Rabu, 14 Maret 2012

[Media_Nusantara] Wahabi, Menghalalkan Kekerasan Atas Nama Agama

 

Wahabi, Menghalalkan Kekerasan Atas Nama Agama

"Binatang buas tak membunuh demi kesenangan. Manusia satu-satunya yang memandang penyiksaan atas sesama ciptaan Tuhan sebagai hal yang menyenangkan", James Anthony Froude, Sejarahwan.

TIDAK masuk akal sehat, bila sekelompok orang yang mengatasnamakan "pemurnian" agama mengambil alih tugas aparat untuk menghukum kelompok lain sesama agama, hanya karena berbeda paham dengan mereka. Dengan beringas dan merasa benar, mereka menghancurkan rumah, rumah ibadah kelompok lain yang menurut mereka sesat. Pada hal, mayoritas masyarakat tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dalam sebuah wawancara di stasiun televisi swasta, Jenderal TNI (Purn) Dr. Ir. Drs. Abdullah Mahmud Hendropriyono SH, SE, MBA, MH, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), menyebut Wahabi terkait dengan rentetan pemboman yang terjadi di negeri ini (Politik.kompasiana.com, Jakarta, December 2009 14:59)

Pada kesempatan lain, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj, dalam acara bedah buku "Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama" yang digelar GP Ansor di Kampus Politeknik Batam, Minggu (5/2), menyatakan bahwa ajaran Salafi Wahabi yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi tidak cocok dengan tradisi dan budaya Islam di Indonesia. "Wahabi mengajarkan ektrimisme dan kekerasan. Ajaran ini selangkah menuju terorisme," kata Aqil. Menurutnya, Islam merupakan agama yang terintegrasi dengan tradisi dan budaya santun dan cinta damai. Sehingga Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, apalagi mengajarkan jalan jihad melalui aksi terorisme (Kaskus.us, Batam, Senin, 06 Februari 2012 , 01:31:00). Siapa Wahabi itu?

Dari pemurnian akidah menjadi gerakan sosial-politik

Menyebut Wahabi (Wahhabi), tidak bisa dilepaskan dari gerakan Salafiyah, kelompok yang memahami agama seperti halnya yang dipahami oleh generasi terdahulu (salaf as-shalih). Setelah Baghdad –pusat peradaban Islam– dihancur-leburkan bangsa Mongol pada 1258, dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, maupun moral. Kejahatan merajalela, penguasa tak berdaya, dan para ulama tak bisa berijtihad (berpendapat untuk menetapkan suatu fatwa) secara murni lagi. Pada pertengahan abad ke-13 M itu masyarakat Islam banyak yang menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, dan tokoh-tokoh tarekat untuk berharap berkah para anbia (nabi) dan aulia (wali). Kaum Muslimin pada era kemunduran itu cenderung meninggalkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mereka terjebak dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan) dan bid'ah (menyalahi ajaran yang benar), dan lebih percaya pada khurafat (menyeleweng dari akidah Islam) dan takhyul. Kondisi itu melahirkan sebuah gerakan yang dikenal dengan istilah Salafiyah.

Salafiyah, gerakan yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1328), penganut mazhab Hambali, berupaya untuk menghidupkan kembali ajaran kaum Salaf, generasi awal Islam, dengan tujuan agar umat Islam kembali kepada ajaran Al Qur'an dan hadis (al-ruju' ila al Kitab wa al-Sunnah), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar, dan segala bid'ah yang terselip di dalamnya. Ibnu Taimiyah berpendapat, tiga generasi awal Islam yang biasa disebut sebagai kaum Salaf, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat Nabi, kemudian tabi'in (generasi yang mengenal langsung para sahabat Nabi), dan tabi'ut (generasi yang mengenal langsung para tabi'in), adalah contoh terbaik untuk kehidupan Islam (Islam Digest Republika, 17 Juli 2011).

Dalam perkembangannya, gerakan tersebut dikenal juga sebagai gerakan tajdid (pembaruan) yang sebenarnya merupakan watak dari ajaran Islam. Selain memelihara ajaran Islam yang utuh, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, tajdid  juga memecahkan masalah baru yang selalu muncul dalam masyarakat Islam sebagai akibat perkembangan zaman. Doktrin yang menonjol dari gerakan Salafiyah, antara lain, pintu ijtihad selalu terbuka sepanjang masa, taklid (ikut-ikutan tanpa mengetahui sumber hukumnya) diharamkan, serta diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa. Karena itu, kaum Salafi yang benci terhadap bid'ah pun menghindar dari perdebatan yang tak berujung, seperti memperdebatkan masalah akidah.

Namun, usaha yang dilakukan para ulama untuk menindak tegas segala praktik menyimpang dari kemurnian Islam itu dengan cara santun, seakan-akan hilang ditelan arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang. Sampai dengan dimasukinya abad ke-19 M pun tidak banyak perubahan yang terjadi, dunia Islam benar-benar terpuruk dan terjebak pada taklid buta, dan mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, baik pendidikan, sosial, politik, maupun budaya. Hampir seluruh dunia Islam berada dalam cengkeraman penjajah. Saat itu, muncul tokoh baru yang menghidupkan dan mendirikan Salafiyah modern yang berbeda dengan era Salafiyah klasik. "Salafiyah modern intinya bersifat intelektual dan modernis, serta tujuannya lebih beragam", tulis John L Esposito, guru besar untuk bidang Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern. Gerakan tajdid baru untuk mengembaikan Islam pada bentuk murninya, dan mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik Islam yang dirintis oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) ini pun segera menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Gerakan Salafiyah yang paling sukses secara politik adalah gerakan Islam militan yang dikenal sebagai Wahabi, didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ibnu Sulaiman at-Tamimi (1703-1791). Di sebuah dusun terpencil bernama Di'riyyah, Najd (Nejed), Jazirah Arab, Abdul Wahab mencetuskan sebuah paham yang mengakui pengikut ahl as-Salaf, oleh pengikutnya diberi nama al-Muslimun, atau disebut juga al-Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah SWT. Namun, paham tersebut lebih dikenal sebagai Wahabi, istilah yang diberikan oleh musuh-musuhnya yang melihat adanya perbedaan cara yang jelas dengan Salafiyah.

Menurut Abdullah Mohammad Sindi, seorang profesor Hubungan Internasional berkebangsaan Saudi-Amerika, dalam artikelnya 'Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud', pemerintah Inggris turut andil dalam membidani gerakan Wahabi tersebut, dengan tujuan menghancurkan kekuatan Islam dari dalam, dan meruntuhkan Daulah Turki Ustmaniyah (Ottoman), yang waktu itu menjadi pemimpin negara-negara Islam. Prof Sindi merujuk 'Hempher: The British Spy to the Middle East', buku memoar Hempher, seorang anggota dinas rahasia Inggris yang berhasil menyusup menjadi mentor Abdul Wahab dalam ideologi dan strategi perjuangan. Untuk memudahkan tugasnya, Hempher berpura-pura menjadi seorang mualaf dengan nama Muhammad. Selama penugasan, sebagaimana yang diceritakan, Hempher pernah berdiam di Basrah, Irak, dan di situ pada tahun 1125 H ia bertemu dan bersahabat dengan Abdul Wahhab. Sejak saat itu, mereka berdua diceritakan pula menjalin persahabatan yang dekat.

Hempher mendekati Abdul Wahab dalam waktu yang relatif lama, memberinya saran, dana untuk pergerakan dan hadiah-hadiah lain yang menarik. Dengan cara yang licik ia berhasil mencuci otak Abdul Wahab, meyakinkan bahwa orang-orang Islam yang sesat mesti dibunuh, karena telah melakukan penyimpangan yang berbahaya. Karena melakukan perbuatan-perbuatan bid'ah dan syirik, mereka dianggap telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, dan satu-satunya cara adalah memperbaikinya dengan "tangan" (yad) atau kekuatan. Abdul Wahab yang terobsesi dan merasa bertanggung jawab untuk memurnikan dan mereformasi Islam, membentuk sebuah aliran baru untuk menyerang dan memberantas semua kebiasaan buruk yang ada dalam masyarakat Arab waktu itu. Hempher pun berhasil membujuk Syeikh Dir'iyyah, Muhammad bin Sa'ud, penguasa Di'riyyah, untuk mendukung gerakan Abdul-Wahhab.

TAHUN 1744, aliran Wahabi berubah menjadi sebuah gerakan sosial-politik, setelah bersekutu dengan penguasa Di'riyyah tersebut, dan mulai menyerang daerah sekitarnya dengan alasan memurnikan ajaran Islam. Di bawah pimpinan Abdul Azis bin Muhammad Al Sa'ud, pengganti Ibnu Saud yang wafat 1765, gerakan Wahabi berhasil menguasai Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada tahun 1792. Kemudian, tahun 1797 menyerbu Teluk Persia, Oman, Qatar, dan Bahrain. Setelah itu, dilanjutkan menyerbu Thaif, Karbala, dan menghancurkan makam Husain (cucu Nabi SAW), Fatimah (putri Nabi SAW), dan imam-imam Syiah. Dan, tahun 1803 menyerang Makkah, merusak kiswah sutra penutup Ka'bah. Tahun 1804 menyerang Madinah, menghancurkan makam-makam para sahabat dan para syuhada (pahlawan) perang Badar dan Uhud, merusak hiasan-hiasan yang ada pada makam Nabi Muhammad SAW. Bahkan, jika saja pemerintah Turki tidak mencegahnya dengan kekerasan pula, makam Nabi SAW pun nyaris rata dengan tanah (Islam Digest Republika, 27 Desember 2009). Akhirnya, tahun 1818 penguasa Turki mengirimkan pasukan untuk memadamkan gerakan Wahabi, meratakan ibu kota Di'riyyah dengan tanah, dan menangkap para pemimpinnya.

Namun, saat Inggris –yang waktu itu menjadi negeri adikuasa– berhasil menjajah Bahrain pada tahun 1820, dan mencari jalan untuk memperluas area jajahannya, dilihat sebagai peluang bagi klan Sa'ud untuk memperoleh perlindungan, dan bangkit kembali. Tahun 1843 Faisal Ibn Turki al-Saud yang dipenjara di Kairo, Mesir, berhasil melarikan diri dan kembali ke Najd, melakukan kontak dengan pemerintah Inggris untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan. Tahun 1902, Abdul Aziz Ibnu Sa'ud dengan dukungan Inggris berhasil merebut kembali Ryadh, bangkit kembali, dan melakukan pemberontakan melawan Turki.

Celakanya, Turki yang ikut bersekutu dengan Jerman pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) mengalami kekalahan, dan pada deklarasi Konferensi Perdamaian Paris (21 Janurai 1920), yang disusul dengan Perjanjian Sevres (Agustus 1920) Turki terpaksa menyerahkan seluruh teritorinya di Balkan dan Arab ke pihak negara sekutu untuk dibagi-bagi. Inggris menguasai wilayah Arab, termasuk Palestina.

Tahun 1924, Sa'ud berhasil menduduki Makkah, dan setahun kemudian menguasai Madinah dan Jeddah, menjadi negara baru dengan nama Saudi Arabia. Sejak itu pula, aliran dan kekuatan politik Wahabi memiliki kedudukan kuat di jazirah Arab (Saudi Arabia, Yaman, dan Yordania). Kesuksesan itu diceritakan dalam film Lawrence of Arabia, film Inggris (1962), yang dibuat berdasarkan kehidupan Thomas Edward Lawrence, seorang letnan Angkatan Darat Inggris yang semula ditempatkan di Kairo, mahir berbahasa Arab, dan mempunyai banyak kawan orang Arab. Namun, sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, dalam tulisannya 'Lawrence of Arabia was a Zionist' menyebut Lawrence sebagai agen Zionisme (Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007).

Menurut Esposito, keberhasilan merebut Riyadh, adalah awal periode pertama negara Saudi Arabia yang mengantarkan dan memantapkan Wahabi sebagai kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab selama abad be-19 dan awal abad ke-20. Cara Wahabi tersebut, adalah sumber fundamentalisme modern Islam yang mengadopsi cara Khawarij –bersikap arogan, kasar, memusuhi, memblacklist, membid'ahkan setiap da'i, aktivis atau ustadz yang bukan dari kalangannya atau yang berbeda dengannya. Kelompok garis keras fanatik di era awal kebangkitan Islam tersebut, yang menghalalkan cara kekerasan untuk mencapai keberhasilan yang diinginkannya, sebenarnya sudah jauh menyimpang dari cara Salafiyah klasik maupun modern, yang toleran.

Sama tujuan pun, para kelompok radikal itu bisa saling bermusuhan
Gerakan Wahabi pernah masuk ke Indonesia melalui para jemaah haji, dan konon pengaruhnya yang paling jelas adalah gerakan Kaum Paderi di beberapa daerah di Sumatera Barat dan sekitarnya yang mengadakan pembaruan pemikiran beragama dengan kekerasan. Atau, sering pula dikaitkan dengan Al Irsyad, Muhammadiyah atau Persis (Persatuan Islam) yang melakukan pembaharuan melalui jalur pendidikan. Namun, tiba-tiba saja, sejak tahun 1980-an istilah Wahabi muncul kembali dalam banyak versi yang membingungkan.

Menurut Hendropriyono, Wahabi dinisbatkan (dikaitkan) kepada kelompok teroris yang menebar bom, seperti kelompok Nurdin M Top (Jamaah Islamiyah), Majelis Mujahidin Indonesia, dan kelompok radikal yang mengkafir-kafirkan kelompok Islam lain. Sebelumnya Wahabi juga dijadikan stigmatisasi bagi mereka yang melakukan gerakan dakwah untuk pemurnian beragama dengan cara yang lugas, sehingga memancing perselisihan paham, yang juga membuat kelompok lain menjadi resah. Pihak intelijen, menyebutnya sebagai kelompok Salafi, dan membedakan menjadi kelompok Salafi jihadi, Wahabi aliran keras, yang suka melakukan jihad dengan bom, dan berhubungan dengan Al Qaeda, dan yang berdakwah dengan keras yang menghujat (tahdzir) kelompok lain untuk "meng-Islamkan orang Islam".

Istilah Salafi, tidak menyebut Wahabi, juga dipopulerkan oleh Nashiruddin Al-Albani, tokoh Salafi yang paling berpengaruh, pada dekade 1980-an di Madinah. Jamaahnya kemudian dikenal dengan al-Jamaah al-Salafiyyah al-Muhtasib. Sebenarnya, hampir sama dengan Wahabi, Salafi yang dimaksudkan  Al-Albani adalah  suatu gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan mengedepankan kampanye pembasmian terhadap segala sesuatu yang dianggap bid'ah. Namun, Al-Albani tidak menggunakan nama Wahabi karena istilah ini dianggap kurang tepat. Menurutnya, di dalam nama itu terkesan ada pemujaan terhadap tokoh.

Sejarah mencatat, gerakan Salafi Wahabi berkembang ke luar Saudi karena dibawa oleh para sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Saudi, atau di negara lain yang mendapat bantuan finansial serta  tenaga pengajar dari pemerintah Saudi, seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab), Jakarta, yang merupakan cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Sa'ud, Riyadh, Saudi Arabia. Konon, seluruh biaya operasional peguruan tinggi negeri di Saudi, dan di luar negeri yang berafiliasi ke universitas negara petrodolar tersebut, disubsidi penuh 100 persen oleh negara. Dan semua mahasiswanya mendapatkan beasiswa. Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak pemuda Indonesia yang bermimpi untuk dapat kuliah di salah satu perguruan tinggi di Saudi. Selain gratis, mendapat beasiswa penuh, juga mendapat tiket pulang gratis setiap tahun. Kalau tidak dapat kuliah di Saudi, minimal dapat belajar di LIPIA, yang juga memberikan beasiswa penuh. Bahkan tidak jarang ada mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) yang juga kuliah rangkap di LIPIA, hanya untuk mendapatkan beasiswanya.

Bantuan finansial tidak hanya sampai di situ, setelah para sarjana itu pulang ke negara masing-masing, mereka pun masih akan tetap dapat kucuran dana dari Saudi melalui berbagai lembaga, atau organisasi, binaan negara, seperti Rabithah Alam Islamy, WAMY (World Association of Muslim Youth), dan lain-lain. Bantuan finansial diberikan khususnya kepada para alumnus atau non-alumni perguruan tinggi Saudi yang mendirikan lembaga pendidikan, seperti sekolah atau pesantren, dan membangun masjid. Tentulah ada tujuan khusus, mengapa pemerintah Saudi mau mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional tersebut. Tiada lain, tujuan khusus menyebarkan misi Wahabi ke seluruh dunia. Umumnya, sarjana lulusan universitas Saudi yang sudah menganut paham Wahabi, dapat diketahui dengan mudah dengan indikasi suka mengecam pihak-pihak lain yang melakukan tahlilan, peringatan maulid Nabi SAW, ziarah kubur, dan semacamnya.

Menurut catatan, alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka di kalangan Salafi, di antaranya adalah Yazid Jawwas (aktif di Minhaj us-Sunnah di Bogor), Farid Okbah (direktur al-Irsyad), Ainul Harits (Yayasan Nida'ul Islam, Surabaya), Abubakar M. Altway (Yayasan al-Sofwah, Jakarta), Ja'far Umar Thalib (pimpinan Laskar Jihad, dan pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah) dan Yusuf Utsman Bais'a (direktur al-Irsyad Pesantren, Tangerang). Yang menarik, generasi pertama LIPIA sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan Darul Islam, yang kebetulan punya penampilan dan tujuan gerakannya hampir sama, yaitu untuk memurnikan kembali aqidah Islam. Meskipun secara teoritis dapat seiring dengan kelompok Persis (Persatuan Islam) namun dalam kenyataannya Salafi Wahabi cenderung mengambil jarak dengan Persis. Bahkan, sesama Salafi pun saling membid'ahkan.

LANTAS, siapa yang dimaksud dengan Wahabi tulen di Indonesia? Dengan mengutip Abu Abdirrahman Ath-Thalibi yang menulis Dakwah Salaf Dakwah Bijak, kelompok yang diidentifikasi Nur Khalik Ridwan sebagai kelompok Wahabi tulen di Indonesia adalah mereka yang disebut dengan Salafi Yamani, merujuk kepada murid-murid Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i, yang memimpin Ma'had Darul Hadits di daerah Dammaj, Sha'dah, Yaman. Menurut intelijen, kelompok ini memang termasuk suka menyerang kelompok lain yang dianggap berbeda paham.

Pada waktu terjadi konflik beragama beberapa tahun yang lalu, kelompok Salafi Yamani di Indonesia mendirikan FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah), dan mengirim Laskar Jihad yang dipimpin oleh Ja'far Umar Thalib ke wilayah konflik di Ambon dan juga di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, setelah munculnya fatwa-fatwa syaikh Salafi di Arab Saudi, menyusul berbagai penyimpangan yang terjadi dalam Laskar Jihad, FKAWJ dibubarkan, dan Ja'far Umar Thalib dipulangkan. Sejak saat itu, Ja'far Umar Thalib memusuhi kelompok Salafi Yamani dan membelot dari mereka. Kelompok Salafi Yamani sendiri, setelah pembubaran FKAWJ, mengembalikan seluruh fokus aktifitas mereka di sejumlah pesantren dan masjid di berbagai daerah di Indonesia. Berbeda dari sebelum pembubaran itu, mereka sekarang berkembang ke hampir tiap propinsi di Indonesia. Di kota-kota besar Indonesia, dakwah mereka dapat kita temui dengan mudah.

Pada pihak lain, Ketua FPI, Muhammad Rizieq Shihab, juga alumni LIPIA, walaupun tidak menjadi Wahabi, dan bukanlah penganjur Wahabi tulen, tampaknya telah mengadopsi mentalitas Wahabisme Saudi dari tempatnya belajar, dan Universitas Ibnu Sa'ud di Riyadh. Jika kolega-kolega Wahabinya mengambil bentuk permusuhan terhadap musuh-musuh alamiah Wahabi, maka Rizieq Shihab menampilkan model Islam konfrontatifnya terhadap apa yang ia pandang maksiat atau kesesatan.

Di Indonesia sendiri, banyak sekali kalangan Salafi, termasuk Salafi dakwah, atau Salafi sururi (suriyah) yang tidak menampilkan identitasnya, sebenarnya mempunyai pandangan yang berbeda dengan kalangan Salafi Wahabi puritan yang memilih berdakwah dengan cara kekerasan tersebut. Oleh karena modus pengembangan mereka yang berbasis pesantren, maka gerakan Salafi Wahabi di Indonesia umumnya bertabrakan langsung dengan konstituen Nahdlatul Ulama (NU), yang paling sering disebut sebagai biang bid'ah, selain kelompok Ahmadiyah dan Syiah yang menjadi musuh besar mereka. Hal ini sudah terjadi di NTB, di mana sejumlah konflik terbuka berlangsung karena NU pun mau "main keras" bila dipaksa.

Jihad ke Afganistan, bukan ke Palestina
Dalam buku Sholeh Al-Wardani, penulis asal Mesir, berjudul Fatwa-fatwa bin Baz mengkritisi Juru Fatwa Agung (Grand Mufti) Saudi Arabia Abdul Aziz bin Baz yang mengeluarkan fatwa untuk berjihad ke Afghanistan. Yang  menjadi tanda tanya besar, adalah: "Mengapa fatwa itu memerintahkan berjihad ke Afghanistan, dan tidak ke Palestina?". Sepertiya betul kesimpulan Sholeh Al-Wardani, yang mengatakan bahwa, ada tangan-tangan tertentu yang menunjuk dan mengarahkan fatwa jihad Wahabi itu. Kader-kader Wahabi yang berjihad ke Afghanistan itu sebenarnya hasil rekayasa intelijen Eropa Barat untuk menghabisi pengaruh komunisme Eropa Timur di Afghanistan demi kepentingan mereka (http://www.didiksugiarto.com/2011/01/sejarah-gerakan-wahabi.html).

Brahma Chellaney, guru besar studi strategis pada Center for Policy Research di New Delhi, dan penulis Asian Juggernaut dan Water Asia's New Battleground, dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa Saudi yang menerapkan Islam Wahabi, dikenal sebagai sumber fundamentalisme modern Islam yang mengekspor bentuk keyakinan tidak terkendali dengan mendukung kelompok-kelompok muslim ektremis di negara lain, yang lambat-laun mematikan tradisi Islam yang lebih liberal. Yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menjadi sasaran jihad mereka adalah negara-negara yang bermasalah dengan Amerika Serikat.

Hubungan Saudi dengan Amerika sudah terjalin lama sejak akhir Perang Dunia Kedua, dengan terbukanya hubungan bisnis minyak yang menguntungkan. Namun, kerja sama politik mulai dikukuhkan pada tahun 1980-an, ketika pemerintahan Ronald Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam suatu upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin Mujahidin –pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al Qaeda– Reagan menoleh ke arah para tamunya dan berkata, "Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri Amerika" (Koran Tempo, 23 November 2011).

Setelah Soviet keluar dari Afganistan, dukungan internasional untuk jihad mulai meredup dan para mujahidin kembali ke negara masing-masing. Osama bin Laden pun kembali ke Saudi. Namun, pada tahun 1990, ketika Irak menyerang Kuwait yang mengakibatkan ketakutan pada pemerintah Saudi, Osama melakukan pendekatan pada Raja Fahd, dan menawarkan bantuan untuk mempertahankan kerajaan, dengan membangun benteng pertahanan dan bantuan pasukan Mujahidin yang pernah dibinanya. Namun, Raja Fahd menolak. Osama jadi sakit hati, karena Raja Fahd ternyata lebih percaya kepada Amerika sebagai penyelamat negerinya. Masalahnya, Raja Fahd tak cukup yakin apakah kelompok Osama akan mampu menahan gempuran pesawat tempur Irak. Saran yang diberikan Osama pada Raja Fahd rupanya tak cukup meyakinkan, karena itu Raja Fahd minta bantuan kepada Amerika dan negara barat lainnya untuk melindungi kerajaan Saudi dari serbuan tentara Irak.

Menurut Osama, undangan Saudi terhadap Amerika sama artinya dengan penghinaan terhadap negara Islam. Sebab menurut Osama segala kerusakan yang ada di negara-negara Islam pada umumnya disebabkan oleh negara-negara kafir yang superpower. Menurut Osama, dengan mengundang Amerika ke Saudi, sama artinya dengan meminta dihancurkan oleh negara kafir. Merasa tak sejalan lagi dengan pemerintah, Osama dan para pengikutnya keluar dari Saudi. Mereka membangun jaringan Al Qaeda untuk menyerang Barat. Pada tahap pertama, Osama dan pengikutnya pindah ke Sudan (1992-1994), ke Pakistan (1994), dan akhirnya bergabung dengan Taliban di Afganistan. Jelaslah, sejak tahun 1992 kepemimpinan Al Qaeda telah berhijrah dan membangun pergerakan jihad dalam skala global dalam rangka menghancurkan hegemoni Barat.

Tempat-tempat latihan dibangun di berbagai lokasi di Afganistan, demikian juga dengan jaringan yang berskala internasional. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menyerang Barat. Dalam programnya, Al Qaeda memasukkan upaya untuk konsolidasi organisasi jihad, memproduksi video rekaman dengan resolusi tinggi, dan melibatkan dunia publik. Pada 1996 dan 1998 Osama mendeklarasikan perang melawan Amerika atas nama Al Qaeda. Deklarasi ini diikuti dengan serangan bom ke kedutaan Amerika di Tanzania dan Kenya. Konon, jaringan Al Qaeda itu pun menyebar sampai ke Indonesia yang muncul dengan kasus teroris yang sampai sekarang masih bergerak di bawah tanah, dengan pemain baru.

Mencegah lebih baik daripada harus memeranginya! 
Sekarang ini, sebenarnya ada tiga kelompok yang menyikapi kehadiran gerakan Wahabi di Indonesia. Kelompok pertama, adalah mereka yang menerima dakwah Wahhabiyah, namun melakukan usaha modifikasi, baik sedikit, separuh, atau sebagian besar. Bahkan, di antaranya, ada pula yang hanya mengambil ruh semangatnya tanpa perlu konsisten dalam menerapkan pesan dakwah tersebut. Kelompok kedua, adalah orang-orang yang merespon positif dakwah tersebut dan menerima secara bulat tanpa usaha memodifikasinya. Mereka menerima dakwah dan berusaha menyebarkannya di lingkungan-lingkungan mereka. Dan kelompok ketiga, adalah orang-orang yang menolak mentah-mentah dakwah tersebut. Bagi mereka, dakwah yang diserukan oleh kelompok Wahhabiyah itu tidak sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang sudah memiliki tradisi keislaman tersendiri. Dakwah tersebut tidak cocok, karena itu mereka tolak secara mutlak.

Dua kelompok pertama, di tengah masyarakat kita, kerap disebut sebagai orang-orang Wahabi. Terlepas dari mereka suka atau tidak penamaan tersebut, media-media dan sejumlah pengamat dari luar atau dalam negeri tetap menamai mereka dengan sebutan itu. Karena itu, tiap kali media mengangkat atau menyinggung kelompok Wahabi dalam pemberitaan, selalu yang dimaksud adalah salah satu kelompok dalam dua kelompok tersebut. Masalahnya, mengapa pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, tidak mengambil sikap yang jelas mengenai kelompok Wahabi yang mengusung kekerasan atas nama agama ini. Atau, kita dipaksa dihadapkan pada dua pilihan; menjadi Salafi Wahabi atau menjadi kelompok sesat…

*Ditulis untuk sociopolitica, oleh Syamsir Alam, mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru yang sudah lama mengubur 'kapak perperangan', tergerak untuk menggalinya kembali setelah melihat karut-marut situasi politik sekarang.

http://sociopolitica.wordpress.com/2012/03/01/wahabi-menghalalkan-kekerasan-atas-nama-agama-1/

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar