen anonim," Rahner abaikan tolok ukur si non-Kristen tsb". Krn Pluralisme justru meyakini tidak adanya tolok ukur tunggal. Masing2 agama punya tolok ukur sendiri, & hrs dinilai dari situ.

Bgmn secara konseptual kita memahami prinsip keragaman tolok ukur yg mendasari pluralisme?. Untuk menajwabnya, ada baiknya kita membaca John Hick, salah satu pencetus pemikiran pluralisme agama dlm dunia akademis. Pluralisme Hick bertolak dari Immanual Kant yg bedakan "kenyatan pd dirinya sendiri" dan "kenyataan yg kita pikirkan dan alami". Kenyataan pd dirinya sendiri" tak bisa diketahui. Yg kita tahu ttgnya sdh "diolah" oleh persepsi kita. Dan gak ada cara lain. Berdasar Kant, Hick meyebut Tuhan sbg "The Real", "kenyataan pd dirinya sendiri. Dlm bhs Islam, the Real= Al Haqq. Bgmn sejatinya "The Real" tak diketahui. Yg bisa diketahui: the Real sbgmn dipikirkan & dialami melalui pengalaan religious. Dlm level "Tuhan sbgmn kita pikirkan dan yakini" pluralisme agama. Ia terkait dgn paham manusia ttg Tuhan, bkn Tuhan itu sendir. Krn basisnya adlh "Tuhan sbgn diketahui dan diyakini", pluralisme menggeser sudut pandang, dari mata Tuhan ke mata manusia.

Bagi pluralis, klaim melihat agama dari mata Tuhan membawa kaum agama pd dominasi thd yg lain, secara ide maupun fisik. Itu gak cocok dgn tujuan utama pluralisme: kerjasama dan saling memahami antar pemeluk agama yg beda2. Bagi pluralis, keragaman agama mesti dilihat sbg keragaman tolok ukur, yg valid MENURUT pemeluknya masing2. Kata "menurut" dlm poin ini penting sekali. Di situ letak salahpahamnya pihak yg anggap pluralisme sbg semua agama benar. Pandangan "semua agama benar" itu justru bertabrakan dgn prinisp keragaman tolok ukur yg jadi dasar pluralisme.

Pluralisme itu kek olahraga. Ada sepakbola, voli, catur, dll. Semua disebut olahraga, tp masing2 punya "logika permainan" sendiri. "Kebenaran" dlm sepakbola berlaku mutlak utk pemainnya. Tp tak lantas ia bisa memakainya utk menilai kebenaran dlm catur. Begitu juga kebenaran dlm catur, mutak berlaku bagi pemainnya. Tp tak bisa dipakai utk menilai kebenaran sepakbola. dst. Masing2 bedasar tolak ukur kebenarannya sendiri2. dan pd saat yg sama, semuanya disebut olahraga.

Dlm pluralisme, Islam adlh agama paling benar mnrt pemeluknya. Tp pemeluk agama lain jg anggap agamanya paling benar. Dgn kata lain, aneh kalo pluralisme dianggap sbg relativisme yg merusak iman. Relativisme mengasumsikan adanya satu tolok ukur, sedang pluralisme justru bertolak dari keragaman tolok ukur. Saya bisa menjadi pluralis dan sekaligus muslim yg percaya islam mutlak benar, krn Islam itu hanya berlaku buat muslim. Orang Hindu bisa jadi pluralis sekaligus percaya Hindu adlh mutlak benar bagi dirinya, krn Hindu berlaku hanya buat orang Hindu.

Pengakuan keragaman tolok ukur agama2 ini memnkinkan energi kaum agama dipakai utk kerjasama mikirin urusan bersama. Pengakuan akan pluralisme juga bisa jadi sarana utk bersama2 peduli dgn isu2 kemanusiaan. Saya teringat Gus Dur. Gus Dur diakui sbg bapak pluralisme. Tp gak pernah tuh beliau merelativisir agamanya. Perhatian utama Gus Dur justru pd soal2 kemanusiaan yg menyangkut kepentingan semua pemeluk agama. 

Pluralisme Hick yg berfokus "Tuhan yg diketahui/diyakini manusia," sebenarnya juga berfokus pd manusia, hanya pd ranah filsafat. Sedang pluralisme Gus Dur berfokus pada tataran etik: bgmn agar setiap pemeluk agama apapaun dilihat/diperlakukan sbg manusia. Sbg manusia, hak2 setiap pemeluk agama setara, tanpa ada yg boleh didiskriminasi. Nah pembedaan antara "sama" dgn "setara" juga penting utk dicatat, karena sering disalahpahami. Salah kalo dibilang pluralisme = semua agama sama. Yg betul, pluralisme akui setiap pemeluk agama setara.

Hal lain, pluralisme adlh sebuah gagasan/faham. Gagasan bisa ditolak/diterima, tp aneh kalo dihukumi haram. Penolakan/penerimaan ide pluralisme mestinya diukur berdasar sahih/tidaknya dasar2 epistemologinya, dan argumennya. Sikap MUI thd pluralisme mestinya berdasar pd kajian2 ilmiah. Ulama kan sarjana, mestinya mengkaji, bukan menghakimi.  demikainlah kultwitku ttg pluralisme agama. SEKIAN. 

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar