Minggu, 08 November 2015

Ada Konspirasi Apa Dibalik Kriminalisasi Risma ?

Ada Konspirasi Apa Dibalik Kriminalisasi Risma ?
Hasil gambar untuk pasar turi
Sehubungan dengan kasus Risma mantan walikota Surabaya yang saat ini kembali maju sebagai calon walikota dalam pemilihan walikota Surabaya mendatang, yang dijadikan tersangka oleh polisi dalam hal ini Polda Jatim, WATAM - Warga Jatim Anti Mafia menyampaikan siaran pers sebagai berikut:

Pertama:
Mencuatnya kasus Risma ke media massa, membuat pihak polisi terpaksa melakukan SP3 (sebagaimana dijanjikan oleh Kapolri & Kapolda Jatim yang dinyatakan pada media massa).

Kedua:
Jika tidak mencuat ke media massa, dengan sudah dikirimnya SPDP oleh pihak Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, ada indikasi bahwa sebenarnya  oleh polisi kasus ini akan dilanjutkan dan atau nasib risma akan digantung/ disandera karena kasus ini masih dalam proses dan belum dihentikan penyidikannya. Entah sampai kapan nasib Risma akan digantung/ disandera atas kasus yang awalnya berasal dari laporan PT. GBP (Galaxi Bumi Perkasa) ini.

Jika tidak mencuat ke media massa, mungkin nasib Risma akan seperti Bambang DH (mantan walikota Surabaya, yang sekarang menjadi anggota DPRD Jatim).

Meski dalam kasus yang dituduhkan pada Bambang DH kurang alat bukti, sampai sekarang kasusnya masih dalam proses penyidikan dan tidak ada SP3, meski berkali2 diajukan oleh Polda Jatim ke Kejati agar disidangkan ke pengadilan Tipikor, akan tetapi berkali2 juga berkasnya dikembalikan oleh Kejati ke Polda Jatim karena berkas kasus tidak sempurna. Tapi dengan itu yang nasib Bambang DH sebagai tersangka digantung/disandera oleh Polda Jatim, dan menunggu pesanan lebih lanjut dari pihak yang mengkriminalisasikannya.

Ketiga:
Sebab, secara hukum, jika sebelumnya Kapolda Jatim dan Kapolri menyatakan kaget dengan kabar bahwa Risma dijadikan tersangka, dan menyatakan bahwa kasus ini sudah dihentikan penyidikannya, tentunya SPDP tidak dikirim oleh Polda Jatim ke Kejati Jatim.

Jika benar, sudah dihentikan penyidikannya, tentunya Polda Jatim sudah menerbitkan SP3 dan tidak perlu mengirim SPDP ke Kejati Jatim, karena masih dalam ranah kewenangan Polda Jatim.
Dengan sudah terlanjur dikirimnya SPDP dari Polda Jatim ke kejati Jatim, maka jika nantinya diterbitkan SP3, maka Kejati jatim harus dikirimi tembusan oleh Polda Jatim.

Keempat:
Pertanyaannya adalah, kenapa pihak polisi, dalam hal ini Polda Jatim, tampak sangat patuh pada perintah dari PT. GBP untuk mengkriminalisasi Risma dengan menjadikan masalah HTUN (Hukum Tata Usaha Negara)  menjadi masalah pidana yang diatur dalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana)?

Sebagaimana diberitakan media massa, PT GBP melaporkan ke Polda Jatim,  bahwa Risma telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai walikota, dengan membiarkan jalan umum dipakai sebagai tempat penampungan sementara para pedagang pasar turi yang belum bisa menempati kios di pasar turi  Surabaya.

Kelima:
Karena sebelumnya KaPolri & KaPolda Jatim menyatakan bahwa tidak benar bahwa Risma jadi tersangka dengan berbagai argumennya, untuk itu perlu dicari dan diperiksa, siapakah oknum polisi (yang juga memegang jabatan/wewenang) dari Polda Jatim, yang sangat taat dan lebih patuh pada PT GBP dibanding patuh pada atasannya.

Sehingga sampai dikirimnya SPDP dari Polda ke Kejati Jatim yang berkaitan dengan hal sangat sensitif dan menjelang pemilihan kepala daerah, ternyata KaPolda tidak mengetahuinya. Sehingga Kapolri & KaPolda tampak sebagai sosok orang yang bloon/bodoh dihadapan masyarakat, sehingga mereka dalam pernyataannya ke media menyatakan bahwa tidak benar Risma sebagai tersangka, dan silahkan tanya pada pihak Kejaksaan yang mengumumkan/ menetapkan Risma sebagai tersangka.

Keenam:
Perlunya dicari oknum polisi atau gerombolan oknum polisi ini karena, sebenarnya yang memberikan info pada para wartawan bahwa ada SPDP soal kasus Risma sebagai tersangka dari Polda ke Kejati , adalah dari oknum2 di Polda Jatim.

Dan info yang diberikan para oknum polisi pada wartawan adalah bahwa Risma sudah sebagai tersangka, akan tetapi kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejati Jatim. Maka selama berhari2 para wartawan mengejar2 pihak Kejati Jatim dan akhirnya keluarlah berita heboh itu .

Maka patut dipertanyakan, kenapa SPDP sudah dibuat pada bulan Mei oleh Polda Jatim, tapi baru dikirim oleh Polda  ke Kejati Jatim pada 30 September 2015, lalu dibocorkan ke wartawan oleh oknum2 polisi setelah SPDP diterima Kejati Jatim ?

Ketujuh:
Setelah melihat bantahan dari KaPolri & KaPolda, berarti tindakan oknum2 polisi  ini bisa diibaratkan sudah menusuk pimpinannya dari belakang dan mengadu-domba antar lembaga negara yakni Kepolisian vs kejaksaan, hanya gara2 mematuhi perintah dari PT GBP.

Untuk itu yang perlu dicari adalah, apa motif PT GBP mengkriminalisasi Risma dan dengan itu PT GIB bisa memerintahkan para gerombolan oknum polisi  di Polda Jatim untuk melakukan tindakan sewenang2 pada masyarakat. Dan tindakan para gerombolan oknm tadi bisa berakibat memburuknya hubungan antara lembaga negara dan mempermalukan para pimpinan lembaga negara, termasuk mempermalukan Kapolri & Kapolda Jatim?

Kedelapan:
Patut diduga, tindakan PT. GPB adalah untuk mengelak atau mengalihkan masalah korupsi atau penyerobotan asset negara yang dilakukan oleh PT GPB.

Karena beberapa waktu yang lalu, PT GPB pernah dilaporkan masyarakat ke Polda Jatim terkait pelanggaran yang dengan sengaja mereka lakukan yang berpotensi merupakan tindak pidana korupsi dan atau menyerobot/ menggelapkan asset negara.

Kesembilan:
laporan masyarakat/ pedagang pasar turi itu berawal dari PT GPB yang ingin perubahan status tanah Pasar Turi yang semula berupa hak pengelolaan lahan (hak pakai) menjadi strata title atau hak kepemilikan bersama.

Hal ini ditolak oleh Risma sebagai walikota Surabaya, karena pasar turi itu dibangun di atas tanah Pemerintah Kota. Dan pemerintah kota Surabaya sudah dapat surat legal opinion dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Mendagri. Semua sepakat tidak boleh strata title.

Sehingga pemerintah Kota tidak bisa mengabulkan keinginan PT GPB dengan alasan, nanti penyimpangannya secara hukum akan ada di pihak pemerintah kota Surabaya , karena pasar Turi kontraknya adalah BOT (build-operate-transfer).

Artinya, dengan skema BOT yang dimaksud Risma adalah,bahwa investor berhak mengelola selama 20 tahun, kemudian kepemilikan kembali ke Pemerintah Kota Surabaya.

Ini yang bertentangan dengan keinginan PT GPB yang ingin mencaplok lahan milik pemerintah kota Surabaya dengan cara halus, yakni dengan secara diam2 melakukan pembuatan sertifikat hak milik, pembuatan BPHTB dan menarik PPn 10% pada para pedagang pasar turi, seperti layaknya orang melakukan jual beli perumahan dan atau rumah susun.

Kesepuluh:
Dalam laporan masyarakat yang melaporkan PT GPB , mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan pihak PT GBP. Diantaranya, melakukan penggelapan dengan pembuatan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Padahal Pasar Turi bukan rumah susun, sehingga tidak bisa ditertbitkan sertifikat strata tittle. Kemudian, biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 5 persen, dan PPn 10 persen. Sementara sekitar 3.600 pedagang korban kebakaran Pasar Turi masing-masing dikenakan pembayaran Rp 34,9 juta.

Kesebelas:
Herannya, laporan masyarakat ke Polda Jatim, tentang pelanggaran yang dilakukan oleh PT GPB yang diduga menyerobot/menggelapkan asset milik negara, tidak ada kejelasan dalam pengusutannya meski alat bukti yang ada cukup memadai. Akan tetapi begitu PT GPB melaporkan walikota Surabaya, maka Polda Jjatim langsung bergerak cepat dan sesegera mungkin menaikkan status kasus ini dari penyelidikan menjadi penyidikan.

Keduabelas:
Hal lain yang dilaporkan masyarakat pada Polda Jatim adalah sangat terlambatnya proyek pembangunan pasar turi dan malah terkesan mangkrak. Selain itu pengerjaan pembangunan gedungnya sendiri banyak yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Padahal dalam proyek pasar turi Surabaya ini juga mendapat suntikan dari uang negara yakni dari APBD propinsi Jatim dan APBD kota Surabaya. Tentunya hal ini menimbulkan potensi terjadinya kerugian keuangan negara.

Lagi-lagi laporan masyarakat ini terkesan sangat diabaikan.

Ketigabelas:
Selain itu yang dilaporkan masyarakat pada aparat hukum di jawa Timur adalah, bahwa PT GBP menarik   PPn 10% dari para pedagang dalam transaksi sebagaimana tersebut pada point kesepuluh. Meski  bukti penarikan PPn sudah disampaikan pada apart hukum, sedangkan ternyata PPn yang ditarik dari pedagang itu tidak disetorkan pada kas negara, aparat hukum menoplak halus laporan tersebut dengan menyatakan bahwa urusan penggelapan pajak bukan urusan mereka. Itu adalah urusan kantor pajak.

Keempatbelas:
Malah yang paling mencolok adalah bahwa, ternyata kios di pasar turi, yang lahannya merupakan asset milik pemerintah kota Surabaya, oleh pihak tertentu telah dijadikan agunan kredit pada Bank BNI. Dan entah bagaimana pihak bank BNI berani mencairkan kredit dengan nilai fantastis diatas Rp. 100 milyar dengan agunan fiktif atau agunan bodong berupa kios pasar turi yang belum jadi dan merupakan asset milik pemerintah kota ini.

Padahal sebelumnya bagian kredit Bank Jatim saja tidak mau memberikan kredit dengan agunan fiktif itu.

Ini sangat kuat indikasinya, bahwa telah terjadi pembobolan bank  BUMN, karena bisa dipastikan kreditnya akan macet alias dengan sengaja dikemplang. Sebab jika kredit macet, maka yang akan disita oleh Bank BNI itu apa?

Artinya memang kuat adanya indikasi uang negara dirampok habis2an

Kelimabelas:
Beberapa hal diatas oleh Risma, telah dilaporkan ke aparat hukum, tapi mungkin negara  sangat tidak berdaya menghadapi para mafia yang menggerogoti dan merampok Republik Indonesia tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar