Rabu, 23 Oktober 2013

[Media_Nusantara] Terjadi Lagi, Keadilan Runtuh di Tangan Pengadilan

 

Terjadi Lagi, Keadilan Runtuh di Tangan Pengadilan

Aroma tidak sedap kembali tercium dari buruknya citra hukum di Indonesia. Di kota Makassar, Pengadilan Negeri berniat memaksakan eksekusi sebuah lahan, meskipun batas-batas tanah di lapangan sama sekali tidak sesuai dengan Gambar Situasi yang ada di dalam sertifikat penggugat yang memenangkan perkara.

Adalah Dra. Nony Meywati (Penggugat) mengklaim sebuah lahan seluas 5000 m2 di daerah Tamamaung, Makassar, sebagai hak miliknya. Berbekal sertifikat yang bahkan tak memiliki warkah tanah, Noni menggugat keabsahan sertifikat penduduk Tamamaung melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebuah usaha yang sia-sia, karena setelah mengadakan pemeriksaan di lapangan, Majelis Hakim PTUN menemukan fakta bahwa sertifikat Nony bermasalah, karena batas-batas di lapangan sama sekali tidak sesuai dengan batas-batas tanah yang ada pada Gambar Situasi sertifikat milik Nony.

Namun Nony tetap ngotot, meskipun fakta telah berbicara. Nony melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Usaha banding ini kembali mentah, karena Majelis Hakim PT-TUN melalui Pemeriksaan Setempat (PS) juga menemukan fakta yang sama.

Akhirnya Nony memutuskan untuk berganti haluan. Nony menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar, terkait masalah perdata. Di sinilah kejanggalan itu dimulai. Majelis Hakim PN Makassar begitu enggan untuk turun ke lapangan, memeriksa batas-batas lokasi yang digugat oleh Nony. Padahal menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001, Pemeriksaan Setempat (PS) dalam hal perdata mutlak harus dilakukan untuk menjamin objektifitas sebuah putusan. Kontroversi semakin merebak setelah dengan begitu banyak kejanggalan, Nony berhasil memenangkan perkara di pengadilan tingkat pertama tersebut.

Enggannya Majelis Hakim PN melakukan PS di lapangan ini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa mereka begitu enggan turun ke lapangan untuk menemukan fakta yang objektif? Bukankah menetapkan putusan berdasarkan fakta yang akurat dan objektif adalah kewajiban bagi setiap hakim?

Warga yang merasa terzhalimi dan terampas haknya tidak menerima begitu saja. Mereka menuntut banding pada Pengadilan Tinggi (PT) Makassar bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Namun setali tiga uang, Nony kembali memenangkan perkara, meskipun dengan sekelumit kontroversi. Bahkan Mahkamah Agung yang mengeluarkan surat edaran tentang PS itu sendiri turut membenarkan putusan Majelis Hakim PN yang sama sekali tidak melakukan PS di lapangan.

Di penghujung menjelang eksekusi, PN Makassar kembali berulah. Tanpa melalui proses Aanmaning, yang merupakan prosedur wajib sebelum sebuah eksekusi dilakukan, Ketua PN Makassar hendak memaksakan eksekusi dengan mengirim surat kepada pihak kepolisian untuk meminta bantuan pengamanan proses eksekusi. Padahal menurut pengakuan para warga tergugat, mereka belum pernah sekalipun mendapat panggilan resmi dari pengadilan perihal Aanmaning tersebut.

Saat ini warga Tamamaung mengaku masih terus berjuang mencari jalan untuk keadilan, di tengah perasaan depresi berat dan kecemasan karena teror eksekusi yang terus menghantui mereka. Namun jika aparat hukum sendiri telah menutup pintu untuk memberi keadilan, ke manakah mereka harus mencarinya?

__._,_.___
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar