Senin, 27 Februari 2012

[Media_Nusantara] Mafia Anggaran di Ritz Carlton

 

Mafia Anggaran di Ritz Carlton

Gonjang-ganjing yang tengah melanda Partai Demokrat sebenarnya sudah jauh-jauh hari diwanti-wanti. Redaksi Monitor Indonesia, pertengahan 2010 menjelang Kongres Bandung bahkan telah menurunkan berita soal kekhawatiran itu.

SENIN, 3 Mei 2010 lalu, empat lembar surat berkop Aliasi Rakyat Untuk Sukses SBY (ARUSS) resmi dikirim ke Presiden Yudhoyono. Isinya tidak sembarangan. Lembaga swadaya masyarakat  pendukung SBY ini meminta SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mencopot Anas Urbaningrum (AU) dan Moh Nazaruddin dari jajaran kepengurusan DPP Partai Demokrat.

Berdasarkan surat ARUSS tersebut, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Anas Urbaningrum bersama Bendahara Fraksi Partai Demokrat DPR Nazaruddin dituduh telah menjadi mafia dalam proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Keduanya dituding mempraktekkan dua modus kejahatan korupsi anggaran negara lewat jalur parlemen.

Pertama, konspirasi dukungan dan pemunculan proyek-proyek pada APBN berdasarkan usulan daftar isian dari kementerian, lembaga non kementerian, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Caranya, Nazaruddin ditengarai mengundang dan mengumpulkan pengusaha dan rekanan. Dalam pertemuan tersebut, para pengusaha dan rekanan diarahkan untuk melakukan konspirasi proyek.

Namun ada syaratnya, para pengusaha dan rekanan tersebut harus terlebih dulu memenuhi beberapa persyaratan yang diajukan. Di antaranya membayar terlebih dulu sebesar 10 persen dari nilai proyek (jika nilai proyeknya kecil), sementara untuk proyek bernilai besar, dipatok hingga 15 persen. Lebih heboh lagi, pembayaran tentu saja sebelum palu pengesahan APBN diketok di DPR.

Bila syarat tersebut bisa dipenuhi, maka proyek tersebut akan dikawal hingga pemenangan tender. Sebaliknya, proyek tersebut dipastikan tidak akan muncul di APBN apalagi dikawal untuk menjadi pemenang tender, apabila syarat "pembayaran di muka" tidak dapat dipenuhi.

Kedua, AU dan Nazaruddin langsung berperan sebagai pemesan sekaligus mengerjakan proyek-proyek "basah" di berbagai kementerian dan lembaga negara. Salah satu perusahaan yang keduanya disebut sebagai pemilik adalah PT Anugerah. Perusahaan ini pada beberapa waktu lalu telah memperoleh berbagai proyek alat kesehatan benilai hingga lebih dari Rp 1 triliun.

Ironisnya, PT Anugerah pernah gagal mengerjakan proyek alat kesehatan senilai Rp 800 miliar. Sayangnya, kasus ini tidak terendus karena keduanya telah melakukan pendekatan "damai" dengan pihak di Kementerian Kesehatan.

Bukan itu saja, PT Anugerah juga menggarap proyek di beberapa kementerian dan lembaga lainnya. Tercatat, PT Anugerah juga mengerjakan proyek di Kemendiknas, PU, Hankam, TNI, dan Polri. Bahkan, bisa dipastikan, proyek pesanan AU dan Nazaruddin juga tersangkut di seluruh kementerian dan lembaga negara lainnya.

Anehnya, lanjut surat yang dikirim ARUSS itu, AU dan Nazaruddin tak lantas puas setelah menggarap sendiri sederet proyek bernilai fantastis. Kejahatan korupsi dengan cara menggandeng beberapa perusahaan lain juga kerap dipentaskan. Modelnya, mereka menyewa perusahaan lain dengan membayar fee sebesar 1-2 persen. Modus ini digunakan sebagai cara untuk menghindari adanya kecurigaan dan pelacakan hukum.

Dengan gaya kejahatan tersebut, AU dan Nazaruddin disinyalir menguasai proyek hingga senilai Rp 10 triliun per tahun. Di BNN (Badan Narkotika Nasional) saja, dari Rp 250 miliar anggaran yang ada, sekitar Rp 200 miliar dikuasai AU dan Nazaruddin. Adapun proyek yang dikerjakan keduanya adalah proyek pengadaan peralatan penunjang operasi pemberantasan narkoba senilai Rp 25 miliar, serta proyek pembangunan komplek gedung kantor baru senilai Rp 154 miliar. Untuk menggarap proyek tersebut, Nazaruddin "menyewa" seseorang bernama Nana.

Jika dari BNN saja, keduanya telah memperoleh proyek bernilai ratusan miliar rupiah, maka jika dikalkukasikan AU dan Nazaruddin berhasil mengerjakan sendiri proyek proyeknya hingga bernilai Rp 3 triliun per tahun.

Disinyalir, AU berada di balik layar saat menggarap proyek-proyek kotor itu. Koordinator pelaksanaannya diserahkan ke Nazaruddin, yang menyewa sebuah kamar Suite Room Hotel Ritz Carlton di lantai 21.

Selanjutnya, Nazaruddin menyerahkan tugas tersebut ke kroni kroninya. Tujuannya tentu saja untuk menghindari adanya kecurigaan dari pihak luar.

Pardosi

http://t.co/yd4bdv3v

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar