Senin, 30 Desember 2013

[Media_Nusantara] Refleksi Akhir Tahun Tentang Keserakahan di Jatim

 

Korupsi P2SEM, Kejahatan Keserakahan oleh Elite

Kamis (26/12) atau lima hari menjelang berakhirnya tahun 2013, ada nyanyian bernada protes atas ketidakadilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Jatim. Selain soal ketidakadilan, protes ini menyentuh tentang praktik keserakahan berebut dana APBD Provinsi Jatim tahun 2008 yang semestinya untuk orang miskin, dipakai bancaan elite di legislatif dan eksekutif. Nyanyian ini datang dari mantan Ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid. Elite PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)nya Gus Dur,ini terkesan kecewa kepada penegak hukum di Jatim yang dulu menyidik dan menuntut pelaku korupsi P2SEM. Sejak ia disidang dan ditahan selama empat tahun lebih, bahkan sampai keluar dari bui, dalang yang berada dibalik korupsi P2SEM, belum prnah tersentuh oleh hukum. Siapa dalang yang dimaksud Fathorrosyid?. Oleh karena itu, Fathor, panggilan akrabnya, kini membentuk tim Tim Ranjau Sembilan. Tim ini akan membongkar kasus P2SEM yang menggunakan dana APBD Provinsi Jatim sebesar Rp 277M miliar. Isyaratnya, bisa jadi kasus P2SEM yang terjadi ketika provinsi Jatim masih dipimpin oleh Gubernur Imam Oetomo, bakal seru. Akankah Imam Oetomo, Mayjen (Purn) TNI-AD yang kini menjadi Ketua PMI Jatim, akan disidik, ditahan dan diajukan ke pengadilan seperti mantan Pangdam V Brawijaya, Letjan (Purn) Djaja Suparman. Berikut tulisan pertamanya dari beberapa catatan akhir tahun 2013.
 
Saya termasuk warga negara Indonesia yang "bosan" membaca dan mendengar peristiwa dugaan tindak pidana korupsi. Bosan, bukan karena peristiwa korupsi sudah tidak menarik lagi. Tapi penangannya yang tidak pernah sampai tuntas ke akar-akarnya, terutama aktor intelektual. Paling tidak tindak pidana korupsi yang terjadi di provinsi Jawa Timur.
 
Sebagai jurnalis, saya bosan, karena setiap ada kasus korupsi yang menyangkut dana rakyat yang ada di APBD, terpidana yang telah dihukum, selalu bernyanyi dan dari staf atau eselon dua. Ada apa? Apakah aparat penegak hukum di Jatim lemah? Ataukah data-data yang dikumpulkan oleh aparat penegak hukum kurang lengkap? Ataukah kemampuan analisis penegak hukum dalam melakukan kajian hukum (gelar perkara), kurang jeli? Ataukah ada tangan-tangan tidak kelihatan (invisible hand) yang bermain mengendalikan penyidik dari jauh?
 
Kasus gratifikasi Rp 740 Juta di Pemkot Surabaya misalnya. Tersangka yang ditahan pertama kali adalah Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf, yang kebetulan juga dari PKB. Menyusul Sekda Pemkot dan eselon 1 di Pemkot Surabaya yaitu Soekamto Hadi, Mulkis dan Poerwanto. Sementara walikota Bambang DH, yang memberi kebijakan, malah belum tertangani. Beberapa kali diperiksa, Bambang masih dijadikan saksi. Setelah publik, terutama pers melakukan kontrol terhadap kinerja penyidik, Bambang baru ditetapkan sebagai tersangka. Reaksi pers itu setelah Musyafak Rouf menemui tokoh-tokoh pers di Surabaya untuk menyampaikan curhat atas ketidakadilan terhadap dirinya.
 
Saya mencatat nyanyian Fathor, kepada media massa dengan cara menggelar press conference di Restoran Halo Surabaya itu, layak diacungi jempol. Artinya Fathor masih sadar bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan yang independen dapat menyuarakan jeritan orang yang didholimin dan atau orang yang diberlakukan tidak adil.
 
Dalam skala yang obyektif, siapa saja, manusia sebagai mahluk sosial yang berakal sehat, pada saat diperlakukan tidak adil kadang menyisakan luka. Mengingat secara universial, soal keadilan adalah masalah yang hakiki buat semua umat manusia di dunia.
 
Dari hasil memantau denyut kehidupan pencari keadilan di Polda Jatim dan Pengadilan Negeri Surabaya, saya masih menangkap kesan bahwa hukum di Indonesia masih dapat di "beli". Maksudnya "dibeli" oleh mereka yang yang mempunyai kekuasaan, punya uang banyak dan punya akses ke makelar kasus dan atau langsung ke pejabat penegak hukum. Akhirnya, dari hasil bergulat dengan pelapor, terlapor dan pengacara yang ada di Surabaya, saya menangkap pengakuan secara informal bahwa karena hukum dapat di beli, maka masih aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Kasus Bethany misalnya. Penyidik Polda Jatim yang sudah menetapkan Pdt Yusak hadisiswanto, menantu bapak Bethany Pdt Abraham Alex, sebagai tersangka, tiba-tiba perkaranya tenggelam tanpa proses tindak lanjut.
 
Diluar kasus perkara saling lapor antara pendeta Bethany, masih ada perkara yang menjadi sorotan publik terkait diskriminasi hukum. Diantaranya kasus gratifikasi Rp 740 juta yang merupakan kebijakan Walikota Bambang DH dan kasus P2SEM senilai Rp 277 miliar yang didasarkan atas kebijakan Gubernur Jatim ketika itu, Imam Oetomo. Praktik diskriminatif seperti ini menurut saya tak ubahnya seperti dideskripsikan oleh Plato,ribuan tahun yang lalu. Saat itu Plato mengisyaratkan perlakuan yang diskriminatif di depan hukum tak ubahnya sebuah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat orang-orang yang lemah, tetapi akan robek jika menjerat mereka yang berdut dan memiliki kekuasaan untuk mengakses di kalangan petinggi hukum.
 
Menggunakan pola pikir jaring laba-laba, tidak ada yang keliru bila muncul hipotesis bahwa kasus P2SEM dapat dijadikan pintu masuk untuk menangkap koruptor kelas wahid seperti yang dilontarkan oleh Ketua Abraham Samad, pada acara seminar di Jakarta, pertengahan November 2013 yang lalu. Ketika itu, Ketua KPK itu melontarkan pernyataan yang mengejutkan bahwa ada koruptor besar di Jawa Timur yang sangat lihai, karena berlindung di balik aturan-aturan hukum yang berlaku.
 
Aturan hukum apa yang dipakai koruptor besar di Jatim. Apakah Perda P2SEM yang diusulkan Gubernur Imam Oetomo dan disetujui oleh DPRD yang ketika itu dijabat oleh Fathorrosyid, dapat dikatagorikan aturan hukum tingkat provinsi yang dipakai payung hukum menggerus dana APBD Jatim periode 2008, hingga dana sebesar Rp 277 miliar dipakai bancakan oknum legislatif dan eksekutif. Wait and see, sejauh mana pernyataan Ketua KPK Abraham Samad, memiliki kebenaran yang dapat dipercaya oleh publik.
 
Kalau menakar besaran dana sebesar Rp 277 miliar yang dirancang untuk memperbaiki ekonomi rakyat di Jawa Timur. Tetapi rancangan itu meleset dari goal awal, karena dana APBD itu dipakai bancaan oleh eksekutif dan legislatif dengan level elite, saya memastikan itu modus dari sebuah keserakahan oleh eksekutif dan legislatif di provinsi Jawa Timur. Tidak berlebihan bila tingkatan tindak pidana korupsi P2SEM bermotif keserakahan dan kerakusan dari elite-elite yang tahun 2008 menduduki posisi strategis di Pemprov Jatim dan DPRD Jatim.
 
Mendalami fakta-fakta hukum yang terungkap di Pengadilan Negeri Surabaya, tampaknya ada faktor internal sehingga timbul tindak pidana korupsi dari kebijakan Gubernur terkait dana P2SEM sebesar Rp 277 miliar.
 
Faktor internal di Pemprov dan DPRD Jatim dalam kasus P2SEM dapat terjadi, karena adanya dorongan dari diri individu-individu di Pemprov dan DPRD Jatim. Dari fakta hukum itu saya menyerap terhadap kualitas moral seseorang individu yang sebenarnya memiliki moral tinggi (Elite/pejabat Pemprov dan DPRD Jatim) yang seharusnya tidak perlu melakukan korupsi (karena gaji dan tunjangan menarik), tetapi kemudian korupsi. Pada sisi religius,aspak iman pejabat Pemprov dan DPRD Jatim yang diasumsikan goyah.
 
Secara matematika, saya bisa berhipotesis bahwa kini Fathor,mantan terpidana korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarat (P2SEM),mulai bermanuver. Bisa melakukan manuver politik sekaligus hukum. Hipotesisnya yang baru dijerumuskan ke bui,baru politikus PKB dan Partai Golkar. Sementara eksekutif yang merancang gagasan, bahkan satu pelarian adalah anak pejabat kesayangan mantan Gubernur Imam Oetomo, masih leha-leha diluar tanpa disentuh hukum. Kondisi yang demikian dapat saya katakan bahwa secara politisi, kasus P2SEM bakal makin seru seperti kasus gratifikasi di Pemkot Surabaya. Saya memprediksi, sejumlah elite kedua partai itu bisa tidak tinggal diam. Rumus politik balas dendam bisa terjadi. Bahkan politik sakit hati bisa muncul. Indikasi akan ada politik balas dendam dan sakit hati dapat kita cermati benang merah antara politikus dan penegak hukum di KPK. Pertama, roh pernyataan Ketua Umum Abraham Samad, dalam sebuah seminar di Jakarta, November 2013 yang lalu. Ketika itu,Abraham Samad melukiskan di Jatim ada tindak pidana korupsi besar,canggih dan sulit dilacak oleh KPK. Kedua, setelah pernyataan Ketua KPK menjadi polemik di pers, muncul pernyataan yang saling lempar tanggungjawab. Ini terjadi antara Abraham Samad dengan KH Hasyim Muzadi, karena Abraham yang diklarifikasi soal siapa figur koruptor besar di Jatim, menyuruh wartawan menemui KH Hasyim Muzadi. Sementara KH Hasyim Muzadi, melalui staf kepercayaannya, meminta wartawan bertanya ke Ketua KPK Abraham Samad. Ketiga, KH Hasyim Muzadi, tiba-tiba hadir dalam deklarasi "Pendholiman orang PKB" yang dimotori oleh mantan Ketua PKB Surabaya yang juga mantan Ketua DPRD Surabaya, Musyafak Rouf.
 
Kempat, dalam deklarasi di sebuah rumah makan jl. Bubutan itu Fathor dkk telah membentuk "Tim Ranjau Sembilan". Tim ini sudah mengantongi data-data terkait korupsi P2SEM, termasuk penerima aliran dana beserta rekeningnya. Selain itu, "Tim Ranjau Sembilan" juga sudah mengkolek beberapa fakta persidangan. Semuanya akan dibawa Fathor, ke KPK agar segera ditindaklanjuti. Bila Fathor benar-benar akan mewujudkan keinginannya, pernyataan Ketua KPK Abraham Samad, bisa dikatakan bukan isapan jempol.

P2SEM, Pejabat Rampok Hak Orang Mlarat

Saya tidak tahu maksud mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid, akan melaporkan pejabat Pemprov ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), terkait program P2SEM. Meski secara pribadi saya kenal dengan dia, tapi sejak ia ditetapkan tersangka kasus tindak pidana korupsi P2SEM, saya sudah tidak pernah bertemu.
 
Dari cara Fathor, panggilan akrab aktivis PKB, membuka kasus P2SEM pasca keluar dari tahanan, ada indikasi kuat, apa yang dilakukannya saat ini manuver politik. Indikasi ini saya cermati dengan caranya menuntut keadilan dengan membentuk "Tim Ranjau 09". Apakah pembentukan tim ini, ia akan meranjau sembilan pejabat pemprov dan anggota DPRD lain yang belum terjamah hukum seperti Fathor. Justru dari orang dekatnya, saya mendapat informasi bahwa Fathor, ingin menyeret beberapa pejabat Pemprov dan DPRD Jatim melalui KPK, bukan kepolisian atau kejaksaan. Sebagai warga negara yang politisi, tampaknya Fathor, tidak ikhlas yang diperiksa dan diadili dalam kasus P2SEM hanya dirinya dan beberapa orang saja.
 
Kepada pers, mantan Ketua DPRD Jatim ini mengatakan, Tim Ranjau 09 yang dipimpinnya, saat ini sedang mengolah data pelaku koruptor kelas wahid di Jatim. Kelak hasil pengolaan data "Tim Ranjau 09" akan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data dugaan tidak pidana korupsi yang akan dilaporkan ke KPK selain kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) senilai Rp 277 miliar, juga kasus lain seperti kasus fee Bank Jatim Rp 71,4 miliar untuk pejabat di provinsi Jatim. Fee ini disinyalir sarat dengan gratifikasi dan bancakan dana BUMD yang seharusnya masuk ke APBD, tetapi dibelokkan untuk fee pejabat. Selain kasus hapus buku kredit senilai Rp 410,1 miliar, yang separuh diantaranya tanpa agunan.
 
Saya tidak mengecilkan semangat Fathor, ingin menguak dugaan korupsi yang dilukiskan besar di Jatim. Paling tidak periode ketika ia masih menjadi ketua DPRD Jatim 2004-2009. Apakah ia bisa ketika melaporkan menyertakan dukungan alat bukti yang cukup. Artinya tidak cuma sekedar laporan kronologis kejadian dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh elite Pemprov dan DPRD era ketika ia masih memimpin legislatif di provinsi Jatim.
 
Saya perlu mengajak dialog dengan Fathor dan Tim Ranjau 09 melalui catatan hukum ini. Pertama, masalah menuduh orang, diperlukan pembuktian. Apalagi dalam dugaan tindak pidana korupsi. Jujur pembuktian sangkaan tindak pidana korupsi oleh penyidik mana pun, membutuhkan usaha ekstra keras.
 
Maklum, dalam proses pemeriksaan suatu perkara tidak pidana korupsi, pembuktiannya harus benar-benar dilakukan secara cermat. Mengapa? Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas, baik jaringannya maupun keluarga tersangka. Bahkan secara ekonomi dan sosial, korupsi dapat mengganggu pembangunan, selain menimbulkan kerugian negara. Untuk kasus P2SEM misalnya menyangkut program penanggulangan kemiskinan. Program bantuan sosial semacam ini,acapkali minim sosialisasi. Salah satunya, dananya "distop atau dimainkan" di kalangan elite yang sebenarnya sudah digaji cukup oleh negara. Akibatnya, kelompok rumah tangga yang menjadi target P2SEM, tidak tahu dan menyadari bahwa Pemprov Jatim memikirkan mereka.
 
Inilah salah satu bentuk keserakahan elite kita. Mereka sering berkoar-koar menyoroti program pengentasan kemiskinan yang selalu tidak tepat sasaran. Bahkan sejak Orde Baru, program pengentasan kemiskinan telah diselenggarakan oleh pemerintah dengan berbagai variasinya. Hasilnya, program-program mengentas kemiskinan yang didanai APBN dan APBD, sampai kini saya berani mengatakan tetap masih belum mampu memberikan sumbangan secara signifikan di dalam pengentasan kemiskinan.
 
Terbukti bahwa secara nasional, angka kemiskinan tersebut masih tinggi. Pada tahun 2008 (ketika P2SEM digiatkan oleh Gubernur Jatim Imam Utomo), orang miskin di Indonesia masih berkisar 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Setahun berikutnya (2009, saat Fathorrasjid ditahan), program pengentasan kemiskinan hanya menyumbang pengentasan kemiskinan sebanyak kira-kira 3 persen. Dari angka pengurangan kemiskinan kira-kira 3 persen tersebut, sebanyak 30 persen disumbangkan oleh Jawa Timur.
 
Melalui unit analisis Rumah Tangga Miskin (RTM) tahun 2009, sejak tahun itu di Jatim diputuskan ada tiga kelompok RTM, yaitu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Rumah Tangga Miskin (RTM) dan Rumah Tangga Hampir Miskin (RTHM). Secara keseluruhan, jumlah RTM di Jawa Timur tercatat 3.079.822 orang dan tersebar di 29 kabupaten dan 9 kota.
 
Dari angka tersebut, jumlah riilnya adalah RTHM (near poor) sebanyak 1.330.696 atau 43 persen, RTM (poor) sebanyak 1.256.122 atau 41 persen dan RTSM (very poor) sebanyak 493.004 atau 16 persen. Dari angka-angka yang mengerikan ini mengapa dana APBD Jatim tahun 2008 sebesar Rp 277 miliar untuk pengentasan kemiskinan. Apakah elite di Pemprov dan DPRD Jatim saat itu sudah demikian serakahnya, sampai jatah orang miskin dirampok secara berjamaah.
 
Perampokan dana P2SEM oleh pengambil kebijakan untuk pengentasan kemiskinan ini bukan praktik robin hood, tapi kejahatan orang kaya yang memakan jatah orang mlarat.
 
Jujur,melihat dana untuk orang miskin dari APBD sebesar Rp 277 miliar, akal sehat saya bilang inilah salah satubentuk akal-akalan pejabat yang sudah tidak punya nurani. Saya merenung apa yang ada di otaknya ketika itu, anggaran untuk wong mlarat diembat ramai-ramai. Apakah mereka sudah kelaparan, sehingga tega melalap haknya orang miskin. Atau apakah ini yang dinamakan orang kaya materi, tapi pada hakikatnya mereka adalah orang miskin. Atau wong pinter ngakali wong cilik karena otak dan hatinya serakah. Atau mereka adalah wong pinter sing licik dan serakah.
 
Mengkalkulasi jabatan yang dimiliki, kekuasaan yang digenggamnya dan materi yang telah ditimbun, saya bertemu dengan seorang ustadz. Saya menanyakan kualifikasi model apa perilaku elite semacam itu. Ustadz itu menyebut elite seperti itu telah dihinggapi keserakahan membagi-buta. Akibat keserakahannya, membuat elite-elite itu sulit bersyukur. Bahkan. Elite-elite itu bisa beranalogi mumpung masih menjabat, mengapa tidak menumpuk harta yang lebih besar, besar dan besar dengan akal-akalan menggunakan kekuasaan.
 
Keserakahan elite yang melalap hak orang kecil seperti yang terjadi dalam kasus P2SEM, dapat bercermin pada keserakahan yang dipraktikkan Fir'aun. Ketika masih hidup, Fir'aun memiliki kekuasaan, kedudukan dan kemegahan serta harta berlimpah ruah. Semuanya telah menyebabkan dia dibutakan hatinya, sehingga Fir'aun tega mengdzolimi masyarakat jelata ketika jamannya.
 
Oleh karena itu, dikalangan pemuka agama sudah diketahui bahwa orang serakah, meski berharta dan berkedudukan, hatinya tidak pernah tenang. Mereka selalu tidak puas. Bahkan orang serakah rela tenggelam dalam ambisinya sendiri. Atau mereka meski pernah berhaji dan berumroh beberapa kali, sering lalai bahwa Allah sangat tidak suka pada keserakahan. Allah mengajar kaya untuk berjalan (mensyukuri) dengan kecukupan dari-Nya. Bahkan jika ada kelimpahan, Allah meminta orang kaya beriman diwajibkan berbagi, sebab masih banyak orang yang membutuhkan bantuannya. Jadi secara ketahuidan, keserakahan dapat menyingkirkan kepekaan sosial dan kepedulian terhadap kepentingan dan kebutuhan sesama manusia yang melarat. Artinya, bisa jadi dalam pikiran elite-elite di tingkat provinsi dan DPRD mengartikan program pengentasan kemiskinan yang didanai APBD itu, ada rejeki orang miskin yang harus disunat buat mereka. Astagfirullah.
 
Harus saya garis-bawahi bahwa perampokan program penanggulangan kemiskinan seperti P2SEM, telah menciptakan penanggulangan orang kaya bertambah kaya dengan mengambil haknya orang miskin. Padahal selama ini upaya penanggulangan kemiskinan digembar-gemborkan oleh pejabat dan politisi perlu adanya sinergi dan kemitraan dari semua pihak. Inilah potret buruk kemitraan di Jatim dalam pengentasan kemiskinan era Gubernur Imam Utomo. Saya percaya era Gubernur Dr. Soekarwo, praktik pengentasan kemiskinan seperti P2SEM, tidak akan terulang, karena Pak De, panggilan Dr. Soekarwo, adalah anak petani yang berkarir dari bawah di pemerintahan

Menguak Persekawanan Fathor dan Imam Utomo Dalam Kasus P2SEM

Menjelang tutup tahun 2013 ini, provinsi Jawa Timur diguncang gejolak isu ada koruptor besar yang belum tertangkap. Isu itu bersumber dari keterangan Ketua KPK Abraham Samad, yang disampaikan dalam sebuah seminar di Jakarta, pertengahan November 2013. Satu bulan setelah keterangan Ketua KPK, mantan Ketua DPRD Provinsi Jatim Fathorrasjid, mengundang pers tentang kasus P2SEM yang dianggapnya belum menyeret otak atau actor intelektualnya. Keterangan Fathorrasjid ini makin membikin dag-dig-dog masyarakat Jatim, termasuk pejabat di Pemprov dan anggota DPRD Jatim. Keterangan antar dua orang ini terkesan seperti ada benang merahnya. Pertama, pernyataan Ketua KPK yang menyoal ada koruptor besar yang rapi di Jatim, tapi belum tersentuh oleh hukum. Kedua, Fathorrasjid menyatakan dirinya punya data adanya beberapa tindak pidana korupsi besar di provinsi Jatim periode 2004 - 2009, saat ia masih menjadi Ketua DPRD Jatim.
 
Dari benang merah ini telah ditemukan fakta hukum yang menunjukkan pada era kepimpinan Gubernur Jatim Imam Utomo (Imut) periode tahun 2004-2009, telah ditemukan dugaan perampokan APBD. Pertama, pada tahun 2008 dana yang dijadikan bancaan sebesar Rp 277 miliar. Dugaan perampokan itu dilakukan melalui program P2SEM. Kedua, bancakan dana keuntungan Bank Jatim sebesar Rp 71,4 miliar melalui modus fee pejabat. Dan ketiga, pada kurun Imut memimpin jabatan yang kedua, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan ada penghapusan buku kredit sebesar Rp 410 miliar, dimana separuhnya kredit tanpa agunan.
 
Dengan menggunakan akal sehat, saya bertanya seberapa seriuskah Fathorrasjid menindaklanjuti keterangan pers di sebuah rumah makan kawasan Bubutan Surabaya minggu yang lalu (26/12). Apakah gebrakannya dan gambaran bahwa Fathor telah membentuk "Tim Ranjau O9" benar-benar dilandasi niatnya untuk membongkar kasus dugaan korupsi besar di Jatim melalui KPK. Ataukah gebrakan pembentukan "Tim Ranjau O9" hanya move politik menjelang tutup tahun 2013. Ataukah gebrakannya itu hasil dari perenungannya selama menghuni LP Medaeng empat tahun, dimana ia merasakan masih banyak pelaku perampok dana APBD sebesar Rp 277 miliar yang belum terjangkau oleh aparat hukum Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
 
Dengan mencermati fakta-fakta hukum yang disampaikan Fathorrasjid yaitu baik kasus P2SEM, fee pejabat dari dana BUMD Bank Jatim maupun penghapusan buku kredit termasuk kredit tanpa agunan. Modus penghapusan buku kredit ini merugikan kuangan Bank Jatim yang dimodali oleh keuangan negara. Sebab kredit macet tidak otomatis bisa dihapus begitu saja. Apalagi ditemukan ada kredit puluhan miliar tanpa agunan.
 
Dengan fakta-fakta hukum seperti itu, maka unsur permulaan adanya delik tindak pidana korupsi di Jatim, telah terpenuhi. Pertama, tindak pidana pada tiga kasus itu, semuanya melibatkan penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya tiga kasus itu. Kedua, ketiga kasus ini telah mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Ketiga, ada keterangan dari Ketua KPK, sehingga pers lokal memblow up selain telah dijadikan perbincangan di kalangan masuarakat. Dan keempat, ketiga kasus itu semuanya menyangkut kerugian keuangan negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), baik dari APBD Jatim tahun 2008 maupun modal negara yang disetorkan ke Bank Jatim sebagai BUMD milik provinsi Jawa Timur.
 
Dengan temuan itu, tinggal Fathor dan Tim Ranjau O9 melengkapi pengaduannya (kalau Fathor memang berniat serius) dalam upaya menyeret elite di pemprov, anggota DPRD Jatim maupun Direksi Bank Jatim ke KPK Syarat yang diminta KPK untuk pengaduaan dugaan tindak pidana korupsi seperti ini, harus dilakukan secara tertulis. Kemudian Fathor wajib menyertakan identitasnya sbagai pelapor. Syarat lainnya, Fathor perlu menyiapkan kronologi dugaan tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti permulaan yang disesuaikan dngan nilai kerugian dan jenis korupsinya. Mengingat tiga kasus itu telah merugikan keuangan negara yaitu ada pemeriksaan dari BPK,baik perkara P2SEM maupun praktik aneh di Bank Jatim. Apalagi kabarnya Fathor, melalui "Tim Ranjau O9" telah melakukan investigasi.
 
Saya belum tahu apakah "Tim Ranjau O9" yang dipimpinnya juga telah melakukan audit investasi atas dokumen-dokumen yang ia milikinya.
 
Komisioner KPK sendiri menjanjikan kepada publik yang telah memberikan informasi maupun buktI-bukti terjadinya korupsi, ada jaminan kerahasiaan identitas pelapor.
 
Dalam hukum acara pidana, tidak ada ketentuan berapa lama laporan dari masyarakat itu ditindaklanjuti oleh KPK. Sebagai lembaga penegak hukum khusus pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK punya kiat sendiri menangani pengaduan dari masyarakat. Lama-tidaknya suatu laporan menjadi perkara ke tingkat penyidikan, sepenuhnya wewenang KPK. Mengingat setiap pengaduan yang disertai bukti permulaan yang cukup, menurut KUHAP dan komitmen dari para komisioner KPK, sudah bisa ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan serta penuntutan. Ini kelebihan KPK dibanding kepolisian. Dalam menseriusin kasus-kasus tindak pidana korupsi, KPK memiliki tim penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Menurut Pasal 5 KUHAP, tugas dan wewenang dari penyelidik manapun, baik Polri,Kejaksaan maupun KPK adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
 
Kemudian Pasal 1angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP"), penyelidik atas laporan/pengaduan masyarakat, akan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikannya, berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidik akan mencari serta mengumpulkan bukti yang dapat membuat terang tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Alat bukti yang dimaksudnya adalah alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah itu ada lima yaitu keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa.
 
Semua yang saya beberkan tersebut bagian dari proses pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Dalam praktik pembuktian tindak pidana korupsi memang memerlukan energi ekstra. Oleh karena, tindak pidana korupsi telah diidentifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jadi proses pembuktiannya juga harus dilakukan dengan luar biasa (extraordinary action). Artinya pembuktiannya harus benar-benar cermat dan perlu perhatian khusus. Karena korupsi mempunyai implikasi yang luas dan dapat mengganggu pembangunan serta menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Apalagi dalam kasus korupsi P2SEM.
 
Saya mencatat bahwa bentuk tindak pidana korupsi yang ditemukan oleh KPK, sekitar 60 persen adalah penyuapan. Pembuktian suap sulit. Mengingat, baik koruptor maupun calon koruptor, ketika menyuap atau menerima penyuapan, tak mau menggunakan tanda terima atau kuitansi. Jadi secara hukum, pembuktian suap-menyuap termasuk delik pidana yang cukup sulit. Itu sebabnya Undang-Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi melalui penyadapan dengan peralatan canggih.
 
Ketentuan lain yang mudah dijangkau oleh KPK adalah pasal-pasal sapujagat yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UUTPK (Undang undang Tindak Pidana Korupsi). Dalam pasal 2 harus ada unsur kesengajaan dari si terlapor atau pembuat. Adakah tersirat memperkaya diri, ketika Gubernur Imut mengusulan Perda S3SEM untuk melakukan tindak pidana korupsi secara berjamaah menggunakan payung Perda. Misal dalam kasus P2SEM, seberapa jauh penggagas atau pengusul P2SEM yaitu Gubernur Jatim Imam Utomo, berniat memperkara diri sendiri atau orang lain. Yang pasti orang lain itu termasuk Fathorrasjid.
 
Atau dalam kasus penanggulangan kemiskinan dengan kemasan P2SEM, kita ungkap sejauh mana Gubernur Imam Utomo mengajukan payung Perda P2SEM. Apakah pengajuan itu merupakan kesengajaan untuk mengelirukan pekerjaan adminsitratif tertentu yang berdampak pada kerugian negara. Nah disini,Fathor sebagai Ketua DPRD Jatim yang adalah partner Gubernur Imam Utomo, dapat disoal tentang kesengajaan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara. Bila Polda dan Kejati Jatim bisa membuktikan Fathor, melanggar Pasal 2 UUTPK, mengapa pengusul P2SEM untuk di- Perda-kan yaitu Gubernur Imam Utomo, tidak dipidanakan sekaligus sebagai persekawanan membobol APBD Jatim. Bahasa populer persekawanan dalam tindak pidana umum adalah komplotan yang bisa dijerat dengan pasal 55 KUHP.
 
Nah, porsi kualitas persekawanan dalam membobol APBD Jatim sebesar Rp 277 miliar melalui program P2SEM itu ada ditangan KPK. Sejauh mana KPK dengan laporan Fathor (kalau Fathor jadi melapor sungguhan) bisa membuktikan sifat melawan hukum dari mantan Gubernur Jatim Imam Utomo?. Akal budi dan kecerdasan penyidik dan komisioner KPK dipertaruhkan dalam analisis pembuktian ini. Salah satu kecerdasan penyidik adalah mencari alat bukti diluar hukum tertulis yaitu keterangan ahli dan petunjuk. Rumus melawan hukum tidak pidana korupsi, tidak sama pengertiannya dengan kesalahan administrasi yang biasanya dipakai pengacara untuk melakukan pembelaan dalam persidangan. Artinya, sifat terlarang yang bagaimana akan dibuktikan oleh KPK terhadap kasus P2SEM di Pemprov Jatim. Pembuktian kasus P2SEM tidak sama dengan tindak pidana Gratifikasi di Pemkot Surabaya.
 
Dengan demikian, salah satu yang bisa dianalisis adalah dalam surat ajuan gubernur ke DPRD Jatim. Redaksi surat ajuan itu bisa dipelajari menggunakan rumusan tindak pidana Pasal 2 dan 3 UUTPK. Dalam urusan pasal sapujagat ini KPK paham sekali. Maklum KPK memang hanya menangani satu tindak pidana saja yaitu tindak pidana korupsi.
 
Selama saya mengikuti persidangan kasus tindak pidana korupsi, unsur "sifat melawan hukum" korupsi selalu akan terjadi perbedaan pandangan dari penyidik dan jaksa dengan pengacara tersangka korupsi. Perbedaan itu,sejauh yang saya kaji seputar pandangan objektif dan yang subyektif. Dari sisi rumusannya, dikaitkan dengan filosifi pembentukan UUTPK, sifat melawan hukum Pasal 2 adalah objektif.
 
Dalam bahasa pembuktian tindak pidana, ada cara memandang sifat melawan hukum dari aspek materiil positif menggunakan pijakan azas legalitas. Dengan sudutpandang demikian, tidak salah bila setiap sifat melawan hukum materiil positif sama dengan tindak pidana (berdasarkan ukuran) materiil positif. Artinya tindak pidana korupsi bisa mengandung sifat tercela yang tidak mutlak harus bersumber pada UU semata. Tercela bisa diukur dari nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat.
 
Kasus P2SEM dari sudut sosial, menurut saya dapat dicegah bila Gubernur Imam Utomo, ketika itu , mau melakukan kontrol yang ketat,baik saat mengajukan rumusan Perda P2SEM maupun saat pelaksanaan pendistribusian dana untuk pengentasan kemiskinan. Mengingat esensi suatu manajemen yang benar, bukan terletak pada saat merencanakan penyusunan P2SEM,tapi kontrol terhadap pelaksanaan P2SEM. Mengingat P2SEM didanai duit rakyat yang terhimpun dalam APBD.
 
Akhir dari refleksi akhir tahun 2013 ini, saya mengajak semua pembaca yaitu ayo atau mari sama-sama menunggu pengaduan Fathor. Akankah ia dan "Tim Ranjau O9" benar-benar melaporkan kasus temuannya ke KPK atau keterangan persnya tgl 26 Desember hanya move politik. Tahapan berikutnya adalah bagaimana bentuk tindakan dari KPK manakala Fathor benar-benar melaporkan kasus P2SEM ke KPK. Apakah KPK bisa menangkap koruptor besar di Jatim yang diindikasikan rapi dan mampu menghilangkan jejak dari endusan KPK. Kita tunggu.

by Tatang Istiawan (tatangistiawan@gmail.com)

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar