Interpelasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kepada SBY Salah Alamat
DPR mencapai kesepakatan bulat (aklamasi) untuk meng-interpelasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal Bantuan Likwkditas Bank Indonesia (BLBI).
Yang sangat aneh, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada SBY juga harus disepakati secara aklamasi. Apa mungkin pertanyaan-pertanyaan yang serius tentang masalah yang demikian ruwetnya merupakan kesepakatan bulat oleh seluruh fraksi, sedangkan banyak di antaranya fraksi pendukung SBY ?
Pertanyaan yang dapat diajukan seputar BLBI ada tiga macam.
Yang pertama tentang duduk persoalan atau keseluruhan hal ikhwal BLBI dan rentetan kebijakan sebagai akibat dari pengucuran BLBI secara besar-besaran.
Yang kedua, mengapa kebijakan-kebijakan yang begitu bodoh, begitu konyol, begitu tidak masuk akal serta begitu merugikan keuangan negara dalam skala raksasa bisa diberlakukan oleh para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya ?
Yang ketiga, apakah kesalahan-kesalahan fatal lainnya bisa terjadi di kemudian hari kalau orang-orang yang ikut mengambil keputusan atau ikut menyetujui serta mendukung pengambilan kebijakan yang sangat bodoh dan praktis telah membangkrutkan keuangan negara itu, sekarang duduk dalam pemerintahan ?
Marilah kita bahas seluruh permasalahannya dan kita perdebatkan sebelumnya, supaya interpelasi lebih terarah.
KRONOLOGI MALAPETAKA YANG DIMULAI DENGAN PAKTO
Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy memberlakukan Kebijakan Paket Oktober 1988 yang terkenal dengan nama Paket Oktober atau PAKTO. Isinya meliberalisasi dunia perbankan secara total dan spektakuler. Dengan modal disetor sebesar Rp.10 milyar orang boleh mendirikan bank umum.
Serta merta sekitar 200 bank baru lahir. Mayoritas pendiri adalah konglomerat yang menjadinya konglomerat melalui tipu muslihat seperti yang digambarkan oleh serial artikel saya dengan judul "Saya Bermimpi Jadi Konglomerat".
Mereka tidak mengerti fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan menjadi investasi yang produktif. Mereka juga tidak mengerti bahwa persyaratan pokok bekerjanya bank ialah prudence. Tetapi mereka pandai dalam bidang marketing.
Maka bank yang baru berdiri sangat berhasil dalam meyakinkan para penabung agar tidak menyimpan tabungannya di bawah bantal, tetapi disimpan di bank-bank mereka. Semua teknik marketing dipakai untuk menarik uang masyarakat. Mereka berhasil dengan gemilang.
Dengan modal disetor Rp. 10 milyar mereka dapat menghimpun dana trilyunan rupiah. Mereka terkejut. Mereka tidak paham sama sekali bahwa dana itu milik masyarakat. Mereka tidak paham bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis, resiko kredit macet besar, sehingga dibutuhkan mental kehati-hatian serta etika yang khusus.
Mereka mata gelap. Uang dipakai seenaknya sendiri untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri secara besar-besaran yang dipakai untuk membentuk konglomerat.
Maka kreditnya banyak yang macet di tangannya sendiri. Tetapi karena bank miliknya, maka dengan mudah laporan keuangan dapat direkayasa sampai terlihat bagus dan sehat.
Tahun 1997 Indonesia terkena krisis moneter yang parah. Maka Indonesia menggunakan haknya sebagai anggota minta bantuan dari IMF. Tidak terduga sebelumnya bahwa IMF lebih merusak dan menghancur leburkan keuangan negara.
Tahun 1997 Indonesia terkena krisis moneter yang parah. Maka Indonesia menggunakan haknya sebagai anggota minta bantuan dari IMF. Tidak terduga sebelumnya bahwa IMF lebih merusak dan menghancur leburkan keuangan negara.
PENUTUPAN BANK, RUSH DAN PENGHENTIANNYA DENGAN BLBI
IMF tidak berpikir panjang. Ketika mengetahui bahwa bank-bank sangat kropos karena disalah gunakan oleh pemiliknya sendiri, 16 bank yang paling parah ditutup mendadak. Pemilik uang yang mempercayakannya pada bank-bank yang ditutup itu tentu terkejut dan marah, karena laporan keuangan bank yang diiklankan sangat sehat.
Dua hari kemudian berturut-turut bank-bank lain yang tidak ditutup di-rush. IMF beserta menteri-menteri kroninya panik. Rush harus dihentikan dengan biaya berapa saja.
Dalam beberapa hari likwiditas yang dikeluarkan oleh BI untuk menghentikan rush sebesar Rp. 144 trilyun. Menurut BPK lebih dari 95,78% dari uang ini tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Setelah rush berhenti, penelitian meyakinkan bahwa pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI, karena dana milik masyarakat yang ditarik kembali dengan rush diinvestasikan pada perusahaan-perusahaan.
PELUNASAN BLBI DENGAN MENYERAHKAN KEPEMILIKAN BANK KEPADA PEMERINTAH
Maka BLBI dikonversi menjadi saham-saham. Serta merta Pemerintah mempunyai hampir 200 bank. Sebagai contoh, saldo utang BLBI oleh BCA kepada pemerintah sebesar Rp. 32 trilyun. BCA telah melakukan pembayaran cicilan sebesar Rp. 8 trilyun, sehingga sisanya Rp. 24 trilyun, yang tidak mampu dibayar oleh pemegang sahamnya BCA atau keluarga Salim. Pelunasan utang BLBI dibayar dengan 93 % saham-sahamnya BCA. Maka pemerintah memiliki 93 % BCA. (Pembayaran bunga juga telah dilakukan dengan tingkat suku bunga 70 % yang berlaku ketika itu sebesar Rp. 8,3 trilyun, tetapi jumlah ini tidak mengurangi jumlah pokok yang terutang).
Dengan demikian utang keluarga Salim dalam bentuk BLBI sudah dibayar lunas dengan kehilangan 97 % dari kepemilikannya di BCA. Jadi BLBI sudah selesai sampai di sini.
Kerugian negara dalam skala raksasa yang kemudian menjadi keresahan bukan BLBI, tetapi urusan lain lagi yang akan diuraikan selanjutnya.
PARA PEMEGANG SAHAM BANK YANG SUDAH MENJADI MILIK PEMERINTAH SEBAGAI PELUNASAN BLBI MASIH MEMPUNYAI UTANG DALAM JUMLAH YANG LEBIH BESAR, YANG PENYELESAIANNYA MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah mempunyai piutang dalam jumlah besar kepada perusahaan-perusahaan yang dimiliki mantan pemilik bank.
Seperti telah diuraikan tadi, selama berpuluh tahun, para pemilik bank memberi kredit kepada dirinya sendiri dalam jumlah sangat besar yang dipakainya untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
Ketika bank menjadi milik pemerintah karena dipakai sebagai pembayaran utang BLBI, dengan sendirinya bank qq. pemerintah qq. BPPN mempunyai tagihan kepada mantan pemilik bank tersebut.
Mantan pemilik bank tidak mempunyai uang tunai untuk membayarnya. Pemerintah minta supaya dibayar dengan perusahaan-perusahaan atau asset apa saja.
Pemilik bank mengambil kredit dari banknya sendiri dalam bentuk tunai, tetapi dibiarkan membayar dengan perusahaan-perusahaan dan asset apa saja, bahkan hanya tandatangannya saja.
Inilah yang menjadi awal malapetaka, karena menilai perusahaan bukan hal yang mudah dan eksak. Sangat tergantung dari berbagai macam asumsi dan sangat tergantung dari kondisi ekonomi pada umumnya yang berubah-ubah dalam perjalanan waktu, terutama karena kondisinya sedang dalam krisis.
Jadi biang keladi dari dirugikannya keuangan negara dalam jumlah yang luar biasa besarnya ialah kebijakan yang membiarkan utang tunai dibayar dengan asset. Penilaian asset sangat relatif sifatnya, dan realisasi nilai sangat tergantung dari waktu, situasi dan kondisi. Dalam menjual asset pemerintah justru memberlakukan yang salah semua, yaitu dijual paksa pada waktu yang salah, dalam kondisi dan situasi ekonomi yang sedang sangat terpuruk, tetapi dinilai dengan asumsi kondisi ekonomi sangat bagus. Bagaimana mungkin para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya bisa mengambil kebijakan yang begitu naifnya ? Karena mereka kroni yang membabi-buta nurut pada IMF, atau karena mereka tidak mengerti sama sekali kondisi nyata dan praktek dunia usaha ?
Kebetulan saya mengetahui bahwa Presiden ketika itu, Prof. BJ Habibie pernah ngotot bahwa utang uang harus dibayar dengan uang, tidak boleh dengan asset. Para konglomerat yang dikawal oleh menteri-menteri mengatakan bahwa nilai asset yang akan diserahkan sebagai pembayaran utang lebih besar dari jumlah utangnya. Presiden Habibie ketika itu menjawab : "Good for you, ambillah untungnya, Pemerintah mengurus negara, bukan mengurus ratusan perusahaan. Kalau tidak mampu membayar sekarang boleh diberikan tenggang waktu 3 tahun". Tetapi entah bagaimana proses selanjutnya, akhirnya pemerintah toh menerima pembayaran dengan asset.
Dan setelah asset dijual yang menghasilkan rata-rata hanya sekitar 15 % saja dari nilai yang diterima oleh pemerintah, pemerintah sendiri mempropagandakan bahwa recovery rate yang sekitar 15 % adalah sangat wajar di negara manapun di dunia yang terkena krisis. Teori ini tidak dapat dipahami dengan akal sehat, karena penjualan asset bisa ditunda sampai kondisi perekonomian membaik. Semua asset yang dijual dengan harga begitu murahnya sehingga recovery rate-nya hanya 15 % saja, sekarang harganya berlipat-lipat ganda.
MSAA, MRNIA DAN PKPS-APU
Perjanjian antara pemerintah dengan para mantan pemilik bank beragam, karena kondisi keuangan mereka juga beragam. Ada tiga pola, yaitu :
Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur/obligor yang mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.
Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai perusahaannya tidak cukup untuk membayar utangnya, dan kekurangannya harus dijamin pembayarannya dengan jaminan pribadi.
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham – Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU). Perjanjian ini dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktek perbankan yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan asset.
Tidak mungkin membahas problematiknya satu per satu karena menyangkut demikian banyaknya orang. Setiap orang mempunyai model penyelesaian tertentu yang khas. Tingkat kemauan baik dan itikad kerja samanya juga sangat berbeda. Dari yang langsung membayar tunai seluruh utangnya sampai yang langsung kabur ke luar negeri dan sampai sekarang menjadi buron.
Berbagai macam Obligor (yang punya utang kepada pemerintah berhubung dengan banknya yang mengalami kesulitan) dengan berbagai macam model upaya penyelesaian oleh BPPN adalah sebagai berikut : 5 dengan MSAA, 4 dengan MRNIA, 30 dengan PKPS-APU, 30 Obligor yang tidak menandatangani PKPS-APU yang pada umumnya kasusnya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum atau sedang dalam proses penyidikan, dan 5 dengan penyelesaian pembayaran tunai.
KERUGIAN NEGARA DALAM JUMLAH SANGAT BESAR
Ada dua macam kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar, yaitu :
1. Perusahaan atau kekayaan lain yang diserahkan oleh Obligor kepada pemerintah sebagai pembayaran utang mereka, hasil penjualannya jauh lebih kecil dari nilai utangnya. Selisihnya adalah kerugian negara yang setiap tahunnya mempengaruhi APBN. Fokus perhatian masyarakat hanya pada yang ini saja, yaitu mengapa pemerintah menerima asset sebagai pelunasan utang, tetapi pemerintah sendiri juga yang menjual dengan harga yang jauh lebih kecil dari nilai utangnya. Kejaksaan Agung baru sempat mendalami dua kasus besar, yaitu BCA dan BDNI. Kerugian negara memang besar, tetapi ada yang lebih besar lagi dan luput dari perhatian, yaitu :
2. Kerugian negara dalam bentuk Surat Utang Negara untuk merekapitalisasi bank-bank atau yang dikenal dengan Obligasi Rekap yang disingkat OR.
PENUTUP
Masalah BLBI sangat banyak komponen dan aspeknya. Tulisan ini merupakan yang pertama yang akan disusul dengan tulisan-tulisan lainnya yang merupakan serial. Rangkumannya sebagai berikut.
Asal muasalnya adalah liberalisasi total dan spektakuler dunia perbankan dengan Paket Oktober 1988 atau PAKTO yang langsung saja disalah gunakan oleh para konglomerat hitam.
Ketika terkena krisis, kerusakan bank yang dirong-rong oleh pemiliknya sendiri terkuak. IMF memberi nasihat-nasihat yang ngawur dan merusak. 16 bank ditutup, semua bank lainnya di-rush yang dipadamkan dengan BLBI.
BLBI telah dibayar lunas dengan menyerahkan kepemilikan banknya kepada pemerintah. Ada yang banknya sudah ludes, sehingga utangnya dijadikan satu dengan utang dari masalah lainnya, seperti kasus BDNI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah ternyata mempunyai tagihan dalam jumlah besar kepada para mantan pemiliknya, karena berpuluh tahun lamanya dirong-rong dengan memberikan kredit kepada dirinya sendiri. Utangnya ini dibayar dengan asset yang ketika dijual menghasilkan uang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah utangnya. Jumlah kerugian ini lebih besar dari BLBI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah tetapi rusak berat itu atas perintah IMF harus patuh pada ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang formulanya ditentukan oleh Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Bazel, Swiss. Caranya dengan direkapitalisasi dengan injeksi Surat Utang Negara (SUN) yang dikenal dengan istilah Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap atau "OR" saja. Jumlahnya lebih besar lagi dibandingkan dengan semua kerugian yang sudah dijelaskan. Data teknis beserta contoh-contoh kasusnya akan dibahas dalam artikel-artikel selanjutnya yang merupakan satu serial dengan gambaran lengkap dari malapetaka keuangan yang dimulai dengan pengucuran BLBI beserta rentetan kebijakan-kebijakan yang sangat konyol.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang 95,78 Persennya Disalah Gunakan
Masalah, atau lebih tepat malapetaka keuangan maha besar yang dikenal dengan istilah "BLBI" adalah sebuah rentetan kebijakan pemerintah yang praktis dipaksakan oleh IMF dalam menangani krisis moneter di tahun 1997, yang kemudian meluas sampai menjadi depresi ekonomi.
Gambaran menyeluruh secara garis besarnya (bird's eye view) diberikan oleh artikel sebelumnya. Tulisan ini merupakan tulisan kedua yang khusus membahas tentang BLBI.
BLBI ADALAH FUNGSI POKOK BANK SENTRAL
Fungsi yang paling pokok dari sebuah bank sentral adalah bertindak sebagai the bankers' bank atau lender of the last resort.
Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah uang keluarnya.
Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya plus/positif atau minus/negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal.
Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya "bank kalah kliring", atau bank dalam posisi negatif/minus.
Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.
Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.
Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat membayar kepada bank yang mempunyai piutang.
JAUH SEBELUM KRISIS BI MEMBERI BLBI BERULANG-ULANG
Karena salah satu fungsi pokoknya BI sebagai bank sentral yalah lender of the last resort, maka jauh sebelum krisis pemberian BLBI kepada dunia perbankan adalah hal yang rutin.
Namun yang menjadi sorotan oleh Kejaksaan Agung dan masyarakat adalah BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank yang terkena rush di tahun 1998.
Tidak banyak pembahasan tentang satu kasus yang sangat besar dan sangat bermasalah ini. Komisi XI DPR juga tidak menyentuh masalah ini ketika berdengar pendapat dengan 9 mantan Menteri Keuangan dan mantan Menko EKUIN beberapa waktu yang lalu.
BLBI BERMASALAH BESAR
Atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menerbitkan laporan audit investigasi bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Judulnya "LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)"
Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan "Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL)."
Saya kutip beberapa butir yang penting sebagai berikut.
"BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama."
"Dispensasi kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet untuk tetap mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam jangka waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam perkembangan selanjutnya dispensasi tersebut diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah maksimal."
"Dispensasi semacam itu sudah dilakukan oleh BI jauh sebelum krisis menimpa sistem perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop kliring."
Di halaman viii (Laporan Audit Investigasi) di bawah huruf C dengan judul "Potensi Kerugian Negara Dalam Penyaluran BLBI" ditulis "Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami menemukan berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari jumlah BLBI yang disalurkan pada tanggal tersebut."
Di halaman x diberikan perincian dari "jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk transaksi periode sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162 juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144.536.086 juta."
Perincian di halaman x tersebut adalah penyimpangan dalam penggunaan BLBI beserta jumlah uangnya sebagai berikut :
"BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi sebesar Rp. 46,088 milyar. Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis (G-3) sebesar Rp. 113,812 milyar. Untuk membayar kepada pihak terkait (G-4) sebesar Rp. 20, 367458 trilyun. Untuk transaksi surat berharga sebesar Rp. 136,902 milyar. Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan (G-6) sebesar Rp. 4,472831 trilyun. Untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss (G-7) sebesar Rp. 22,463004 trilyun. Untuk membiayai placement baru di PUAB (G-8) sebesar Rp. 9,822383 triliun. Untuk ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (G-9) sebesar Rp. 16,814646 trilyun. Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, penggantian sistem baru (G-10) sebesar Rp. 456,357 milyar. Untuk membiayai overhead bank umum (G-11) sebesar Rp. 87,144 milyar. Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk dalam G-1 s.d. G-11 (G-12) sebesar Rp. 10,061537 trilyun.
Dari sebagian penyimpangan ini saja bisa kita lihat betapa ngawurnya pimpinan BI ketika itu. Entah sekarang ini masih ada yang duduk dalam pimpinan atau tidak. Komentar yang paling tepat seperti yang sering dipakai oleh Opa Irama dalam Republik Mimpi, yalah "TER….LA….LU !!"
YANG HARUS DI-INTERPELASI SIAPA ?
Bank Indonesia independen, tidak ada urusan dengan Presiden, boss-nya BI adalah DPR. Boss-nya BPK juga DPR. Kok DPR meng-interpelasi SBY sebagai Presiden ? Jangan-jangan Gus Dur nanti berujar lagi bahwa DPR bagaikan Taman Kanak-Kanak.
Buat SBY sangat enak, tinggal meng-interpelasi balik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : "Ketika itu DPR sedang ngelamun apa ? Demikian juga BI ketika itu sedang ngelamun apa ? Dan apa tujuan anda kok sampai secara aklamasi mau meng-interpelasi saya, sedangkan saya yang terbengong-bengong tapi tidak bisa apa-apa, karena para pelakunya badan-badan yang independen, dan yang membuat independen DPR. Dasar Demokrasi yang Crazy".
BANYAK DATA DI BANYAK BANK PENERIMA BLBI DIRUSAK
Yang ini saya dengar dalam rapat-rapat resmi yang saya pimpin ketika saya menjabat sebagai Menko EKUIN. Rekan-rekan dari BPPN menceriterakan bahwa penyalah gunaan BLBI memang ada. Dan tidak saja ada, tapi brutal. Setelah nilep dana BLBI yang tidak dibayarkan kepada para deposannya, karena rush-nya jauh lebih kecil jumlahnya, mereka sadar betul bahwa cepat atau lambat pasti ketahuan. Maka data yang tersimpan di dalam CPU computer itu, tidak saja dihapus, tetapi Personal Computers (PC) yang banyak itu dijebol, kabelnya ditarik begitu saja seperti orang panik. Kantor-kantor bank ketika itu seperti baru digarong dengan perusakan. Saya hanya meneruskan saja apa yang saya dengar.
GEDUNG BANK INDONESIA TERBAKAR
Beberapa waktu kemudian ada yang berpikir bahwa BI menerima satu lembar copy dari semua transaksi. Maka gedung BI dan ruang yang menyimpan dokumen-dokumen tersebut terbakar. Setelah itu saya membaca di surat kabar bahwa POLRI menyimpulkan tidak mustahil kebakaran itu bukan kecelakaan, tetapi dibakar. Semua ini termuat di koran.
KOMISI IX DPR DAN KEMUNGKINAN ADANYA ALIRAN DANA
Tadi telah dikemukakan adanya laporan audit investigasi oleh BPK tentang BLBI.
Ketika laporan tersebut diserahkan kepada Komisi IX DPR, saya berfungsi sebagai anggota Komisi IX DPR. Maka dibentuk Panja untuk membahas laporan tersebut. Saya masuk sebagai anggota Panja.
Saya tidak banyak dilibatkan dalam rapat-rapat Panja yang mungkin juga dihadiri oleh para pejabat dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Rapat-rapatnya tidak di gedung DPR, tetapi di hotel-hotel.
Kesimpulan Panja mengejutkan saya. Seperti tadi telah saya kemukakan, menurut BPK sejumlah Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dikategorikan oleh BPK sebagai "berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian negara."
Oleh Panja disepakati bahwa BI hanya disuruh bertanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, karena kalau lebih dari ini BI-nya bangkrut. Mana ada bank sentral yang bangkrut ? Saya protes keras karena merasa DPR melecehkan dan memain-mainkan aparatnya sendiri, yaitu BPK. Kalau tidak percaya dengan BPK ya BPK-nya dibubarkan atau Ketua beserta staf intinya dipecat, tapi jangan dimain-mainkan begitu.
Akhirnya keputusan Panja tersebut diambangkan sampai Presidennya berganti dari Gus Dur ke Ibu Megawati. Menko Ekonominya, Prof. Dorodjatun minta advis kepada mantan Gubernur FED (Bank sentralnya AS) Paul Volcker. Advisnya dipakai dan diberlakukan, yaitu segala sesuatunya diselesaikan dengan secarik kertas dengan susunan kata-kata yang intinya Departemen Keuangan menjamin segala sesuatunya akan beres. Tentu rumusannya ilmiah, sophisticated, dan namanya Capital Maintenance Note. Saya punya kalau ada yang berminat.
Tentang kemungkinan adanya aliran dana dari BI kepada beberapa anggota Panja BLBI yang sampai menyimpulkan bahwa BI "digantung" dengan tanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, sampainya ke telinga saya hanya sebagai desas-desus. Tidak ada dokumennya.
Kesimpulan
Jadi kalau hanya mau bicara atau meng-interpelasi BLBI saja, ya itulah permasalahannya. Tetapi kalau DPR mau mengetahui kebijakan-kebijakan yang merupakan konsekwensi dari BLBI, bacalah artikel selanjutnya dalam serial KoranInternet ini.]
INTERPELASI BLBI KASUS BCA
Dalam penelitian atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung yang menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA, publikasi oleh media massa cukup intensif. Mungkin karena itu, para anggota DPR dalam interpelasinya nanti juga akan menyorot kasus BCA. Maka dalam serial artikel tentang BLBI, kasus BCA saya tulis secara khusus dalam satu artikel.
Rush dan BLBI
Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena rush. Untuk meredam rush BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya Rp. 32 trilyun.
Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan jumlah Rp. 8 trilyun, Rp. 13,28 trilyun dan Rp. 10,71 trilyun, atau seluruhnya Rp. 31,99 trilyun (dibulatkan menjadi Rp. 32 trilyun)
Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp. 8 trilyun dan pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 trilyun yang tingkat bunganya ketika itu sebesar 70 % per tahun.
Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja sebesar Rp. 8 trilyun yang mengurangi utangnya. Pembayaran bunga, walaupun sebesar Rp. 8,3 trilyun dengan tingkat bunga yang 70 % setahun ketika itu tidak dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99 trilyun. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8 % dari nilai saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun adalah utang urusan lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah "BLBI" sebagai istilah generik untuk segala permasalahan sangat keliru.
Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun
Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun. Ceriteranya sebagai berikut.
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik BCA keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun.
Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, utangnya keluarga Salim tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah menagihnya kepada keluarga Salim.
Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.
Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108 perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 trilyun adalah pemerintah sendiri. Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers. Kita membaca di media massa sangat terkemuka berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana yang dianggap sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehman Brothers bahkan menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp. 204 milyar.
Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108 perusahaan nilainya Rp. 53,204 trilyun, atau kelebihan Rp. 204 milyar dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris oleh pemerintah.
Selisih Penilaian
Penilaian dari 108 perusahaan yang semula Rp. 52,8 trilyun oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers kemudian dinilai oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dengan titik tolak penjualan "paksa" tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp. 20 trilyun saja. Titik tolak dan asumsi ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.
Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya laku dijual dengan nilai sekitar Rp. 20 trilyun saja.
Mengapa bisa terjadi selisih penilaian oleh Bahana, Danareksa, Lehman Brothers di satu pihak dan oleh Price Water House Coopers di lain pihak dijelaskan dalam sub judul tersendiri.
Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)
Karena sudah dianggap lunas, maka kepada SG diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) atau Release and Discharge (R&D). Presiden Megawati S. berani memberikannya karena sudah dilandasi oleh UU no. 25 tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR no. VIII/MPR/2000. Ketika digugat oleh Lembaga Bantuan Hukum, Mahkamah Agung mengalahkan penggugat. Maka lengkap dan kuatlah payung hukumnya Presiden Megawati.
Masalah Besar Karena Telat Mikir (TELMI)
Apa masalah besar yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ? Beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan tertinggi negara telat mikir (telmi). Setelah dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui dan membela penyelesaian seperti yang digambarkan di atas, sekarang marah, karena dampak ketidak adilannya luar biasa besarnya. Wong asset yang dinilai Rp. 52,6 trilyun ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun, sehingga keuangan negara dirugikan sebesar sekitar Rp. 32,7 trilyun.
Yang lucu, sebelum dijual PWC sudah ditugasi oleh Pemerintah untuk menilainya kembali dengan TOR yang berbeda. Jatuhnya sekitar Rp. 20 trilyun. Toh ini yang dijadikan acuan menjual, dan akhirnya memang hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun.
Jadi pemerintah menerima nilai asset sebesar Rp. 52,8 trilyun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, tetapi pemerintah juga yang bangga bisa menjualnya dengan nilai Rp. 20 trilyun. Bangganya karena bisa memperoleh recovery rate sekitar 34 %, sedangkan dari obligor lainnya rata-rata hanya memperoleh 15 % yang dianggap sangat normal oleh para teknokrat penguasa ekonominya Presiden Megawati.
Di Mana Letak Permasalahannya ?
Bahana, Dana Reksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi "Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal (normalised economic and political scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108 perusahaan itu sebagai going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.
Price Waterhouse Coopers (PWC) ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : "harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious). Jadi PWC ditugasi menilai 108 perusahaan itu dengan titik tolak dan asumsi liquidation value dalam lingkungan ekonomi makro yang para investornya ogah-ogahan melakukan investasi atau membeli 108 asset keluarga Salim.
Jadi ketika menerima 108 perusahaan sebagai pelunasan utang, pemerintah yang menilainya sebagai going concern. Tetapi ketika menjual, pemerintah sendiri juga yang menilainya dengan titik tolak dan asumsi liquidation value.
Menilai perusahaan memang sulit, merupakan sub disiplin ilmu tersendiri yang tidak dipahami oleh para teknokrat dan professor yang berteori bahwa kodok melompat-lompat dalam air, sedangkan kodok selalu berenang begitu menyentuh air.
Nilai perusahaan bisa didasarkan atas replacement value, discounted cash flow value, net present value, historical value, liquidation value dan entah apa lagi. Hasil dari berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.
Begitu nilai PWC keluar, kecuali satu orang, seluruh anggota kabinet Gotong Royong, KKSK ( Komite Kebijakan Sektor Keuangan ) dan BPPN setuju dijual dengan nilainya PWC. Menko Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh oleh Menteri Keuangan Boediono dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berujar dengan keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis memang harus menanggung kerugian besar. Biasanya harus rugi sekitar 85 % dari nilai asset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali rata-rata 15 % (yang disebut recovery rate). Maka ada yang menganggap Salim Group "pahlawan" karena recovery rate-nya sekitar 34 %.
Berani Melawan IMF ?
Bukankah IMF yang memerintahkan bahwa asset SG harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu ini diumumkan kepada dunia. Apa berani, wong kalau berani tidak patuh pada IMF Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia ?
Ya tidak berani, tapi kan bisa cerdik. Maka ada seorang menteri anggota KKSK yang mati-matian mengatakan bahwa dijual tidak melampaui batas waktu tertentu boleh, tetapi dengan tender terbuka, dan pemerintah menentukan harga minimum yang dirahasiakan. Harga ini dibuka bersama-sama dengan semua penawar BCA. Kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, oleh pemerintah penjualan dibatalkan, ditunggu 6 bulan. Setelah itu penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang sama. IMF-nya setuju. Tapi semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali satu orang) termasuk Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu setuju dengan penjualan model IMF yang obral tanpa harga minimum. Ketika itu SBY, JK dan Boediono para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang juga ikut mendukung semua kebijakan tersebut yang sekarang diramaikan oleh DPR. DPR sebelum ini juga mendukung sampai menghasilkan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan MPR-nya juga ikut-ikutan mendukung semangatnya dengan TAP MPR nomor VIII/MPR/2000.
Sudah begitu, Hubert Neiss, orang sangat penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF. Langsung saja menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura. Dan langsung saja disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan pembelian 51 % BCA dengan harga Rp. 5 trilyun, sedangkan BCA punya tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap. sebesar Rp. 60 trilyun.
Penjaja Mangga Di Pinggir Jalan
Penjualan BCA bisa diibaratkan penjaja mangga di pinggir jalan. Ada orang yang bernama Djadjang memasang papan yang berbunyi : "Mangga ini harus terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tanpa peduli dengan harga berapa lakunya." Penjaja mangga marah, papannya dihancurkan dan Djadjang dipukuli.
Ketika menjual BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi "BCA harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja." Apa yang terjadi ? Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada conflict of ineterst) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong memasang lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan huruf-huruf yang mencolok dan kontras,"
Karuan saja lakunya hanya Rp. Rp. 5 trilyun untuk 51 % atau dinilai hanya sekitar Rp. 10 trilyun untuk 100 %, tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun, dan BCA ketika dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp. 4 trilyun.
KERUGIAN MAHA BESAR AKIBAT KEBODOHAN DAN MENTAL BUDAK MAHA BESAR YANG LUPUT DARI PERHATIAN
Tadi telah diuraikan bahwa BCA menjadi milik pemerintah sebagai pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim. Artinya, pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 trilyun untuk membeli 92,8 % saham-saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus "disehatkan" dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp. 60 trilyun. Dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp. 4 trilyun. Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 trilyun (dibulatkan Rp. 88 trilyun).
Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp. 10 trilyun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp. 78 trilyun. Angka ini jauh lebih besar dari kerugian sebesar Rp. 33 trilyun sebagai selisih nilai 108 perusahaan yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan nilai realisasinya.
Yang sangat aneh, tidak ada yang berbicara tentang kerugian yang sangat konyol ini. Karena membudak pada IMF atau karena bodoh ?
INTERPELASI BLBI KASUS BDNI
Seperti BCA, masalah BLBI BDNI beserta keseluruhan rentetannya yang merugikan keuangan negara menjadi fokus penelitian atau penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Maka kasus BDNI saya sajikan dalam satu artikel tersendiri. Segala sesuatu yang tercantum dalam artikel ini berdasarkan angka-angka tahun 2002. Tidak jelas apakah setelah data dan angka yang tercantum dalam artikel ini ada pekembangan angka-angka yang baru.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia(BLBI)
Utang mantan pemilik BDNI Syamsul Nursalim (SN) dalam bentuk BLBI sebesar Rp. 30,9 trilyun.
Bagaimana cara penyelesaian BLBI ini tidak begitu jelas bagi saya. Sebagai perbandingan, dalam hal BCA, utang BLBI kelompok Salim dibayar dengan 93% dari pemilikan BCA.
Nampaknya modal ekuiti BDNI sudah negatif, sehingga tidak ada nilainya sama sekali. Maka utang BLBI menjadi bagian dari keseluruhan utang SN yang harus dilunasi.
MODAL EKUITI BDNI SUDAH NEGATIF
BPPN menerbitkan buku berjudul "Shareholders settlement. An outline of its concepts and objectives", tertanggal 3 Februari 2000
Di halaman 13 tercantum "Consolidated balance sheet of BDNI before and after adjustment based on Indonesian GAAP" dengan tanda bintang. Tanda bintangnya berarti ada catatan di bawah yang mengatakan "Source : ADDP Ernst and Young". Kepanjangan ADDP adalah Accepted Due Diligence Process dan kepanjangan GAAP adalah General Accepted Accounting Principle.
Jumlah asset yang unadjusted Rp. 33,572 trilyun. Dengan sebutan "GAAP adjustment" asset ini dikurangi dengan Rp. 27,994 trilyun, sehingga menurut Ernst and Young assetnya tinggal Rp. 5,578 trilyun.
Jumlah kewajibannya (liabilities) yang tercantum sebesar Rp. 32,275 trilyun dikoreksi dengan tambahan Rp. 15,882 trilyun, sehingga kewajibannya yang benar menurut Ernst and Young sebesar Rp. 48,157 trilyun.
Dengan demikian, menurut Ernst and Young Modal Ekuitinya negatif sebesar Rp. 42,579 trilyun.
Rekapitulasinya sebagai berikut :
(dalam trilyun rupiah)
(dalam trilyun rupiah)
• | Aktiva sebelum dikoreksi oleh Ernst & Young atas dasar GAAP | 33,572 | |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (27,994) | |
• | Aktiva setelah dikoreksi | 5,578 | |
• | Kewajiban sebelum dikoreksi | (32,275) | |
• | Koreksi sesuai dengan GAAP | (15,882) | |
• | Kewajiban setelah dikoreksi sesuai GAAP | (48,157) | |
• | Modal Ekuiti menjadi Negatif sebesar | (42,579) |
PENANGANAN BLBI
Karena Modal Ekuiti BDNI sudah lama negatif, maka BLBI tidak dapat dikonversi menjadi pemilikan seperti halnya dengan BCA.
Berbeda dengan BCA, status BDNI ialah Bank Beku Operasi (BBO). Karena itu tidak ada gunanya Pemerintah memilikinya melalui konversi BLBI ke dalam pemilikan saham-saham, karena BDNI sudah tidak akan beroperasi lagi.
Penyelesaiannya ialah menentukan utang SN seluruhnya kepada negara. Jumlah BLBI sepenuhnya diperhitungkan dengan keseluruhan kekayaan dan kewajiban BDNI, yang perinciannya sebagai berikut :
JUMLAH HUTANG SYAMSUL NURSALIM(SN)
(dalam trilyun rupiah)
(dalam trilyun rupiah)
Jumlah keseluruhan utang SN kepada Pemerintah sebesar Rp. 28,4 trilyun yang dirinci sebagai berikut :
• | BLBI | (30,9) | |
• | Deposito dan Pinjaman | (7,1) | |
• | Pinjaman kepada BI melalui Guarantee Scheme | (4,7) | |
• | LC dll. | (4,6) | |
Total Utang | (47,3) |
Jumlah aktiva BDNI yang dapat
digunakan untuk mengurangi utang
(dalam trilyun rupiah)
digunakan untuk mengurangi utang
(dalam trilyun rupiah)
• | Kas | 1,3 | |
• | Pinjaman kepada Petambak Udang (via PT Dipasena) | 4,8 | |
• | Aktiva Tetap dan Penyertaan | 4,6 | |
• | Pinjaman Pihak Ketiga dan Aktiva Lainnya | 8,2 | |
Total Aktiva yang dapat di-offset | 18,9 | ||
Jumlah Utang Neto | (28,4) |
PENYELESAIAN UTANG
Penyelesaian utang dilakukan dengan MSAA yang isinya sebagai berikut,
• | Dengan uang tunai sebesar | Rp. 1,0 trilyun |
• | Dengan Asset sebesar | Rp. 27,4 trilyun |
Asset tersebut terdiri dari perusahaan-perusahaan dengan nilai dalam juta US Dollar sebagai berikut.
• | 50,0% dari GT Petrochem | 344.100.000 |
• | 55,3% dari Filamindo Sakti | 87.000.000 |
• | 56,5% dari Sentra Sentetika | 52.700.000 |
• | 78,0% dari Gajah Tunggal | 176.300.000 |
• | 39,8% dari Meshindo Alloy | 14.800.000 |
• | 39,8% dari Langgeng Baja Pratama | 5.300.000 |
• | 99,9% dari Dipasena | 1.802.400.000 |
Jumlah | 2.482.600.000 |
Dihitung dengan kurs Rp. 11.075 per US $ =
Rp. 27,495 trilyun
Rp. 27,495 trilyun
Nilai tambak udang PT Dipasena sebesar US$ 1.802.400.000 sangat kontroversial. Nilai ini ditentukan oleh Credit Suisse First Boston.
Seperti yang saya tulis di Kompas tanggal 5 Oktober tahun 2000, ada penilaian oleh Price Waterhouse Coopers yang menyatakan nilai PT Dipasena NOL. Sebabnya karena kondisinya ketika itu tambak udang kosong dan beracun.
SKL (Release and Discharge)
Dalam tulisan saya tersebut juga disebutkan bahwa "di atas kop surat BPPN tanggal 25 Mei 1999 Pemerintah Indonesia memberikan Release and Discharge atas pelanggaran BMPK." Dokumen R&D ini ditandatangani oleh Kepala BPPN Farid Harjanto. Ini agak aneh, karena SKL diterbitkan sebelum Inpres no. 8 tahun 2002 yang diterbitkan oleh Presiden Megawati. Atas dasar Inpres ini Kepala BPPN menerbitkan SKL sekali lagi untuk Syamsul Nursalim.
SENGKETA DALAM PEMBAYARAN TUNAI SEBESAR Rp. 1 TRILYUN
SN merasa telah membayar tunai yang disyaratkan sebesar Rp. 1 trilyun dengan perincian sebagai berikut.
• | Pembayaran untuk OHS (US$ 154.950,13) | Rp. 1.262.843.559,50 |
• | Pembayaran untuk Nauta Dutilh (US$ 212.015,87) | Rp. 1.727.929.340,50 |
• | Pembayaran notaris dan pengacara (cadangan) | Rp. 500.000.000,00 |
• | Dana shareholder yang barada di BDNI (BBO) berupa deposito, tabungan dan Giro | Rp. 598.858.731.426,43 |
Total | Rp. 602.349.504.326,43 | |
Penyelesaian sisa settlement BDNI (final) | Rp. 500.000.000.000,00 | |
Kelebihan dana shareholder | Rp. 102.349.504.326,43 |
Dalam suratnya kepada BPPN tanggal 12 Juni 2000, SN menyatakan telah kelebihan membayar Rp. 172.963.477.615,23 sebagai hasil perincian yang tercantum dalam suratnya tersebut. Surat bersama ini saya lampirkan.
PENDIRIAN BPPN
Pada tanggal 16 Mei 2000 dengan judul "Kronologi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) BDNI", di halaman 4 dengan judul :
"Masalah Terkini" tercantum sebagai berikut.
"Masalah Terkini" tercantum sebagai berikut.
1. | Pembayaran tunai Rp. 1 trilyun belum diselesaikan | ||||||||
2. | SN belum menyerahkan saham GT, GTPI, dan DCD kepada TSI | ||||||||
3. | Saham-saham holdback asset belum diserahkan ke escrow | ||||||||
4. | Prekondisi lain yang belum dipenuhi :
|
MISPRESENTASI UTANG PETAMBAK UDANG
Data di bawah ini adalah rangkuman dari tulisan KKG di Kompas tanggal 14 Oktober 2000 dengan judul "Petani Udang Dipasena. Tidak Tahu Utang Menumpuk".
Ada dua hal penting dalam tulisan tersebut, yaitu :
1. | Komponen terbesar dari pembayaran oleh SN adalah PT Dipasena |
2. | Dalam rangka PT Dipasena, BPPN menganggap ada "mispresentasi" hutang petambak. |
Masalah dengan petambak udang dapat dirangkum sebegai berikut :
• | Petambak udang bekerja dalam bentuk Pola Inti Rakyat (PIR) sebagai plasma. Tetapi para petambak sama sekali tidak bebas, karena diikat dengan pemberian kredit kepadanya oleh BDNI yang milik SN. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | Kredit diberikan dalam US$ yang nilai rupiahnya berfluktuasi. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | Petambak tidak diberi pengertian yang jelas, sehingga terjadi demonstrasi berkali-kali dengan kericuhan sampai ada yang tewas. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | Harga beli dari petambak ditentukan sepihak oleh Dipasena, yaitu US$ 4,50 per kg., sedangkan ongkos produksinya US$ 7,5 | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | Kerugian ini tidak diberitahukan kepada petambak, tetapi dibukukan oleh Dipasena sebagai utang petambak kepada BDNI | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | Supaya petambak tenang, walaupun sistem PIR, kepada mereka diberikan gaji sebesar Rp. 650.000 yang (mungkin) diperhitungkan dengan harga belinya. BLUNDER DAN MALAPETAKA TERBESAR TERKAIT BLBI : O.R PENERBITAN SURAT UTANG PEMERINTAH SEJUMLAH RP. 430 TRILYUN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BUNGA SEBESAR RP. 600 TRILYUN Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25 % atau lebih baik harus dinaikkan sampai menjadi 8 % sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss. Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai 8%. Jumlah keseluruhan Rp. 430 trilyun. Surat utang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR). Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang menderita kerugian. Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama yalah meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal sampai 8 % sesuai dengan formula yang ditetapkan oleh BIS dengan sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank impas? Tidak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya bahas tersendiri. OR MEMBANGKRUTKAN KEUANGAN NEGARA Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600 trilyun. Maka pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR tersebut. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya OR ternyata tidak dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang? Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya? 3 staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul "Analisa Ekonomi". Yang ketiga dilarang terbit. Namun mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama pengirim "Kami yang peduli kepada bangsa ini". Saya gandakan dan bagikan kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat? Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya. Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030 trilyun, yaitu Rp. 430 trilyun utang pokok dan Rp. 600 trilyun bunga. Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun. Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp. 860 milyar per tahun selama 8 tahun. Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus menerus. Posisi utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan dengan jelas. Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang rata-rata 25 % dari APBN. JALAN PIKIRAN YANG KONYOL DALAM MENGEJAR SOLVENCY DAN RENTABILITAS SEKALIGUS Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8 % dengan sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah yang tidak berlebihan atau kekurangan ? Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis saja bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar biasa. Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8 %. Tingkat suku bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya bank tidak merugi atau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak "bleeding" lagi? Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang khusus merupakan pendapatan bunga dari OR. Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut. Kerugian Bank-Bank Rekap Bila Bunga O.R Dicabut (per 31 Desember 2002)
Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh kelebihan banyak kalau sekedar hanya dimaksud untuk menutup kerugian supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding. Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 trilyun. Kerugiannya Rp. 15,625 trilyun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp. 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam bentuk bunga OR. Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp. 5,192 trilyun. Tetapi injeksi OR sebesar Rp. 60 trilyun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592 trilyun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp. 3,4 trilyun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai sebesar Rp. 10 trilyun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri. KEKONYOLAN FORMULA MENGHITUNG KECUKUPAN MODAL DAN AKIBATNYA Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR bermacam-macam, dan karena itu, resikonya juga bermacam-macam. Caranya BIS menentukan resiko buat Indonesia sangat aneh. Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan resikonya dianggap 100 % tanpa peduli seberapapun bonafidnya perusahaan yang memperoleh kredit. Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut. Andaikan pada satu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 trilyun dan modal ekuitinya Rp. 100 milyar. Kalau dihitung, CAR-nya 8 %, yaitu Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 1,25 trilyun dikali 100 %. Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp. 5 trilyun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah, tetapi ATMR ketambahan Rp. 5 trilyun, sehingga perhitungan CAR menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun, yaitu ATMR lama sebesar Rp. 1,25 trilyun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp. 5 trilyun. CAR-nya menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun dikali 100 % atau 1,6 %. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time lag, sedangkan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat. Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena SBI dan sejenisnya dianggap resikonya nol, sehingga tidak menurunkan CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) setelah sekian lamanya tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat berat? Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik. Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah pro aktif memberikan angka-angkanya secara transparan. Yang memberatkan APBN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga minyak dunia ! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah. Yang benar kalau diperdebatkan apakah harga BBM di Indonesia tidak terlalu murah ? Ini sangat berlainan dengan mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak dunia, semakin besar pengeluaran tunai pemerintah! Pengeluaran pemerintah tidak ada, sebaliknya, tengok APBN. Semua pos migas kalau digabung menunjukkan angka surplus. Inilah nasibnya bangsa yang tidak merdeka lagi dalam berpikir ! LAGI-LAGI PIKIRAN YANG BENAR DAN BAIK TIDAK DIGUBRIS Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah sampai kapan. Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko EKUIN-nya. Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali oleh pemerintah tanpa membuat banknya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF. OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri kemeja satu orang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan keuangan negara. Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya. Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya. Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah : Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat. Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN entah sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan. Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak diugbris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara BI dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih? BANK-BANK DIJUAL DENGAN OR DI DALAMNYA Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing yang membelinya dengan harga murah. OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang. Contoh yang paling spetakuler adalah penjualan BCA dengan nilai Rp. 10 trilyun. Pembelinya memiliki BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk OR kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun. Sekarang setelah telat mikir sekitar 7 tahun, seperti halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA, yang sangat bisa dihindari |
__._,_.___
Posted by: Al Faqir Ilmi <alfaqirilmi@yahoo.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
.
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar