HEBAT. Sakti. Kok bisa? Itulah ungkapan-ungkapan publik yang terekam lewat media sosial ketika menanggapi akhir perkara yang menjerat La Nyalla Mattalitti, mantan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Seusai memenangi tiga kali praperadilan yang membuat status tersangkanya gugur, La Nyalla akhirnya tidak kembali mengajukan gugatan praperadilan setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkannya sebagai tersangka untuk keempat kalinya.
Namun, perkaranya berujung vonis bebas demi hukum dan dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Salah satu pertimbangan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membebaskan La Nyalla ialah untuk tindak pidana yang terjadi dalam kasus korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur 2011-2014, pertanggungjawaban telah diwakilkan kepada dua anak buah La Nyalla, yakni Diar Kusuma Putra dan Nelson Sembiring.
La Nyalla juga dinilai telah mengembalikan dana hibah Rp5,3 miliar yang ia gunakan untuk membeli saham di Bank Jatim.
Sangat wajar menjadi kontroversi karena jarang sekali atau bahkan tidak pernah terdengar ada pendelegasian tanggung jawab pidana. Jangankan publik, dua hakim yang menyidang La Nyalla tidak sependapat (dissenting opinion) dengan mayoritas kolega mereka.
Dua hakim ad hoc tipikor, Anwar dan Sigit Herman, tidak sependapat dengan putusan bebas. Kedua hakim itu menilai La Nyalla terbukti sah dan meyakinkan melakukan korupsi.
Bahkan, hakim Anwar menyatakan terdapat 11 poin yang membuat La Nyalla harus ikut bertanggung jawab. Namun, karena tiga hakim lainnya, yang merupakan hakim karier, menyatakan tidak terbukti, La Nyalla mesti bebas.
Soal pengembalian uang seharusnya tidak menghapus pidana. Terlebih jika pengembalian dilakukan ketika sudah ada proses hukum. Apalagi diduga ada kejanggalan dalam bukti kuitansi itu, tanggal pengembalian dengan meterainya tidak sinkron. Kuitansi ditandatangani pada 2012, sedangkan meterainya bertahun 2014.
Jaksa pun tidak terima dengan vonis bebas La Nyalla dan menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Harapan agar MA bisa melihat lebih jernih fakta-fakta persidangan dan kejanggalan bukti yang diajukan La Nyalla menjadi pertimbangan Kejaksaan Agung.
Begitu juga publik tentu berharap bahwa Mahkamah Agung membuktikan ucapan sang ketua, Hatta Ali, yang merupakan paman La Nyalla, bahwa memang tidak pernah ada intervensi dalam kasus ini.
Begitu pula dengan kejaksaan, mereka tentu dituntut untuk membenahi dakwaan ataupun pertimbangan hukum dalam memori kasasi yang akan diajukan sehingga tidak ada celah sedikit pun untuk kembali membebaskan La Nyalla.
Publik tentu menginginkan lembaga penegak hukum bersinergi untuk menempatkan kasus ini dalam hukum yang tegak lurus. Tidak perlu beradu argumentasi, apalagi terintervensi oleh kepentingan di luar hukum.
Dukungan juga datang dari Komisi Yudisial agar kejaksaan tidak patah semangat, bahkan bila perlu berkoordinasi dengan penegak hukum lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk memperkuat pembuktian dugaan korupsi La Nyalla. Apalagi KPK pun tengah menangani kasus korupsi yang juga diduga melibatkan La Nyalla, yakni kasus dugaan korupsi dalam proyek Rumah Sakit (RS) Universitas Airlangga.
Nyalakan kembali hukum buat La Nyalla. Jika memang nanti dia terbukti melakukan pidana, jebloskanlah ke bui. Sebaliknya, jika di kasasi nantinya kembali La Nyalla dinyatakan tidak bersalah, tentu nama baiknya mesti dipulihkan. Namun, yang pasti, hukum tidak boleh kalah oleh anasir yang mendistorsi keadilan itu sendiri. Tunjukkan kesaktian hukum