Kamis, 22 Maret 2012

[Media_Nusantara] Kenaikan Harga BBM: Dari Ketidakadilan, Sampai Korupsi dan Retorika Palsu

 

Kenaikan Harga BBM: Dari Ketidakadilan, Sampai Korupsi dan Retorika Palsu

UNTUK pembenaran bagi rencana menaikkan harga BBM, Pemerintah menyampaikan sejumlah retorika 'demi kepentingan rakyat'. Katanya, yang menikmati subsidi BBM selama ini adalah orang-orang kaya pemilik mobil saja. Memang mayoritas rakyat Indonesia yang miskin, bukanlah pemilik-pemilik mobil. Tetapi kehidupan rakyat miskin itu juga memiliki ketergantungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kendaraan roda empat itu: Mulai dari sebagai alat transportasi saat bepergian mencari nafkah dan kesempatan hidup, pengangkut hasil produksi maupun kebutuhan pokok hidup sehari-hari, dan bahkan menjadi pekerja di sektor angkutan, sampai kepada bahan khayalan tentang nikmatnya hidup bila punya mobil sendiri atau paling kurang, 'kebahagiaan' bila punya sepeda motor (bagi kalangan menengah bawah). Menurut retorika itu, masa' kita mensubsidi demi kenikmatan orang kaya?

Maka, subsidi harus diperkecil, yang berarti harga jual BBM dinaikkan. Untuk memperkuat argumentasi tindakan menaikkan harga BBM itu, pemerintah –yang mungkin atau bahkan hampir bisa dipastikan akan disetujui DPR– juga mengajukan alasan kenaikan harga minyak dunia. Dulu, saat produksi minyak Indonesia di atas 1 juta barrel per hari, setiap kenaikan minyak dunia disambut pemerintah sebagai berkah. Kini, saat produksi minyak berkisar 900.000 barel atau kurang setiap hari, sementara konsumsi dalam negeri mencapai hampir 1,5 juta barel perhari, pemerintah menggambarkannya seolah-olah sebuah malapetaka. Memang malapetaka bagi rakyat banyak, tetapi rezeki besar bagi segelintir manusia –yang di belakangnya berdiri orang-orang dari kalangan kekuasaan– yang berkecimpung dalam urusan impor dan trading perminyakan. Sementara itu, bagi kalangan akar rumput yang telah melata di muka bumi Indonesia, setiap kenaikan harga BBM, berarti kenaikan biaya hidup di segala sektor. Seperti sekarang ini, saat berlangsung tarik ulur kenaikan harga BBM saja, harga-harga kebutuhan pokok sudah duluan melangit. Itulah yang namanya 'pertolongan' bagi rakyat. Soal janji bantuan langsung sementara bagi rakyat nantinya, kita lihat dan tunggu saja bagaimana bisa berguna setelah rakyat sudah lebih duluan dicekik.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tindakan menaikkan harga BBM adalah untuk menyelamatkan APBN. "Harga BBM disesuaikan untuk menyelamatkan perekonomian kita". SBY menepis kenaikan itu semata-mata untuk kepentingan finansial. Tetapi, apakah menaikkan harga BBM merupakan satu-satunya cara? Sejumlah ekonom maupun ahli perminyakan, seperti Dr Kwik Kian Gie dan M. Kurtubi, mengatakan "bukan". Ada banyak alternatif. Lebih-lebih para demonstran mahasiswa, para pekerja dan kelompok masyarakat lainnya, mereka mengatakan "tidak" kepada kenaikan harga BBM. Bukan hanya mengatakan tidak, tapi mahasiswa lebih jauh menyampaikan tuntutan agar SBY mundur. Maka sang Presiden lalu mengatakan,  "Kalau kita ikuti percaturan publik di media masa maupun di  ruang publik, isu ini sudah berkembang sangat politis dan sering jauh menyimpang dari  hakekat dan permasalahannya" (Cikeas, Minggu malam 8 Maret). Sebuah judul berita menyebutkan SBY minta Partai Demokrat pasang kuda-kuda. Betul saja, kader-kader partai itu kini makin 'galak' pada berbagai forum, tatkala menghadapi serangan kritik, meski tak semua terlihat mampu dan tak menguasai masalah-masalah ekonomi dan perminyakan terkait. Pada gilirannya, adu kata yang makin sengit, akan memicu meningkatnya temperatur gerakan para penentang.

INDONESIA saat ini memiliki 17 orang terkaya yang menurut Majalah Forbes termasuk dalam deretan orang terkaya di dunia dengan kekayaan 1 miliar dollar ke atas. Secara akumulatif, mereka memiliki total kekayaan setara Rp. 370,3 triliun. Sebuah data lain menyebutkan, bila dirunut lebih jauh, 250 orang terkaya di Indonesia –yang tak seluruhnya selalu terdeteksi oleh Forbes atau lembaga sejenis– bersama-sama diperkirakan memiliki kekayaan sekitar 4.000 triliun rupiah, yang berarti dua kali lebih besar dari GDP Indonesia menurut angka terbaru yang sebesar 1.931 triliun rupiah. Entah itu sudah termasuk kekayaan hasil korupsi, entah belum. Dalam hal membayar pajak, orang-orang kaya Indonesia itu dikenakan pajak 25 persen, lebih nikmat daripada orang kaya Amerika yang harus membayar pajak 35 persen, dan jauh lebih nikmat lagi dibandingkan hartawan di beberapa negara Eropa yang punya kewajiban membayar 40-60 persen pajak kepada negara.

Bila pemerintah menaikkan pajak terhadap orang kaya Indonesia untuk setahun ini, katakanlah 5 persen sehingga menjadi 30 persen, dari kelompok terkaya saja –urutan 1 hingga 250, atau sampai urutan 1000 yang memiliki kekayaan dengan skala triliun rupiah– akan bisa diperoleh setidaknya 200 triliun. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk menahan kenaikan harga BBM dalam setahun ini. Dengan memperoleh waktu setahun, di atas kertas, pemerintah antara lain bisa 'menunggu' harga minyak dunia turun lagi, dengan harapan ketegangan di Selat Hormuz bisa diredakan. Kalaupun tidak, dalam setahun, pemerintah berkesempatan pula membenahi ketidakberesan dalam pembelian minyak oleh Indonesia di pasar global. Selama ini pemerintah membeli minyak dari dan melalui trader. Dengan pembenahan itu, syukur-syukur pemerintah bisa menghilangkan para pemungut rente dari mata rantai jual-beli minyak itu, yang tidak bisa tidak pastilah melibatkan kalangan tertentu dalam kekuasaan. Lihat saja kasus PT Petral. Syukur-syukur pula bila pemerintah bisa makin mengurangi berbagai kebocoran tradisional uang negara selama ini, di berbagai sektor. Kalau sempat, benahi pula UU Pemilu yang sedang dalam proses perubahan, dalam konteks pengurangan politik uang dan biaya pemilihan umum yang mahal.

Bila diasumsikan, berdasarkan pengalaman empiris bahwa APBN kita mengalami kebocoran tradisional 20-30%, maka terdapat dana selamat sebesar 200 sampai 300 triliun rupiah. Lagi-lagi, ini bisa menghindarkan keharusan menaikkan harga BBM.

Dalam tempo setahun ini pula, pemerintah berkesempatan memperkuat upaya konversi energi konvensional ke energi gas dan sumber energi lainnya. Soal energi alternatif, Indonesia bisa mencontoh Brazilia. Dalam tempo beberapa tahun saja negara Amerika Selatan ini berhasil mengolah sumber energi bio-ethanol, sehingga kini malah bisa mengekspornya. Brazilia relatif aman untuk jangka panjang di tengah serba kemungkinan krisis energi dunia akibat krisis politik dan keamanan dunia yang sewaktu-waktu bisa meletus.

Sejelek-jeleknya situasi, Indonesia masih bisa berharap dalam pengembangan energi hidro seraya memperbaiki manajemen air, lebih mengembangkan energi panas bumi, energi surya ataupun bio energi. Ke depan secara global, negara-negara juga harus lebih serius mengatasi rantai kegagalan kelola dunia, akibat proses politik yang kalah cepat oleh proses ekonomi, sementara proses ekonomi itu sendiri kalah cepat oleh kemajuan teknologi. Lebih-lebih Indonesia, karena ketiga proses itu bukan saja tidak seimbang, tetapi juga serba mandeg. Kenapa Indonesia mandeg? Tak lain adalah karena kegagalan berlarut-larut dalam pemberantasan korupsi, untuk tidak mengatakan bahwa justru perilaku korupsi lah yang mengalami kemajuan dan terbukti selalu mengalahkan upaya pemberantasan itu sendiri.

PERTANYAANNYA sekarang, beranikah atau adakah keinginan pemerintah untuk menaikkan pajak bagi kaum kaya? Biasanya tidak, karena besarnya pengaruh kaum kaya dalam kekuasaan kini. Lebih gampang untuk mengorbankan rakyat. Kalau rakyat marah, hibur dengan bantuan langsung tunai atau apapun namanya. Kaum elite yang kritis? Selalu ada cara untuk membungkamnya, dari bujukan uang dan kedudukan hingga tekanan. Mahasiswa? Kalau tidak bisa dibujuk, lakukan tindakan represi. Pertanyaan berikut, bisakah pemerintah menertibkan impor dan trading perminyakan? Disangsikan, karena di dalam kegiatan itu tertanam kepentingan kelompok-kelompok kekuasaan dalam konteks keperluan pembiayaan politik kekuasaan seraya memperkaya diri sendiri. Bisakah pemerintah bersungguh-sungguh mengembangkan upaya dan inovasi bagi energi alternatif? Sejauh ini, kegiatan-kegiatan itu lebih bersifat retorika, karena kuatnya sifat serba instan di kalangan penentu kebijakan maupun pelaku pengendalian kehidupan bernegara. Retorika yang dilontarkan pun adalah sekedar retorika palsu. Jadi, bagaimana dan apa selanjutnya? Barangkali, terserah sejauh mana batas kesabaran rakyat saja.

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar