Subsidi BBM Dikelola Asing > PENJAJAHAN BARU
masih segar dalam ingatan kita, rencana pemerintah beberapa bulan lalu untuk menaikkan harga BBM Bersubsidi. Alasan pada waktu itu adalah, karena naiknya harga minyak mentah dunia, sebagai bahan baku utama BBM. Gelombang kontra, baik berupa aksi damai hingga aksi anarkis, terjadi di seluruh pelosok negeri.
Saat itu muncul pertanyaan, kenapa negara penghasil minyak seperti Indonesia, ikut terpengaruh dengan kenaikan harga minyak mentah dunia? Dari berbagai diskusi di media, baik televisi dan media cetak, terungkap bahwa negara ini sudah bukan negara kaya minyak, bahkan sudah menjadi net importir minyak mentah dan produk BBM.
Yang lebih mengejutkan, terungkap fakta yang selama ini mungkin tidak banyak diketahui, bahwa produksi sektor hulu migas terus turun, dan lebih banyak dikuasai oleh swasta/asing. Pertamina yang kita anggap BUMN migas besar, hanya memproduksi sekitar 20% minyak mentah di Indonesia. Itupun bukan sebagai penghasil terbesar. Penghasil minyak mentah terbesar di Indonesia, ternyata adalah sebuah perusahaan asing, bersama dengan 80% minyak mentah yang bukan dihasilkan Pertamina. (http://www.bpmigas.go.id/blog/2012/0...-tahunan-2011/).
Namun tampaknya, Pemerintah tidak bisa, atau tidak mau belajar dari apa yang terjadi di sisi hulu bisnis minyak tersebut. Di sisi hilir, khususnya pemasaran BBM, sedikit demi sedikit pemerintah membuka peluang perusahaan asing untuk masuk. Ironisnya, selain di sektor BBM untuk industri, hal ini juga terjadi pada sektor BBM untuk masyarakat kecil.
Hal ini dibuktikan dengan diadakannya tender, untuk distribusi BBM Bersubsidi. Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas (BPH Migas), ada empat perusahaan berminat untuk tahun 2013 nanti, yakni PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN).
Yang mengejutkan, jumlah alokasi volume tender yang akan diberikan ke perusahaan swasta/asing pada tahun 2013, meningkat hingga 700% (tujuh kali lipat) dibandingkan alokasi tahun 2012. Berdasarkan informasi yang diperoleh, alokasi volume tender yang akan diberikan ke perusahaan non-Pertamina sebesar 1,1 juta kiloliter, atau 2,4% dari alokasi BBM subsidi tahun 2013 sebanyak 46 juta kiloliter. Padahal pada tahun 2012 hanya 160.000 kiloliter atau 0,4% dari 40 juta kiloliter (http://www.antaranews.com/berita/336...er-bbm-subsidi).
Jika keledai saja tidak pernah jatuh ke lubang yang sama dua kali, apakah yang dilakukan pemerintah tersebut bukannya lebih bodoh dari keledai?
Wajarlah jika beberapa ahli dan pengamat perminyakan menyatakan pemerintah harus membatalkan proses tender distribusi BBM bersubsidi tersebut. Menurut pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, pemerintah terlalu longgar memberikan kesempatan perusahaan asing mendistribusikan BBM subsidi.
Apalagi, ada dugaan bahwa BPH Migas selaku pemegang regulasi, tidak fair dalam pelaksanaan tender distribusi BBM Bersubsidi ini. Mulai dari memberikan pernyataan yang wewakili salah satu perusahaan asing, juga mendampingi perusahaan asing tersebut melakukan survey ke beberapa SPBU milik Pertamina (http://m.mediaindonesia.com/index.ph...r_BBM_Subsidi_).
Direktur BBM BPH Migas Djoko Siswanto menyatakan bahwa PT Shell Indonesia mengikuti tender penyaluran BBM bersubsidi khusus sepeda motor dengan mengikuti tender distribusi BBM bersubsidi untuk 2013. Bahkan beliau menceritakan kesuksesan perusahaan tersebut mengoperasikan SPBU khusus sepeda motor pertama di Indonesia sejak 20 Desember 2011. SPBU yang menjual BBM non subsidi yang disebut Shell Motor Express berlokasi di area Alfamidi Cikupa, Tangerang.
Di Jawa Timur, dua pegawai BPH Migas mendampingi staff PT Shell Indonesia untuk survey kandidat lokasi SPBU di sekitar Surabaya. Mereka meminta data omset penjualan BBM bersubsidi dan informasi lainnya ke pihak SPBU. Padahal seharusnya BPH Migas bersikap netral.
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, meminta paling tidak adanya persamaan perlakuan dalam distribusi BBM Bersubsidi ini . Menurutnya, jika pihak asing atau swasta ikut menyalurkan, lanjutnya, maka juga harus membangun infrastrukturnya. Tidak hanya depot penyimpanan BBM, tapi juga kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi produk BBM. Dia mencontohkan di negeri jiran Malaysia, perusahaan minyak yang masuk di sisi hilir diwajibkan membangun kilang.
Hal tersebut cukup beralasan, untuk mendukung kedaulatan energi di negara ini. Bayangkan, jika perusahaan swasta/asing tersebut hanya mengandalkan BBM import saja, maka Indonesia akan menjadi lebih bergantung pada negara pengekspor minyak. Sedikit saja terjadi ketidakharmonisan, atau sampai terjadi embargo, maka Indonesia bisa kembali ke jaman dimana kuda dan sapi masih menjadi alat transportasi utama.
Selain diwajibkan membangun kilang dan infrastruktur pendukungnya, menurut Komaidi, pemerintah juga tidak memberikan kuota BBM subsidi di wilayah Jawa kepada perusahaan swasta/asing. Menurutnya, perusahaan tersebut diberikan saja alokasi di daerah Indonesia bagian timur yang memang biaya pendistribusiannya lebih mahal.
Selain dari sisi fairness, Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara,juga melihatnya dari sisi nasionalisme.
Menurutnya pelaksanaan tender yang berjalan sejak 2008 itu cenderung dipaksakan. Selain meminta, pemerintah tidak bermain-main dengan urusan BBM subsidi yang terkait dengan kebutuhan utama rakyat, beliau berpendapat sebaiknya urusan BBM subsidi, diserahkan saja ke BUMN yang 100 persen sahamnya dimiliki negara
Hal senada disampaikan Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas), Eri Purnomohadi. Menurutnya, pemerintah harus memberikan keberpihakkan kepada BUMN. Ia juga mengatakan, selama ini, Pertamina sebagai BUMN bisa diperintahkan pemerintah untuk menjamin dan mengamankan pendistribusian BBM di seluruh pelosok negeri.
Eri melanjutkan, Pertamina sebagai BUMN selama ini mendistribusikan BBM subsidi dahulu, baru kemudian meminta pembayarannya. Pun saat kuota/alokasi BBM Bersubsidi habis, pemerintah bisa meminta BUMN untuk tetap menyalurkannya, walau anggaran subsidi belum dipastikan tersedia. Tentu perintah untuk hal-hal tersebut lebih sulit dipatuhi jika diberikan kepada pelaku asing, dimana pemerintah tidak memiliki saham terhadap hal tersebut.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, jelaslah bahwa pemberian Subsidi BBM melalui perusahaan swasta/asing adalah sesuatu yang pantas dihapuskan. Kalaupun ada keuntungan dari subsidi BBM yang dibayarkan, hal tersebut hanya akan dinikmati perusahaan swasta/asing, dan pemegang sahamnya di negaranya. Berbeda dengan BUMN, yang keuntungannya disetorkan ke negara, karena 100% sahamnya masih milik Indonesia. Jika memang selama ini ada kekurangan dalam pelaksanaan oleh BUMN tersebut, maka yang harus dilakukan adalah memperbaikinya.
Namun, tampaknya telinga pemerintah sudah benar-benar tertutup, dan tak peduli dengan masukan-masukan tersebut. Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng mengatakan, para pengamat yang mengkritik kebijakan tersebut tidak mengerti tentang industri hilir migas.
Saat itu muncul pertanyaan, kenapa negara penghasil minyak seperti Indonesia, ikut terpengaruh dengan kenaikan harga minyak mentah dunia? Dari berbagai diskusi di media, baik televisi dan media cetak, terungkap bahwa negara ini sudah bukan negara kaya minyak, bahkan sudah menjadi net importir minyak mentah dan produk BBM.
Yang lebih mengejutkan, terungkap fakta yang selama ini mungkin tidak banyak diketahui, bahwa produksi sektor hulu migas terus turun, dan lebih banyak dikuasai oleh swasta/asing. Pertamina yang kita anggap BUMN migas besar, hanya memproduksi sekitar 20% minyak mentah di Indonesia. Itupun bukan sebagai penghasil terbesar. Penghasil minyak mentah terbesar di Indonesia, ternyata adalah sebuah perusahaan asing, bersama dengan 80% minyak mentah yang bukan dihasilkan Pertamina. (http://www.bpmigas.go.id/blog/2012/0...-tahunan-2011/).
Namun tampaknya, Pemerintah tidak bisa, atau tidak mau belajar dari apa yang terjadi di sisi hulu bisnis minyak tersebut. Di sisi hilir, khususnya pemasaran BBM, sedikit demi sedikit pemerintah membuka peluang perusahaan asing untuk masuk. Ironisnya, selain di sektor BBM untuk industri, hal ini juga terjadi pada sektor BBM untuk masyarakat kecil.
Hal ini dibuktikan dengan diadakannya tender, untuk distribusi BBM Bersubsidi. Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas (BPH Migas), ada empat perusahaan berminat untuk tahun 2013 nanti, yakni PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), dan PT Surya Parna Niaga (SPN).
Yang mengejutkan, jumlah alokasi volume tender yang akan diberikan ke perusahaan swasta/asing pada tahun 2013, meningkat hingga 700% (tujuh kali lipat) dibandingkan alokasi tahun 2012. Berdasarkan informasi yang diperoleh, alokasi volume tender yang akan diberikan ke perusahaan non-Pertamina sebesar 1,1 juta kiloliter, atau 2,4% dari alokasi BBM subsidi tahun 2013 sebanyak 46 juta kiloliter. Padahal pada tahun 2012 hanya 160.000 kiloliter atau 0,4% dari 40 juta kiloliter (http://www.antaranews.com/berita/336...er-bbm-subsidi).
Jika keledai saja tidak pernah jatuh ke lubang yang sama dua kali, apakah yang dilakukan pemerintah tersebut bukannya lebih bodoh dari keledai?
Wajarlah jika beberapa ahli dan pengamat perminyakan menyatakan pemerintah harus membatalkan proses tender distribusi BBM bersubsidi tersebut. Menurut pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, pemerintah terlalu longgar memberikan kesempatan perusahaan asing mendistribusikan BBM subsidi.
Apalagi, ada dugaan bahwa BPH Migas selaku pemegang regulasi, tidak fair dalam pelaksanaan tender distribusi BBM Bersubsidi ini. Mulai dari memberikan pernyataan yang wewakili salah satu perusahaan asing, juga mendampingi perusahaan asing tersebut melakukan survey ke beberapa SPBU milik Pertamina (http://m.mediaindonesia.com/index.ph...r_BBM_Subsidi_).
Direktur BBM BPH Migas Djoko Siswanto menyatakan bahwa PT Shell Indonesia mengikuti tender penyaluran BBM bersubsidi khusus sepeda motor dengan mengikuti tender distribusi BBM bersubsidi untuk 2013. Bahkan beliau menceritakan kesuksesan perusahaan tersebut mengoperasikan SPBU khusus sepeda motor pertama di Indonesia sejak 20 Desember 2011. SPBU yang menjual BBM non subsidi yang disebut Shell Motor Express berlokasi di area Alfamidi Cikupa, Tangerang.
Di Jawa Timur, dua pegawai BPH Migas mendampingi staff PT Shell Indonesia untuk survey kandidat lokasi SPBU di sekitar Surabaya. Mereka meminta data omset penjualan BBM bersubsidi dan informasi lainnya ke pihak SPBU. Padahal seharusnya BPH Migas bersikap netral.
Pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, meminta paling tidak adanya persamaan perlakuan dalam distribusi BBM Bersubsidi ini . Menurutnya, jika pihak asing atau swasta ikut menyalurkan, lanjutnya, maka juga harus membangun infrastrukturnya. Tidak hanya depot penyimpanan BBM, tapi juga kilang untuk mengolah minyak mentah menjadi produk BBM. Dia mencontohkan di negeri jiran Malaysia, perusahaan minyak yang masuk di sisi hilir diwajibkan membangun kilang.
Hal tersebut cukup beralasan, untuk mendukung kedaulatan energi di negara ini. Bayangkan, jika perusahaan swasta/asing tersebut hanya mengandalkan BBM import saja, maka Indonesia akan menjadi lebih bergantung pada negara pengekspor minyak. Sedikit saja terjadi ketidakharmonisan, atau sampai terjadi embargo, maka Indonesia bisa kembali ke jaman dimana kuda dan sapi masih menjadi alat transportasi utama.
Selain diwajibkan membangun kilang dan infrastruktur pendukungnya, menurut Komaidi, pemerintah juga tidak memberikan kuota BBM subsidi di wilayah Jawa kepada perusahaan swasta/asing. Menurutnya, perusahaan tersebut diberikan saja alokasi di daerah Indonesia bagian timur yang memang biaya pendistribusiannya lebih mahal.
Selain dari sisi fairness, Direktur Eksekutif Indonesian Resourses Studies (Iress), Marwan Batubara,juga melihatnya dari sisi nasionalisme.
Menurutnya pelaksanaan tender yang berjalan sejak 2008 itu cenderung dipaksakan. Selain meminta, pemerintah tidak bermain-main dengan urusan BBM subsidi yang terkait dengan kebutuhan utama rakyat, beliau berpendapat sebaiknya urusan BBM subsidi, diserahkan saja ke BUMN yang 100 persen sahamnya dimiliki negara
Hal senada disampaikan Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas), Eri Purnomohadi. Menurutnya, pemerintah harus memberikan keberpihakkan kepada BUMN. Ia juga mengatakan, selama ini, Pertamina sebagai BUMN bisa diperintahkan pemerintah untuk menjamin dan mengamankan pendistribusian BBM di seluruh pelosok negeri.
Eri melanjutkan, Pertamina sebagai BUMN selama ini mendistribusikan BBM subsidi dahulu, baru kemudian meminta pembayarannya. Pun saat kuota/alokasi BBM Bersubsidi habis, pemerintah bisa meminta BUMN untuk tetap menyalurkannya, walau anggaran subsidi belum dipastikan tersedia. Tentu perintah untuk hal-hal tersebut lebih sulit dipatuhi jika diberikan kepada pelaku asing, dimana pemerintah tidak memiliki saham terhadap hal tersebut.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, jelaslah bahwa pemberian Subsidi BBM melalui perusahaan swasta/asing adalah sesuatu yang pantas dihapuskan. Kalaupun ada keuntungan dari subsidi BBM yang dibayarkan, hal tersebut hanya akan dinikmati perusahaan swasta/asing, dan pemegang sahamnya di negaranya. Berbeda dengan BUMN, yang keuntungannya disetorkan ke negara, karena 100% sahamnya masih milik Indonesia. Jika memang selama ini ada kekurangan dalam pelaksanaan oleh BUMN tersebut, maka yang harus dilakukan adalah memperbaikinya.
Namun, tampaknya telinga pemerintah sudah benar-benar tertutup, dan tak peduli dengan masukan-masukan tersebut. Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng mengatakan, para pengamat yang mengkritik kebijakan tersebut tidak mengerti tentang industri hilir migas.
"Mereka itu tidak mengerti, Kurtubi tuh nggak mengerti. Pri Agung dari Refominer juga nggak mengerti. Apalagi si Komaidi (Refominer) dan siapa lagi itu dari Hiswana Migas (pengusaha SPBU). Mereka tidak mengerti industri minyak di hilir," ujar Andy (http://finance.detik..com/read/2012/...-tahu?f9911033).
Sebagai penutup, mari kita belajar dari sejarah penjajahan di negara kita. Pada awalnya, para pendatang dari Eropa yang datang ke nusantara ini, hanya berniat untuk berdagang, khususnya komoditas pokok saat itu, yaitu rempah-rempah. Namun dalam perkembangannya, kemudian mereka menggunakan kekerasan untuk merebut lahan, dan melakukan penjajahan terhadap penduduk bangsa ini.
Jangan sampai kejadian tersebut terulang di masa sekarang, saat swasta/asing masuk dengan berdagang pada komoditas pokok seperti BBM, dan pada akhirnya Indonesia kehilangan kedaulatan energi, dan terjajah secara ekonomi.
Surabaya Kota Pahlawan, Gan. Di kota inilah, pejuang kita merobek bendera merah-putih-biru, menjadi Sang Saka Merah Putih. Di sini, Bung Tomo mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo melawan Sekutu stelah kemerdekaan.
Apa sekarang kita hanya tinggal diam???
__._,_.___
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar