baca buku nicotine war, yang pengarangnya tiba2 mati setelah bukunya terbit.
".... Belum ada program yang lebih absurd daripada pemerkosaan agama agar tokoh-tokohnya mengharamkan rokok tapi tak mengharamkan strategi dagang yang tetap VOC minded. Penjajahan macam ini lebih haram dibandingkan rokok." Mohamad Sobary, Budayawan.
Pada Selasa 9 Maret 2010, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok. Beberapa pemerintah daerah juga telah mengeluarkan PERDAtentang pelarangan tembakau dan rokok. Hal ini dilakukan karena rokok dianggap sebagai sumber berbagai penyakit, sehingga perlu diberantas. Fatwa ini tentu mendapat respon beragam dari pihak yang pro dan kontra. Bagi mereka yang menganggap dan melihat fenomena rokok sebatas persoalan kesehatan semata, akan mengamini dan menyetujui fatwa tersebut. Namun, bagi pihak yang melihat persoalan ini sudah berada pada ranah yang lebih luas dan kompleks, tentu akan bersikap kritis terhadap fatwa tersebut.
Sayangnya, media tidak bertindak proporsional terhadap pemberitaan menyangkut rokok dan tembakau ini. Sudut pandang yang muncul melulu persoalan kesehatan. Persoalan yang berkaitan dengan konteks sosial, ekonomi serta politik tidak banyak diberitakan dan dibincangkan. Sehingga, protes-protes yang muncul dari pihak-pihak yang terkait langsung dengan rokok dan tembakau (petani tembakau dan buruh pabrik rokok) kerap kali dinilai sebagai sikap kontra hidup sehat.
Konsekwensi apa yang muncul dari minimnya perbincangan tentang rokok dan tembakau ditinjau dari sudut pandang sosial-ekonomi-politik-budaya ini? Beberapa hal bisa disebutkan: alpanya pemahaman dalam melihat adanya ancaman yang akan menghancurkan kemandirian bangsa sendiri. Ini disebabkan tidak dilihat bahwa ada kepentingan (bisnis) korporasi yang ikut bermain dalam kebijakan pelarangan rokok dan tembakau ini. Korporasi-korporasi internasional, seperti Upjohn, Novartis dan GlaxoWellcome, menyumbangkan dana masing-masing sebesar US$250,000 untuk mendukung kampanye WHO's Nicotine Replacement Therapy. Tiga korporasi farmasi internasional itu, dengan memanfaatkan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau, memiliki kepentingaan untuk membunuh industri rokok, mengganti terapi penggantian nikotin, dan yang utama adalah berusaha memanfaatkan WHO untuk menerobos batas-batas Negara dan merongrong kedaulatannya.
Tindakan korporasi-korporasi raksasa internasional itu, tak banyak mendapat sorotan dan kecaman, disebabkan rapinya dan cekatannya mereka dalam menjalankan rencana bisnis mereka terkait usaha perang terhadap rokok. Korporasi-korporasi ini lebih mementingkan keuntungan bisnis ketimbang logika kesehatan. Logika kesehatan ini menjadi alat untuk masuk berekspansi ke wilayah yang kiranya akan menciptakan keuntungan besar. Maka itulah Gabriel Mahal, pengamat Prakarsa Anti Tembakau, berkata: "Tidak ada bisnis yang lebih aman dan nyaman daripada bisnis yang didukung oleh suatu lembaga internasional dan hukum internasional yang dibungkus rapih dan meyakinkan dengan bungkusan itikad baik demi kepentingan publik."
Faktanya adalah Indonesia sebagai banga dan Negara yang merdeka dan berdaulat memiliki kepentingan nasional atas tembakau dengan segala industrinya. Ada lebih 6 juta rakyat Indonesia yang hidup dan perikehidupannya bergantung pada tembakau dengan segala dengan segala industrinya dan industri tembakau merupakan salah satu contributor terbesar pendanaan APBN negara melebihi industry industri tambang besar.
Protes para petani tembakau dan buruh pabrik rokok jelas membuktikan besarnya sumbangsih ekonomi rokok dan tembakau kepada kehidupan rakyat. Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industry terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Dan setiap 10 % kenaikan pengangguran menyebabkan kematian naik jadi 1,2 %, serangan jantung 1,7 % dan harapan hidup berkurang 7 tahun. Begitu menurut Harvey Brenner sebagaimana dikutip Rhenald Kasali (Kompas, 1/12/08).
Selain itu, kenyataan historis tak boleh dilupakan bahwa rokok tidak sekedar menjadi satu komoditas, satu gaya hidup, namun melampaui semua itu: rokok adalah bagian dari hidup rakyat. Rokok menjadi tali silaturrahmi, pengikat solidaritas, serta peneguh kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Dari serangkaian gambaran di atas, maka pertanyaan kritis harus kita munculkan: untuk kepentingan siapa sesungguhnya agenda anti tembakau ini? Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari bisnis korporasi internasional dalam menjalankan agenda anti tembakau ini? pertanyaan kritis ini tujuannya tentu untuk melahirkan sikap kritis bagi pemangku kepentingan, pemerintah, sebelum mengeluarkan satu sikap atau satu kebijakan. Agar tercapai apa yang dituliskan Gabriel Mahal, "… kebenaran tidak dikorbankan, rakyat tidak dikorbankan, kedaulatan bangsa dan Negara, termasuk kedaulatan hukum, tidak dikorbankan demi kepentingan bisnis korporasi-korporasi internasional lewat badan internasional dan rejim hukum internasional yang mempraktekkan tirani itikad baik dan tirani kesehatan publik."
Bangsa yang besar, bukan hanya bangsa yang sehat dalam badan (fisik), tapi juga sehat dalam jiwa (mental).